Oleh: Nanang Farid Syam
Di negeri ini, terlalu sering kita melihat regulasi yang diputuskan di ruang-ruang steril, jauh dari denyut kehidupan rakyat. Seperti Rancangan Undang-Undang TNI yang dibahas di hotel mewah bintang lima, jauh dari rakyat yang terdampak langsung oleh konsekuensinya (Amnesty Indonesia, 2025). Rancangan Undang-Undang bisa disahkan dalam hitungan hari, tapi dampaknya bisa membekas puluhan tahun pada petani yang digusur, nelayan yang kehilangan lautnya, atau masyarakat adat yang tanahnya dirampas atas nama pembangunan (Kompas, 2024).
Masalahnya bukan hanya pada isi regulasi, tapi juga siapa yang berbicara dan siapa yang dibungkam dalam prosesnya. Di sinilah pentingnya media alternatif seperti koreksi.org hadir dan menyela narasi dominan.
Narasi resmi tidak selalu mewakili kebenaran. Media arus utama hari ini, sejujurnya, makin sulit dipercaya. Banyak yang telah berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan atau kepentingan korporasi. Kita terlalu sering disuguhkan narasi “pembangunan”, “kemajuan”, dan “pertumbuhan ekonomi” tanpa bertanya: kemajuan untuk siapa? Dan siapa yang tertinggal di belakangnya? (Mongabay Indonesia, 2024)
Sementara itu, warga yang terdampak langsung dari kebijakan, yang kehilangan tanah, air, udara bersih, jarang diberi ruang. Suara mereka teredam, dianggap emosional, tidak rasional, atau bahkan dicap “anti-nasional”. Ndasmu…
Di sinilah peran media alternatif menjadi sangat penting. Mereka tidak dibentuk untuk mencari iklan atau rating, tetapi untuk memperjuangkan kebenaran yang tersembunyi di balik suara-suara kecil.
koreksi.org: jurnalisme warga sebagai napas perlawanan. https://koreksi.org/ bukan hanya portal berita. Ia adalah ruang kolektif yang menggabungkan riset partisipatif, advokasi kebijakan, dan jurnalisme warga. Bukan dari atas, tapi dari bawah.
Di tengah situasi ketika media besar lebih sering memberitakan suara elite, jurnalisme warga menjadi alat penting untuk merebut kembali ruang bicara publik. koreksi.org hadir sebagai wadah jurnalisme warga, bukan sekadar menyampaikan berita, tapi menghidupkan kembali suara-suara yang selama ini diabaikan.
Warga bukan hanya narasumber, tapi juga pewarta. Mereka mencatat, merekam, dan menganalisis realitas hidupnya sendiri, dari penolakan tambang di kampung, konflik agraria yang terus diredam, hingga proyek-proyek infrastruktur yang menggusur dengan dalih kepentingan nasional.
Melalui koreksi.org, warga belajar menjadi saksi sekaligus penyampai kebenaran. Berita bukan ditulis dari balik meja redaksi, melainkan dari jalanan, ladang, dan pesisir. Mereka yang selama ini dianggap “tidak punya suara” justru menjadi penggerak utama dalam mengungkap pelanggaran dan ketidakadilan.
Dalam setiap laporan, ada semangat untuk memperjuangkan ruang hidup, mempertahankan hak, dan membangun solidaritas antar-komunitas. Dan yang paling penting: informasi lahir dari bawah untuk memperkuat, bukan mematahkan, masyarakat sipil.
Laporan-laporan mereka tidak berhenti di meja redaksi. Ia hidup dalam diskusi warga, menjadi bahan perdebatan publik, bahkan jadi referensi akademisi dan pembuat kebijakan yang ingin mendengar suara yang tak muncul di layar kaca.
Demokrasi butuh lebih dari sekadar pemilu. Demokrasi bukan hanya soal mencoblos lima menit di bilik suara, lalu kembali bungkam selama lima tahun. Demokrasi bukan hanya tentang siapa yang menang, tapi siapa yang terlibat dalam menentukan arah hidup bersama. Dan yang lebih penting: demokrasi bukan sekadar prosedur, tapi perjuangan yang terus-menerus.
