Di negara yang menyebut dirinya demokratis, kemunculan kembali istilah tahanan politik bukan sekadar ironi tetapi kegagalan mendasar dalam evolusi hukum dan politik modern. Dua puluh tujuh orang yang kini mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya dan kemudian membentuk Serikat Tahanan Politik Indonesia sesungguhnya sedang memperlihatkan sesuatu yang lebih gelap dari sekadar kekerasan prosedural. Mereka memperlihatkan bahwa setelah seperempat abad reformasi, republik ini masih belum selesai berdamai dengan warisan otoritarianisme. Di negeri yang katanya telah matang secara demokratis, kita kembali berhadapan dengan fenomena yang seharusnya hanya hidup di arsip sejarah: tahanan politik.
Dalam sejarah modern, istilah tahanan politik selalu lahir dari dua jenis rezim yang sama-sama gagal mengenali perbedaan pandangan. Rezim otoritarian yang represif menggunakannya untuk menaklukkan oposisi, sementara demokrasi yang sedang mengalami panik moral menggunakannya untuk menertibkan warganya sendiri. Pada abad ke-20, istilah itu identik dengan Uni Soviet di bawah Stalin, Tiongkok pada masa Revolusi Kebudayaan, Korea Utara hingga hari ini, Iran pasca-1979, Myanmar di bawah junta, dan Indonesia di masa Orde Baru Soeharto. Dalam semua contoh itu, negara menempatkan perbedaan pandangan sebagai kejahatan, bukan sebagai hak. Ia tidak menghukum tindakan kriminal, melainkan menghukum ketidaksepakatan. Maka ketika istilah yang sama muncul kembali di Jakarta pada 2025, di bawah pemerintahan yang dipilih secara elektoral, pertanyaannya bukan lagi apa yang salah pada para tahanan itu, melainkan apa yang sedang mundur dalam sistem politik kita.
Latar pembentukannya jelas. Menurut laporan LBH Jakarta dan Tim Advokasi untuk Demokrasi, beberapa tahanan mengalami kekerasan saat pemeriksaan tanpa pendamping hukum. Mereka lalu menulis surat, menandatangani nama, dan membentuk wadah bersama. Mereka bukan revolusioner yang ingin menggulingkan negara, tetapi warga negara yang berusaha bertahan dari negara yang tak lagi mengenali batas kuasanya. Dalam masyarakat hukum yang sehat, tindakan ini tidak perlu dilakukan. Fakta bahwa ia muncul justru mengungkap lubang besar dalam institusi hukum bahwa hukum kini bekerja bukan untuk melindungi, melainkan untuk mengatur kesunyian.
Reformasi 1998 semestinya menjadi penanda berakhirnya politik ketakutan. Pemisahan militer dan Polri dimaksudkan agar negara tidak lagi beroperasi dengan logika keamanan internal yang represif. Namun dua puluh lima tahun kemudian, logika itu justru hidup kembali dalam bentuk yang lebih canggih, represi berbasis legalitas. Ratusan orang ditangkap pada demonstrasi Mei dan Agustus 2025 atas tuduhan penghasutan dan penyebaran informasi menyesatkan. Pasal yang dipakai adalah pasal lentur, diwariskan dari masa kolonial dan diperbarui dalam Undang-Undang ITE. Di atas kertas, ini penegakan hukum. Dalam praktiknya, ini represi yang dilegalkan. Perbedaan utamanya dengan masa Soeharto hanya pada kosmetika. Dulu represi disertai sensor, sekarang disertai pernyataan “kami menjunjung hak asasi manusia”.
Fenomena semacam ini tidak unik bagi Indonesia. Rusia di bawah Vladimir Putin menggunakan pasal ekstremisme dan disinformasi untuk menahan oposisi. India di bawah Narendra Modi menjerat aktivis dengan Undang-Undang Keamanan Nasional. Di Tiongkok, hukum tentang gangguan ketertiban umum digunakan untuk menahan pembela hak buruh dan lingkungan. Semua negara itu masih menggelar pemilu, tetapi substansi demokrasinya tereduksi. Hukum dipakai bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk menertibkan perbedaan. Indonesia kini berjalan di jalur yang sama, hanya dengan bahasa yang lebih lembut dan tata cara yang lebih prosedural.
