Koreksi, Jakarta- Jalanan rusak dan banyak genangan air ketika hujan turun. Kondisi jalan seperti itu menjadi pemandangan biasa bagi warga Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Meskipun jalan sudah diberi aspal, kerusakan di banyak jalan tidak menunjukkan desa ini berada di ring satu penghasil panas bumi. Bahkan, menurut warga, getaran mobil truk yang melintas dengan kencang akan terasa getarannya.
Desa Cipeuteuy, berada dalam radius 5 Km dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Star Energy Geothermal Salak (SEGS). Perusahaan tersebut memanfaatkan panas bumi untuk kebutuhan energi listrik Jawa-Madura-Bali. Meskipun menjadi lumbung energi nasional, infrastruktur dasar untuk desa ini justru jauh dari cerminan desa mandiri.
Bak jatuh, tertimpa tangga. Peribahasa ini cocok dialamatkan pada Kacamatan Kabandungan sebagai salah satu kecamatan penghasil panas bumi. Dekat dengan SEGS, tidak membuat penyerapan tenaga kerja secara signifikan. Hal ini juga dirasakan oleh Kecamatan Kalapanunggal yang juga menjadi kecamatan yang dekat dengan sumber panas bumi.
“Tidak banyak, bisa dihitung pakai jari,” ujar Kepala Desa (Kades) Kabandungan, Bedi, ketika ditanya terkait dengan jumlah pekerja yang berasal dari daerah sekitar, saat ditemui di kantornya pada Selasa (30/9/2025).
Menurut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Dinas Sosial Kabupaten Sukabumi tahun 2024, dua daerah penghasil panas bumi masuk dalam daerah yang memiliki persentase masyarakat prasejahtera atau miskin yang mengkhawatirkan.
Di Kecamatan Kabandungan, sebanyak 40.930 jiwa (86,5%) dari 46.643 jiwa penduduk masuk kategori masyarakat miskin. Sementara itu, Kecamatan Kalapanunggal sebanyak 43.857 jiwa (80,7%) dari 54.381 jiwa penduduk masuk kategori masyarakat miskin.
Tingginya angka masyarakat miskin ini justru berbanding terbalik dengan bonus produksi (BP) dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang terus mengalir setiap tahunnya ke 13 desa di dua kecamatan tersebut. Dana kompensasi panas bumi belum dikelola dengan baik untuk kepentingan bersama.
Puncak dari kesalahan tata kelola tersebut adalah tragedi yang terjadi pada Agustus 2025. Seorang Balita berusia 4 tahun bernama Raya, dari Desa Cianaga meninggal dengan tubuh digerogoti cacing yang berada dalam tubuhnya. Desa Cianaga, masuk dalam Kecamatan Kabandungan, dan menjadi salah satu desa penerima BP dan DBH.
Kehidupan Raya sangat tragis. Hidup dengan neneknya, sementara Ayahnya sakit Bronkitis dan Ibunya yang mengidap Tuberkulosis (TBC). Balita terlahir prematur itu disebutkan belum bisa jalan dan belum bisa berbicara.
Kejadian Raya menjadi tamparan keras untuk pemerintah desa dan daerah Kabupaten Sukabumi. Desa Cianaga yang termasuk dalam desa penerima Bonus Produksi itu, ternyata tidak dapat menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Tentu saja pertanyaan besar tertuju pada ke mana aliran dana BP dan DBH?
Ke mana Dana Panas Bumi Menguap?

