(Refleksi Peringatan Hari Kartini)
Zulfatun Mahmudah*
Judul di atas bisa jadi mengundang pertanyaan, “mungkinkah kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh perempuan sendiri”? Bukankah selama ini kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh praktik-praktik yang berbasis ideologi patriarki? Berbagai pertanyaan tersebut tentu saja tidak salah, karena realitasnya, perempuan kerap menjadi korban kuasa patriarki. Namun demikian, kita tidak bisa melihat hal itu secara esensialis. Perempuan harus memiliki kemampuan reflektif dalam memahami dan melihat fenomena tersebut.
Dalam keseharian, kita seringkali mendengar suara hati perempuan yang mengatakan “Lebih enak punya boss laki-laki dibanding perempuan. Boss perempuan mudah baper dan mengedepankan sentimen bukan argumen dalam melihat dan menyelesaikan persoalan”. Kegelisahan tersebut tidak hanya terdengar dari suara pekerja perempuan. Di kantin kampus misalnya, suara senada seringkali terdengar dari obrolan santai para mahasiswa yang terjebak dalam relasi kuasa dengan dosen pembimbingnya.
Bagi mereka yang dengan lantang menyuarakan kesetaraan gender, bisa jadi ungkapan tersebut dianggap sebagai bentuk stereotipisasi perempuan. Narasi tersebut dinilai sebagai representasi praktik patriarki yang sengaja diproduksi untuk mendiskriditkan kaum perempuan. Anggapan tersebut diperkuat oleh banyaknya narasi yang mendudukkan kekerasan terhadap perempuan seolah identik dengan pelecehan seksual. Akibatnya tindakan yang bersifat menekan, menggunjing, dan memaksakan pendapat dianggap bukan bagian dari tindak kekerasan.
Suara hati perempuan tersebut di atas, mengingatkan kita pada film Tilik. Publik dibuat geram dengan sikap Bu Tejo yang dari awal hingga akhir film terus menerus menghujat dan merendahkan Dian, perempuan mandiri yang tidak menjadi bagian komunitasnya. Film tersebut bisa jadi fiktif dan belum tentu merepresentasikan peristiwa sebenarnya. Namun demikian, satu hal yang perlu diingat, film adalah produk ideologis (Commoli dan Norboni dalam Kauvaros, 2008: 377). Film bisa menjadi representasi pemikiran pihak-pihak yang terkait dengan produksi film tersebut.
Graeme Turner (1999: 47 49) dalam bukunya yang berjudul “Film as Social Practice” menyebutkan bahwa film adalah produk budaya dan praktik sosial, yang berfungsi sebagai medium untuk memproduksi dan mereproduksi makna budaya. Pendapat tersebut sepertinya tepat untuk melihat fenomena apa yang melatarbelakangi film Tilik.
Wahyu Agung Prasetyo, sang sutradara dan Elena Rosmeisara selaku produser menuturkan bahwa ibu mereka berstatus janda dan single. Mereka kerap menjadi korban gunjingan karena status yang disandangnya. Keduanya tidak menyebutkan dengan jelas, subjek gender yang kerap menggunjing ibunya. Namun demikian, narasi yang dibangun dalam film Tilik seolah memberi jawaban bahwa para penggunjingnya adalah kaum perempuan. (https://kumparan.com/kumparannews/film-tilik-lahir-dari-obrolan-sang-sutradara-di-angkringan-1u2nfWS2NLj/2).
Gambaran adanya kekerasan terhadap perempuan oleh perempuan terkesan lepas dari keriuhan narasi yang diperbincangkan dalam puncak acara Hari Kartini, gelaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kegiatan yang dilaksanakan di Gelora Bung Karno itu, dihadiri sejumlah tokoh perempuan. Mereka lantang menyuarakan keinginannya melanjutkan cita-cita Kartini untuk memberdayakan perempuan dan melindunginya dari berbagai tindak kekerasan. Suara tersebut tentu saja sangat layak diapresiasi. Kita patut bangga karena bangsa ini memiliki perempuan-perempuan hebat dengan keinginan sama, kekerasan terhadap perempuan harus dihentikan.
Persoalannya adalah apakah semangat yang muncul di panggung depan itu sama dengan yang terjadi di panggung belakang? Goffman (1959) menggambarkan kehidupan sehari-hari seperti sebuah panggung. Orang-orang dalam panggung tersebut merupakan aktor yang memanfatkan pertunjukan untuk membuat kesan tertentu pada audiens. Diibaratkan sebuah panggung, kehidupan sosial terbagi dalam dua wilayah, depan (front stage) dan belakang (back stage). Wilayah depan terkait pada peristiwa sosial yang menunjukkan penampilan formal individu. Sebaliknya wilayah belakang terkait tempat dan peristiwa yang memungkinkan seseorang mempersiapkan perannya di wilayah depan tersebut. Goffman (1959) juga menyebutkan “when an individual appears before others he will have many motives for trying to control the impression they receive of the situation”.
Menurut Goffman, panggung depan cenderung terlembagakan yang mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan oleh lembaga tempat dirinya bernaung. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan gambaran diri yang akan diterima oang lain. Ia menyebut upaya tersebut sebagai pengelolaan kesan, yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk membentuk kesan-kesan guna mencapai suatu tujuan.