Mereka yang membentuk Serikat Tahanan Politik Indonesia paham bahwa menghadapi sistem semacam ini tidak bisa dilakukan secara individual. Mereka menyadari sebagaimana disadari oleh para tahanan di masa Orde Baru bahwa solidaritas adalah satu-satunya perlindungan terhadap kekerasan yang dilembagakan. Dari dalam rutan, mereka mengorganisir pemeriksaan medis, memastikan pendamping hukum, dan menjadi saksi bagi satu sama lain. Di tengah negara yang kehilangan empatinya, para tahanan ini justru menampilkan rasionalitas politik yang paling tinggi, kesadaran bahwa hukum tanpa solidaritas adalah ruang hampa. Ironinya, demokrasi yang dulu mereka perjuangkan kini hanya hidup di antara mereka yang dipenjara karenanya.
Pemerintah tentu akan menyangkal bahwa mereka adalah tahanan politik. Negara demokratis, katanya, tak mengenal istilah itu. Tetapi istilah bukanlah soal nomenklatur, melainkan fungsi. Bila seseorang ditangkap bukan karena ia melakukan kekerasan, melainkan karena ia mengungkapkan pandangan yang tak sejalan dengan penguasa, bila penyiksaan dilakukan untuk menekan perbedaan narasi, bila hukum dijalankan dengan asumsi bahwa kesetiaan lebih penting daripada kebenaran, maka apa pun istilah yang dipakai, substansinya tetap sama. Itu penahanan politik, dan serikat yang lahir di dalam penjara ini hanya mempertegasnya.
Masalahnya bukan pada hukum, melainkan pada keberanian politik untuk menjadikan hukum sebagai pelindung warga, bukan tameng kekuasaan. Polri berdiri di titik genting antara profesionalisme dan politik. Setiap kali ada tuduhan penyiksaan, respons yang muncul bukan penyelidikan terbuka, melainkan pembelaan institusional. Dalam setiap demokrasi yang matang, pengakuan atas kesalahan justru menjadi sumber legitimasi moral. Di Indonesia, pengakuan masih dianggap kelemahan. Akibatnya, hukum berjalan dengan ketegasan prosedural tapi kehilangan keteguhan moral. Ia tegak di atas kertas, tapi goyah di dalam nurani.
Kita bisa saja terus berkata bahwa demokrasi Indonesia masih berfungsi. Pemilu akan tetap digelar, partai akan tetap bertarung, pejabat akan tetap berganti. Namun demokrasi yang hanya bertumpu pada prosedur adalah demokrasi yang mudah dibungkam. Ia hidup, tapi tidak berjiwa. Ia punya bentuk, tapi kehilangan keberanian. Ketika negara merasa perlu menahan orang karena berpendapat, maka demokrasi sudah berubah menjadi ritual administratif. Republik masih berdiri, tetapi semangat republik, bahwa kekuasaan lahir dari rakyat dan untuk rakyat, telah retak.
Sejarah memberi pelajaran yang keras. Tidak ada satu pun rezim yang bertahan lama dengan memenjarakan warganya yang berpikir. Soeharto jatuh ketika penjara sudah terlalu penuh dengan suara yang disangkal. Di Chile, Augusto Pinochet tumbang bukan karena senjata, tetapi karena memenjarakan terlalu banyak intelektual. Di Myanmar, setiap kudeta dimulai dengan penangkapan, dan setiap kejatuhan rezim juga ditandai dengan pembebasan tahanan politik. Mungkin Indonesia belum sampai di titik itu. Namun pertanyaannya, apakah kita benar-benar yakin sedang menjauh darinya?
Virdika Rizky Utama, Direktur Eksekutif PARA Syndicate