Data dari Portal Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD), Kabupaten Sukabumi hingga 7 Oktober 2025, menerima DBH Rp189,88 miliar. Kontribusi DBH dari Panas Bumi untuk BP mencapai 64,6% dengan besaran Rp122,63 miliar.
BP yang diterima oleh 13 desa di dua kecamatan, yaitu Kabandungan dan Kalapanunggal, masing-masing sebesar Rp307.692.000. Sementara itu, pada tahun berjalan 2024, DBH untuk Kabupaten Sukabumi adalah Rp10,12 miliar. BP nantinya dapat digunakan langsung oleh desa penghasil, sedangkan DBH akan masuk ke anggaran belanja daerah (APBD).
Dalam Undang-undang (UU) Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, BP akan turun dua kali dalam setahun. Menurut Bedi, rerata setiap desa menerima Rp400 juta hingga Rp600 juta per tahun, tetapi pencairannya pada bulan Februari dan November.
Dana BP tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintah daerah; pembangunan desa; pembinaan masyarakat; pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana atau kebutuhan darurat lainnya.
Pengelolaan DBH dilakukan oleh pemerintah daerah dengan penganggaran untuk desa dan skala prioritas lainnya. Dana itu akan menjadi pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Aturan terkait DBH pun jelas diatur, 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah.
Dari 80% dana DBH yang diterima pemerintah daerah, proporsinya kembali dibagi 16% untuk pemerintah daerah, 32% untuk Kabupaten atau kota penghasil dan 32% sisanya akan dibagikan ke kabupaten atau kota lainnya.
BP termasuk dana shock absorber atau dana yang ditujukan untuk menunjang atau menstabilkan perekonomian di desa penghasil. Aturannya jelas diatur dalam UU Panas Bumi, pada pasal 53. Regulasi turunan lainnya yang mengatur BP adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2016 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 23 tahun 2017. Aturan Bonus Produksi sendiri berbeda-beda pada setiap daerah. Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Sukabumi No. 33 tahun 2018, dijelaskan bahwa besaran penerimaan BP untuk daerah penghasil adalah 50%, sedangkan 50% lainnya akan masuk RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Pemberdayaan Pelik, Masuk Kerja Sulit

Bagi warga, masalahnya bukan keberadaan PLTP yang sangat dekat dengan jarak rumahnya. Namun, masalah utamanya adalah kenapa desa-desa penerima BP belum juga menjadi desa mandiri. Padahal aliran dana kompensasi panas bumi setiap tahun mengalir ke desa dan tertulis dalam laporan realisasi anggaran APBD berjalan.
Salah seorang Kepala Dusun dan penggerak pemuda di Desa Cipeuteuy, mengonfirmasi bahwa dusunnya sudah beberapa tahun tidak tersentuh perbaikan dari anggaran BP. Padahal dana tersebut spesifik disebut dapat dimanfaatkan secara meluas dan merata.
Angka ratusan juta hingga miliaran Rupiah tidak menjamin desa yang mendapatkan BP menjadi desa yang mandiri. Permasalahan tata kelola dan distribusi hasil BP ini menjadi silang sengkarut yang terus berlarut di desa penghasil.
Data dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) Kabupaten Sukabumi dari tahun 2020 hingga tahun 2024, BP dari Star Energy itu mencapai Rp59,1 miliar.
Salah satu fungsi BP yang seharusnya untuk pembinaan dan pemberdayaan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kedua kecamatan yang mendapat BP, bahkan kompak dalam pelaporannya lebih banyak melakukan pengerjaan infrastruktur jalan.
“Mereka (Sekda dan BPKAD) juga bingung. Kenapa Kabandungan dan Kalapanunggal uang BP ini tiap tahun laporannya gang (pengecoran dan pengaspalan) terus,” ujar tokoh muda Desa Cipeuteuy, Hari Saputra, saat menceritakan pertemuannya di Sekda, melalui panggilan suara pada Senin (6/10/2025),
Perumusan BP berbeda dengan DBH yang sudah ada dalam Laporan Realisasi Anggaran APBD. “Pertama-tama dibawa ke musyawarah RT, lalu dibawa ke musyawarah dusun (Musdus), kemudian diatur prioritasnya dan disepakati di musyawarah desa (Musdes)” jelas Kepala Desa Cipeuteuy, Purnama Wijaya, saat diwawancarai di kantor desa pada Rabu (01/10/2025).
Sulitnya mengakses BP dan DBH, membuat pemuda desa mencoba untuk memanfaatkan dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR). Harapan untuk dapat mengembangkan potensi desa dan pemberdayaan ekonomi dari dana CSR. Sayangnya, untuk mendapatkan dana CSR tidak mudah.
Berulang kali Hari, meminta transpransi dalam hal pengajuan CSR dan penerimaan manfaat CSR. Sayangnya permintaan itu selalu ditolak pihak perusahaan dengan mengatakan datanya bisa didapatkan di Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, Pengembangan Daerah (Bapelitbangda). Dirinya bahkan harus beraudiensi di DPRD Kabupaten Sukabumi dengan perusahaan terkait transparansi data.
“Sulit untuk dapat CSR. Kalau bukan tokoh, ya harus jadi bagian Ormas (Organisasi Masyarakat),” menurut Hari.
Dana tanggung jawab sosial perusahaan yang seharusnya dapat membantu pemberdayaan masyarakat dan peningkatan taraf hidup tidak berjalan sesuai rencana. “Cuma ada sekali, tahun 2023. Itu program Stunting, terus setelahnya tidak ada,” jelas Hari.
Untuk bekerja di SEGS, terdapat praktik percaloan tenaga kerja yang diurus oleh Ormas yang telah ditunjuk (Forum Ormas). Selain itu, calon pekerja harus menjadi anggota Ormas tersebut. Nantinya, Ormas akan mendapatkan jumlah pekerja yang dibutuhkan.
Menurut Euis, warga Kampung Arendah, Desa Cipeuteuy, untuk masuk kerja di sana melalui Ormas dan harus bayar. Anaknya pernah ditawari untuk masuk ke SEGS dengan cara membayar, tetapi dirinya menolak, karena tidak ada dana untuk membayarnya.

