Suara perempuan berbisik di ujung telepon seluler. Ia duduk di kursi empuk dengan kain beludru. Kaca di meja rias dari kayu mewah menangkap wajahnya yang serius. Namun, perempuan itu mengarahkan pandangan ke jendela kaca besar di kamar lantai tiga. Matanya mengarah kepada gerbang rumah yang terbuat dari kayu besar dengan ukiran simbol naga di depan rumah.
“Apalagi yang harus kita lakukan?” tanya perempuan itu kepada lawan bicaranya melalui sambungan telepon.
“Masih banyak cara lain yang bisa kita lakukan,” jawab lawan bicaranya dengan tenang.
“Cara apalagi. Aksi di depan DPR sudah, mogok makan sudah, kampanye di media sosial sudah. Tapi apa hasilnya,” nada perempuan itu terlihat kesal.
“Tapi aku tidak setuju dengan caramu. Apa artinya mencuci baju dengan air kencing,” jawab lawan bicaranya.
“Lalu apa artinya berjuang tanpa kemenangan. Perjuangan ini harus berhasil dan tidak boleh ditunda terus. Ini sudah 20 tahunan,” suara perempuan itu meninggi meski masih tertahan tidak terdengar orang lain.
“Apa bedanya kita dengan mereka kalau begitu? Kita sama saja dengan mereka kalau melakukan cara-cara kotor,” lawan bicara perempuan itu bersikukuh tidak setuju.
“Lalu kenapa kamu dari awal ikut mengumpulkan bukti-bukti itu. Untuk apa kamu kumpulkan setahun ini?” tanya perempuan itu.
Gerbang kayu depan rumah terbuka dengan otomatis. Perempuan itu melihat seksama ke bawah rumah melalui jendela kaca besar. Mobil Bugatti Chiron lalu masuk perlahan. Mobil yang diproduksi hanya beberapa ratus unit di seluruh dunia dengan harga Rp100 miliar itu bergabung dengan mobil mewah lainnya di garasi. Rolls-Royce Phantom, Lamborghini Aventador, Ferrari SF90 Stradale, Bentley Mulsanne, dan Mercedes-Benz Maybach S-Class berjejer di garasi rumah.
Perempuan di lantai tiga itu kemudian menutup sambungan teleponnya. Ia bergegas turun ke lantai dua melalui tangga berbahan marmer yang terlihat berkilau dan memikat. Seorang lelaki dengan setelan jas hitam dengan kancing kerang mutiara duduk di sofa sambil melihat film di televisi dengan ukuran besar.
“Tuan Amir apakah mau disiapkan makanan?” tanya perempuan itu menyapa lelaki muda yang duduk di sofa.
“Tidak ada Sekar,” jawab singkat Amir.
“Baik tuan, saya kembali melanjutkan pekerjaan kalau tidak ada.”
“Sekar, apakah itu teman-teman kamu? Pembantu rumah tangga yang sedang memperjuangkan RUU Perlindungan Rakyat Miskin di depan Gedung DPR?” tanya Amir yang merupakan salah satu pimpinan lembaga DPR.
“Bukan pembantu rumah tangga tuan, tapi pekerja rumah tangga. Tapi saya tidak kenal dengan mereka dan tidak terlibat dalam perjuangan itu,” Sekar menjawab dengan sopan.
“Iya kan sama saja Sekar. Baik, kamu lanjutkan saja bekerja.”
Sekar pergi ke lantai dasar menuju kamar kecil di pojokan garasi, tempat mobil mewah milik Amir berjejer. Kamar Sekar kecil, hanya 2 x 4 meter. Hanya satu dibanding ratusan luas rumah, yang menjadi kerajaan Amir. Ia mengambil ponselnya kemudian menghubungi seseorang yang terputus pembicaraannya karena Amir datang.
“Halo Demos, kamu masih ada di sana?” ucap Sekar.
“Ya aku masih di sini,” jawab Demos sambil menghadap tiga layar komputer besar. Tangannya terampil bergantian di atas tombol keyboard dan berganti-ganti layar melihat beberapa video dan foto yang berbeda-beda.
“Aku mohon Demos. Ini harus kita tuntaskan. Semua bukti video dan foto sudah terkumpul semuanya. Kita sudah tidak perlu menunda lagi,” bujuk Sekar kepada Demos.
“Tapi kita akan sama jahatnya dengan mereka kalau kita melakukan ini. Kita mengancam orang lain hanya untuk mencapai tujuan kita. Maafkan aku kalau mempersoalkan ini di akhir perjuangan kita.”
“Jelas beda Demos. Mereka selama ini mengeksploitasi kita dan bertahun-tahun. Kawan-kawan banyak yang menjadi korban pemerkosaan, korban kekerasan, tapi apa mereka mendapat keadilan. Tidak. Kalau hari ini kita menekan mereka untuk mengesahkan RUU itu, ini tujuannya kebaikan.”
“Tapi kita masih bisa dengan menggunakan cara-cara yang lain.”
“Cara apa Demos? Semua cara sudah kita lakukan. Apakah kita harus ada yang mati supaya DPR dan pemerintah mau mengesahkan RUU ini.”
“Baiklah Sekar kalau itu sudah menjadi keputusan bulat kita. Ayo kita rapatkan sekarang dengan kawan-kawan lainnya.”
Sekar menutup telepon dan mengambil laptop dari lacinya. Link Jitsi Meet dari Demos langsung ia buka. Ratusan orang pekerja rumah tangga sudah berkumpul di dalam aplikasi open-source yang memungkinkan enkripsi end-to-end dan tanpa memerlukan pendaftaran untuk bergabung. Lebih aman kata Demos, rapat online dengan aplikasi ini.
