Koreksi, Jakarta- Serikat Pekerja Kampus (SPK) menggelar diseminasi hasil Survei Nasional 2025 secara daring pada Sabtu, 25 Oktober 2025. Survei Nasional 2025 mengungkap kondisi mengkhawatirkan terkait keamanan kerja dan kesejahteraan psikologis pekerja di perguruan tinggi Indonesia. Diseminasi survei ini memaparkan temuan dari 421 responden yang mencakup dosen dan tenaga kependidikan dari berbagai perguruan tinggi di 29 kota.
Sekretaris Jenderal SPK, Hariati Sinaga saat membuka acara menyampaikan hasil riset ini merupakan satu dari tiga modul yang sedang dikerjakan. “Bila ada yang bertanya, kenapa belum masuk bahasan tentang upah karena ada tahapan-tahapan risetnya. Nanti akan dibahas,” ujarnya.
Eksploitasi Ekonomi Mendominasi Kekerasan Fisik
Survei ini mengungkap paradoks mengejutkan bahwa bentuk kekerasan fisik yang paling dominan di kampus bukanlah penganiayaan konvensional, melainkan eksploitasi melalui kerja paksa. Sebanyak 46 laporan mencatat adanya “eksploitasi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku”, jauh melampaui perkelahian (19 laporan) dan tawuran (13 laporan).
Ketua Umum SPK, Dhia Al Uyun, memaparkan mengenai keterbukaan informasi. “Keterbukaan informasi menjadi faktor fundamental yang mendasari berbagai masalah kesejahteraan dan keamanan di lingkungan kampus,” ujarnya.
Data menunjukkan korelasi kuat antara tingkat transparansi institusi dengan menurunnya stres kerja dan meningkatnya efektivitas program pencegahan kekerasan.
Krisis Transparansi: Informasi Keuangan Tergelap
Survei menemukan bahwa meskipun secara umum perguruan tinggi dinilai cukup terbuka, terdapat ketimpangan signifikan antar-aspek. Informasi keuangan menjadi titik kritis paling lemah dengan skor hanya 1,268 dari 3, secara statistik dinilai “Sangat Tidak Transparan.”
Aspek-aspek krusial seperti laporan keuangan tahunan, alokasi anggaran penelitian, dan dana beasiswa dinilai sangat tertutup. Temuan ini sangat signifikan karena penelitian menemukan bahwa keterbukaan informasi, terutama tata kelola dan keuangan, berkorelasi negatif signifikan dengan Ketidakseimbangan Upaya-Imbalan, Stres Kerja, dan Burnout.
“Institusi yang lebih transparan cenderung memiliki pekerja yang merasa lebih dihargai dan tidak terlalu tertekan,” demikian disebutkan dalam ringkasan eksekutif.
Kekerasan Psikis: Serangan terhadap Reputasi dan Hubungan Sosial
Di ranah psikis, temuan survei menunjukkan pola kekerasan yang menyasar hubungan sosial dan reputasi sebagai ancaman utama. Penyebaran rumor mencatatkan 140 laporan, diikuti pengabaian sebanyak 125 laporan dan pengucilan sebanyak 98 laporan. Bentuk-bentuk kekerasan psikis ini seringkali tidak terlihat namun berdampak jangka panjang terhadap kesehatan mental pekerja kampus.
Fenomena Gunung Es Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual di lingkungan kampus menampilkan fenomena “gunung es” yang memprihatinkan. Survei mencatat ujaran yang mendiskriminasi tampilan fisik yakni 109 laporan dan ucapan bernuansa seksual yakni 91 laporan sebagai bentuk pelecehan yang marak terjadi. Namun yang mengkhawatirkan, bentuk kekerasan seksual fisik yang paling berat seperti perkosaan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual tidak memiliki laporan sama sekali.
“Nol laporan pada kekerasan seksual berat mengindikasikan adanya budaya bungkam yang kuat,” demikian tertulis dalam ringkasan eksekutif survei. Lebih lanjut dijelaskan bahwa “tidak adanya hubungan signifikan secara statistik antara efektivitas program dengan ancaman kekerasan seksual mengindikasikan bahwa upaya pencegahan yang ada saat ini belum efektif untuk mengatasi kekerasan seksual, kemungkinan besar karena adanya relasi kuasa yang timpang dan budaya bungkam yang melindungi pelaku.”