Pernyataan Euis, senada dengan Hari yang menyatakan untuk bekerja di sana harus membayar. “Range Rp1 juta-Rp5 juta, nantinya saat gajian, pekerja masih ‘dicolek’ untuk dapat uang rokok istilahnya sebesar Rp100 ribu sampai Rp300 ribu.”
Pekerja yang dibutuhkan adalah pekerja unskilled (tidak membutuhkan keterampilan khusus). Biasanya akan bekerja sebagai pekerja proyek untuk pembangunan atau pekerjaan lainnya tidak terkait dengan inti perusahaan tersebut.
Tidak hanya Dana CSR dan melamar pekerjaan yang sulit di desa ring satu, tetapi mendapatkan proyek pengerjaan (sub-contractor) menjadi sesuatu yang sulit. Setiap orang yang memiliki badan usaha atau ingin mengajukan jasa harus melalui sebuah organisasi, bernama Presidium.
Warga Tuntut Proporsi Bonus Produksi
Hari menambahkan, Aliansi Pemuda Desa saat ini sedang mendesak agar regulasi alokasi BP dari 50% kabupaten dan 50% daerah penghasil agar diubah, menjadi 70% daerah penghasil dan 30% kabupaten. Setelahnya harus jelas mekanisme peruntukkannya, agar semua anggaran tidak lari semua ke dalam infrastruktur desa saja.
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, menjadi salah satu contoh yang dapat ditiru oleh pemerintah desa. BP dari Star Energy yang diperuntukkan desa penghasil sebesar 70% dan itu tidak menyalahi aturan UU yang berlaku.
Dalam UU tentang Panas Bumi aturan terkait besaran Bonus Produksi untuk daerah penghasil adalah minimal 50%. Sehingga menaikkan porsi pembagian ke desa penghasil menjadi 70% dapat dilakukan.
Keadilan ekonomi di pusat lumbung energi nasional, bukan sesuatu yang mustahil. Hal itu bisa terjadi jika politik anggaran, dipergunakan dengan bijak dan bukan hanya fokus pada pembangunan fisik. BP dan DBH harus menjadi jaminan untuk setiap masyarakat desa, untuk dapat mengakses jaminan kesehatan dan pemberdayaan.
Info terbaru dari Aliansi Pemuda Desa yang beraudiensi dengan pihak SEGS untuk menanyakan BP, DBH dan CSR, pada Senin, 13 Oktober 2025, tidak menghasilkan apapun. Pihak SEGS menyatakan sudah menunaikan semua kewajibannya dan mengarahkan warga untuk melihat data CSR langsung ke Bapelitbangda.









![Susi Pudjiastuti: Minimal DPR Copot Puan Maharani [SALAH]](https://koreksi.org/wp-content/uploads/2025/10/Screenshot-2025-10-16-073005-75x75.jpg)


![Jokowi Jadi Sekjen PBB 2026 [Hoaks]](https://koreksi.org/wp-content/uploads/2025/10/Screenshot-2025-10-13-203533-75x75.jpg)
