Kita terlalu sering dikurung dalam bayang-bayang euforia pemilu. Kita diajak memilih, tapi tidak diajak mengawasi. Kita diberi hak suara, tapi tak diberi ruang mendengarkan suara yang lain, terutama mereka yang selama ini dibisukan. Padahal justru di luar musim kampanye, regulasi-regulasi penting digodok: aturan tentang tanah, air, tambang, pendidikan, dan ruang hidup. Regulasi-regulasi yang sering lahir dalam senyap, disusun dalam ruang steril, dan diketuk tanpa ampun oleh mereka yang merasa tak perlu mendengar suara rakyat.
Di sinilah kita sadar demokrasi yang hanya hidup saat pemilu, sejatinya demokrasi yang sekarat. Maka kita butuh ruang-ruang alternatif. Ruang yang tidak takut bertanya. Yang tidak sungkan mengusik kenyamanan kekuasaan. Yang berani melacak jejak uang dan kebijakan, menyingkap siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.
Media alternatif seperti koreksi.org adalah penjaga pintu demokrasi, pintu yang sering dibuka diam-diam oleh kepentingan elite.
Ketika pintu itu mulai digeser dari belakang, koreksi.org berdiri di depannya.
Ketika kebijakan disusun tanpa suara rakyat, koreksi.org membawa suara itu kembali ke meja diskusi.
Ketika yang lain diam, mereka bertanya.
Ketika yang lain melirik, mereka menyelidik.
Ketika yang lain netral atau pura-pura netral, mereka memilih untuk berpihak.
Berpihak pada yang lemah.
Berpihak pada yang tertindas.
Berpihak pada kebenaran, meski kadang pahit.
Karena di tengah hutan-hutan yang dibabat, laut yang diprivatisasi, dan tanah adat yang digadaikan atas nama “kemajuan”, kita tak butuh media yang ramah kekuasaan.
Kita butuh media yang ramah pada keberanian.
Keberanian untuk berkata: “Ada yang salah, dan kami tak akan diam.”
Demokrasi tidak akan bertahan oleh kekuasaan yang terus dijaga.
Tapi oleh rakyat yang terus bangun, bertanya, dan melawan lupa.
Bukan cuma masalah suara, tapi soal keadilan. Tanpa media alternatif, kita kehilangan cermin untuk melihat wajah negara dari bawah. Kita hanya akan melihat wajah-wajah “pemilik suara”, bukan mereka yang sering kali tidak dihitung dalam statistik.
Padahal, regulasi yang adil bukan hanya tentang legalitas, tapi tentang legitimasi. Dan legitimasi hanya bisa lahir ketika semua suara, termasuk yang paling lemah diikutsertakan dalam proses.
Saatnya mendukung media yang berpihak. Kita tidak bisa lagi berharap semua hal disuarakan oleh media besar. Sudah saatnya kita mendukung media alternatif yang benar-benar bekerja untuk publik. Bukan hanya dengan membagikan tautan berita, tapi juga dengan ikut membaca, berdiskusi, bahkan berdonasi jika perlu. Bahkan jurnalis dan media pun harus dikoreksi jika ada sesuatu yang janggal (koreksi.org, 2025).
koreksi.org adalah contoh bahwa media bisa menjadi alat perjuangan, bukan sekadar bisnis. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan bisa disusun bersama warga, bukan hanya oleh pakar.
Karena kalau suara warga terus dikecilkan, maka jangan heran kalau suatu saat negara ini hanya akan jadi panggung elite yang bicara sendiri dan kita, hanya jadi penonton di belakang pagar.
“Kalau orang diam saja melihat kejahatan, berarti dia ikut melakukan kejahatan itu.”
— Pramoedya Ananta Toer
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
— Pramoedya Ananta Toer