Berkaca Pada Gagasan dan Sikap Kartini
Berbicara tentang perjuangan membebaskan perempuan dari penindasan, tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang Kartini. Baginya, kehidupan perempuan tanpa penindasan bukan sekedar wacana ataupun narasi dalam sebuah seremoni. Meski hidup dalam kungkungan adat Jawa feodal, Kartini mampu melawan penindasan yang ada dengan memberikan teladan yang luar biasa. Sebagai contoh, kala itu, adat Jawa mewajibkan penghormatan yang begitu tinggi kepada orang yang lebih tua.
Dalam suratnya kepada Stella (18/8/1899), Kartini menceritakan bahwa adek-adeknya harus merangkak jika akan lewat di depannya. Mereka harus turun dari kursi dan duduk di tanah sambil menundukkan kepala, jika Kartini sebagai orang yang lebih tua lewat. Dalam bertutur kata, seorang adek juga diwajibkan menggunakan bahasa Jawa “kromo”. Aturan adat yang sesungguhnya menguntungkan Kartini itu, justru ditentangnya. Ia melarang adek-adeknya memberikan penghormatan sebagaimana adat yang berlaku.
Kartini rela melepas hak istimewanya, bahkan ia menjadikan Kardinah dan Roekmini yang notabene lebih muda sebagai teman diskusinya. Dalam sebuah surat yang dikirim ke sahabatnya, Stella, ia menuturkan:
“Mula-mula orang mencela sekali pergaulan bebas diantara kami kakak-beradik. Kami disebut sebagai anak-anak tanpa sedikitpun pendidikan dan saya disebut kuda kore, kuda liar. Tetapi setelah orang melihat; bagaimana mesra serta menyenangkan perhubungan diantara kami, ……inginlah orang akan persatuan kami yang selaras, yang terutama terjalin diantara kami bertiga“ (Sutrisno, 2014: 15)
Isi surat Kartini tersebut menunjukkan bahwa membangun kesetaraan tidak hanya persoalan laki-laki dan perempuan. Bagaimana perempuan bisa memberikan ruang untuk sama-sama berkembang menjadi ruh yang akan menjiwai wacana kesetaraan itu sendiri. Oleh karena itu, nafsu menguasai dan merendahkan perempuan lain – yang mungkin masih ditemukan saat ini akibat adanya power dan keistimewaan yang dimiliki – menjadi hal yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini.
Selain itu, Kartini juga memberikan teladan bagaimana dirinya bisa berbagi dan memberikan ruang bagi laki-laki, meskipun pada era tersebut ia dan perempuan lainnya terpinggirkan oleh adat yang lebih berpihak pada laki-laki. Hal tersebut terlihat dari suratnya yang dikirim ke Nyonya Abendanon (24/7/1903) berikut:
”Sudikah Ibu menyampaikan kepada Yang Mulia? Hati kami sangat tertarik kepada seorang anak muda, dan kami ingin sekali melihat dia bahagia. Anak muda itu namanya Salim; orang Sumatera berasal dari Riouw. Tahun ini dia menempuh ujian di HBS dan mencapai nomer satu dari ketiga HBS. Anak itu ingin benar pergi ke Belanda untuk belajar jadi dokter; sayang keadaan keuangannya tidak mengizinkan. Gaji Ayahnya hanya f. 150,- Tak dapatkah orang lain memanfaatkan bea siswa kami? Buatlah kami bahagia dengan cara membuat bahagia orang lain“(Khozin dalam Marihandono dkk, 2016: 46).
Kesediaan Kartini mengalihkan beasiswanya untuk sekolah di Belanda kepada Salim yang notabene laki-laki menunjukkan bahwa bagi Kartini perjuangan kesetaraan gender bukanlah perjuangan perempuan melawan laki-laki. Perjuangan meraih kesetaraan lebih merupakan cara pandang bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan. Kartini berupaya melawan ketidakadilan, diskriminasi, dan marginalisasi yang dialami oleh siapapun baik yang bergender laki-laki maupun perempuan.
Ratusan surat Kartini yang ditulis untuk sahabat-sahabatnya memberikan gambaran sikap Kartini yang tidak hanya kritis, tapi juga egaliter. Saatnya kaum perempuan melihat perjuangan Kartini secara komprehensif. Hal tersebut hanya bisa diraih jika kita memahami gagasan Kartini secara mendalam. Pemikirannya yang tertuang dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, menjadi jembatan memahami siapa dan bagaimana sepak terjangnya dalam membebaskan perempuan Indonesia dari penindasan, baik atas nama adat maupun agama. Semoga Kartini tersenyum bangga melihat keberhasilan perempuan meneruskan cita-citanya, bukan menangis sedih karena perjuangan emansipasinya disalahartikan.
*Penulis adalah Doktor Kajian Budaya dan Media, aktif di kajian dan riset gender
Referensi:
Kauvaros, G, 2008, We Do Not Die Twice: Realism and Cinema, dalam The Sage Handbook of Film Studies, Diedit oleh James McDonald dan Michael Renov, London: Sage, hal. 376-390.
Khozin, N. 2016. Biografi Kartini, dalam Sisi Lain Kartini. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional. hal. 1-49.
Turner, G., 1999, Film as Social Practice (3rd edition), London and New York: Routledge.
Sutrisno, Sulastin. 2014. Emansipasi : Surat-surat kepada Bangsanya 1899-1904. Yogyakarta: Jalasutra.