Krisis Kesehatan Mental yang Terabaikan
Temuan paling mengkhawatirkan adalah kondisi kesehatan mental pekerja kampus yang berada pada tingkat kritis. Tingkat kelelahan mental atau burnout di kalangan pekerja kampus secara signifikan berada di atas ambang batas wajar, dengan pekerja di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mengalami burnout lebih tinggi dibandingkan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Isman Rahmani Yusron, pembahas sesi kesehatan mental, menyoroti korelasi yang sangat kuat antara stres kerja dan burnout (r = 0,841). “Hubungan terkuat terlihat antara Stres Kerja dan Burnout, yang mengindikasikan bahwa stres kerja yang kronis merupakan jalur utama menuju kondisi burnout yang parah,” ungkap laporan survei.
Yang lebih memprihatinkan, survei mengungkap kegagalan institusional masif dalam menyediakan dukungan kesehatan mental. Sebanyak 79,6% responden melaporkan bahwa perguruan tinggi mereka tidak menyediakan fasilitas sama sekali (40,4%), tidak mengetahui keberadaannya (32,1%), atau menyediakan namun tidak memadai (17,1%). Hanya 10,5% responden yang merasa institusinya menyediakan fasilitas kesehatan mental yang lengkap dan dapat diakses kapan pun.
Pengabaian Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Rizma Afian Azhiim dalam pemaparan mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) mengungkap pengabaian masif terhadap standar keselamatan. Dari 27,1 persen responden yang menyatakan pekerjaan mereka memiliki risiko yang memerlukan Alat Pelindung Diri (APD), mayoritas atau lebih dari 71 persen melaporkan tidak terlindungi secara memadai. Rinciannya, 43,0 persen menyatakan institusi tidak menyediakan APD sama sekali, dan 28,1 persen menyatakan APD yang disediakan tidak cukup melindungi.
Kesenjangan juga ditemukan dalam akses terhadap fasilitas deteksi penyakit akibat kerja. Mayoritas responden (60,8%) menyatakan “tidak mengetahui secara pasti” mengenai ketersediaan fasilitas tersebut, sementara 20,9 persen secara tegas menyatakan institusinya tidak menyediakan fasilitas sama sekali. Secara total, lebih dari 94% pekerja kampus tidak memiliki akses yang memadai terhadap fasilitas krusial ini.
Perbedaan PTN dan PTS
Survei juga mengungkap perbedaan signifikan antara kondisi kerja di PTN dan PTS. Pekerja di PTN secara signifikan melaporkan tingkat “Upaya” dan “Komitmen Berlebih” yang lebih tinggi dibandingkan pekerja di PTS. Hal serupa ditemukan pada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merasa mengeluarkan “Upaya” lebih besar dibanding Non-ASN.
PTN juga secara konsisten dinilai lebih terbuka dibandingkan PTS di hampir semua sub-dimensi informasi, kecuali pada aspek pelayanan informasi.
Urgensi Intervensi Kebijakan
Dalam bagian penutup diseminasi, tim peneliti menekankan bahwa “transformasi menuju budaya transparansi dan akuntabilitas adalah langkah fundamental untuk mengatasi krisis keamanan dan kesejahteraan di lingkungan kampus.”
Penelitian ini diposisikan untuk “menjadi landasan bukti empiris yang kuat untuk advokasi kebijakan demi perbaikan kondisi kerja yang lebih manusiawi di lingkungan pendidikan tinggi.”
Para komentator dalam acara ini, termasuk akademisi dan praktisi dari berbagai bidang, menekankan perlunya respons sistemik dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta pimpinan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Temuan survei ini menggarisbawahi bahwa di balik citra profesi akademik yang menguntungkan, terdapat serangkaian masalah sistemik yang saling berkelindan dan berakar pada minimnya keterbukaan informasi serta pengabaian kesejahteraan pekerja.
Dengan sampel yang mencakup 421 responden dari berbagai provinsi dengan konsentrasi tinggi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta, survei yang dilaksanakan dari 24 Maret hingga 17 Agustus 2025 ini menjadi salah satu upaya paling komprehensif untuk memetakan kondisi keamanan kerja dan kesejahteraan psikologis pekerja kampus di Indonesia.









![Susi Pudjiastuti: Minimal DPR Copot Puan Maharani [SALAH]](https://koreksi.org/wp-content/uploads/2025/10/Screenshot-2025-10-16-073005-75x75.jpg)


![Jokowi Jadi Sekjen PBB 2026 [Hoaks]](https://koreksi.org/wp-content/uploads/2025/10/Screenshot-2025-10-13-203533-75x75.jpg)