“Apakah sudah setuju semua. Kita mulai sekarang,” tanya Demos kepada semua peserta rapat.
“Setuju, setuju, setuju, setuju, setuju,” ucap serentak ratusan peserta rapat yang digelar Demos. Ratusan video dan foto yang ada di komputer Demos telah diprogram dengan bantuan artificial intelligence siap dikirim ke pimpinan dan anggota DPR, menteri, dan pejabat pemerintah terkait. Video dan foto tersebut dikumpulkan oleh para pekerja rumah tangga secara diam-diam dengan bantuan Demos. Ia telah menyiapkan berbagai peralatan canggih untuk merekam video dan mengambil foto tanpa terdeteksi sistem keamanan pejabat di negeri ini.
Sekar keluar kamar dan naik ke lantai dua, berupaya mendekat ke ruang tamu, tempat Amir duduk santai menonton televisi. Dari kejauhan, Sekar mendengar ponsel Amir yang ditaruh di meja berdering. Tapi ia tidak peduli dan terus menonton film. Ponselnya kembali berdering, tapi Amir tidak bergeming. Hingga kesepuluh kalinya, Amir mengambil ponsel.
“Halo siapa ini?” tanya Amir kesal.
“Segera sahkan RUU Perlindungan Rakyat Miskin. Kalau tidak video dan foto Anda, kita sebarkan,” ujar lelaki dengan aksen Inggris. Demos mengakali suara-suara yang menghubungi pejabat itu dengan teknologi supaya tidak dikenal. Tapi Amir tidak peduli, ia langsung menutup telepon dan kembali melanjutkan menonton film. Ponsel Amir kembali bergetar. Kali ini belasan video dan foto masuk ke ponselnya. Amir lalu membuka satu per satu video dan foto itu.
“Bangsat,” Amir mengumpat. Video itu berisi tentang hubungan intimnya dengan sejumlah rekan dan sekretaris di rumah dan kantornya di gedung DPR. Ia lalu menelpon balik nomor yang masuk ke ponselnya.
“Apa mau kamu?” tanya Amir.
“Sederhana. Sahkan segera RUU. Kalau tidak video dan foto ini kita kirimkan kepada keluarga kamu dan kita sebarluaskan ke publik di internet,” suara lelaki dengan bahasa Indonesia, tapi dengan akses Inggris menjawab singkat dan menutup sambungan telepon.
Amir panik. Ia tidak ingin video dan foto tersebut diketahui istrinya. Sebab, itu sama saja akan menghancurkan karirnya yang selama ini dibangun dengan susah payah. Apalagi istrinya merupakan anak ketua partai politik.
“Tidak ada pilihan lain kalau begini. Selain RUU ini segera disahkan,” gumam Amir dalam hati.
Sementara tangan Demos terus bergerak di keyboard dan matanya tajam bergantian menatap tiga layar di depannya.
“Halo, halo, halo, halo, halo,” satu persatu suara lelaki dengan bahasa Indonesia aksen Inggris menghubungi anggota DPR, menteri, pejabat pemerintah. Video dan foto mesum mereka dikirimkan dengan ancaman yang sama akan disebarkan kepada keluarga dan publik jika menolak. Semua pasrah seperti tidak ada perlawanan.
Dan betul. DPR dan pemerintah kemudian mengesahkan RUU Perlindungan Rakyat Miskin sepekan kemudian. Video dan foto tersebut sangat ampuh sehingga membuat para pejabat tidak punya pilihan lain.
“Sah,” ketok palu Ketua DPR dalam sidang paripurna.
*
Sekar terbangun di tempat tidur berukuran besar dengan rangka kayu ukir Jepara yang indah. Selimut dan bantal sutra membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Tapi lampu gantung kristal besar yang memantulkan cahaya karena tersorot sinar matahari memaksanya membuka mata. Ia memutar badan ke kiri dan kanan untuk menambah tenaga. Secara perlahan, kakinya turun dari tempat tidur dan sambil menguap, ia melangkah menuju kamar mandi.
Sekar kaget dan terdiam ketika melihat wajah di kaca meja rias mewah. Ia pegang pipi dan menelusuri bentuk mukanya seakan tidak percaya. Ia cubit kulitnya beberapa kali untuk memastikan yang ia lihat bukan mimpi. Ia tampar kanan dan kiri mukanya untuk memastikan dirinya.
“Saya tidak mimpi,” gumam Sekar.
“Bagaimana bisa wajah saya berubah menjadi wajah Amir,” Sekar masih tidak percaya, ia terbangun dengan wajah dan tubuh milik Amir.
Sementara Amir terbangun di kamar berukuran sempit seperseratus dari istana miliknya. Keringatnya mengalir karena tidur hanya berbekal kipas angin dan selimut kasar. Ia bergegas cepat karena tidak tahan, tapi kaca di lemari menghentikannya. Matanya melotot melihat wajahnya berganti menjadi wajah Sekar. Begitu pula tubuhnya. “Tidak,” teriak Amir tidak terima.
Sekar lalu menghubungi Demos untuk menanyakan kejadian aneh itu. Belum sempat bertanya, Demos ternyata juga mendapat kabar yang sama dari ratusan pekerja rumah tangga lainnya. Kejadian sama. Mereka terbangun dan tertukar tubuh dan wajah dengan para majikannya. Demos kemudian berkumpul kembali dengan ratusan pekerja yang telah berjuang setahun terakhir.secara daring di saluran yang aman.
“Bagaimana kalau kita permainkan saja para majikan yang sekarang berpindah tubuh dengan kita. Biar mereka merasakan hidup susah, gaji tidak layak, menjadi korban kekerasan. Supaya mereka bisa merasakan penderitaan kita selama ini?”
“Setuju, setuju, setuju, setuju, setuju!”
SM, 6 Oktober 2024