• Latest
  • Trending
  • All
  • Berita
  • RUANG SASTRA
  • OPINI
Razia Agustus di Jawa Timur: Penangkapan Massal, Kekerasan Eksesif dan Dugaan Pelecehan Seksual oleh Polisi

Razia Agustus di Jawa Timur: Penangkapan Massal, Kekerasan Eksesif dan Dugaan Pelecehan Seksual oleh Polisi

October 2, 2025
Perkara Bullying Anak MTs Al Gebra Sorong Mangkrak di Kantor Polisi

Perkara Bullying Anak MTs Al Gebra Sorong Mangkrak di Kantor Polisi

October 14, 2025
Jokowi Jadi Sekjen PBB 2026 (Hoaks)

Jokowi Jadi Sekjen PBB 2026 (Hoaks)

October 13, 2025
Tahanan Politik Era Paling Baru

Tahanan Politik Era Paling Baru

October 9, 2025
Polda Jatim Seret Dua Aktivis Prodemokrasi dalam Kasus Kerusuhan Kediri

Polda Jatim Seret Dua Aktivis Prodemokrasi dalam Kasus Kerusuhan Kediri

October 9, 2025
Polda Jatim Tak Patuh Prosedur Hukum, Tangkap Aktivis Sosial Asal Yogyakarta Tanpa Dasar

Polda Jatim Tak Patuh Prosedur Hukum, Tangkap Aktivis Sosial Asal Yogyakarta Tanpa Dasar

October 5, 2025
Lewat Forest Defender Camp, Pemuda Adat Bicara Hutan Papua dari Lemba Knasaimos menuju Brasil

Lewat Forest Defender Camp, Pemuda Adat Bicara Hutan Papua dari Lemba Knasaimos menuju Brasil

September 24, 2025
Industri Binatu, Mikroplastik, dan Laut Tercemar: Siapa Bertanggung Jawab?

Industri Binatu, Mikroplastik, dan Laut Tercemar: Siapa Bertanggung Jawab?

September 22, 2025
Konsesi PT Gag Nikel Raja Ampat Kembali Beroperasi, AMAN Sorong Wanti-wanti Izin 4 Pulau

Konsesi PT Gag Nikel Raja Ampat Kembali Beroperasi, AMAN Sorong Wanti-wanti Izin 4 Pulau

September 11, 2025
Demokrasi yang Tersandera

Demokrasi yang Tersandera

September 6, 2025
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tuntut KPK Tetapkan Bupati Sudewo sebagai Tersangka

Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tuntut KPK Tetapkan Bupati Sudewo sebagai Tersangka

September 1, 2025
Anarkisme yang Diciptakan, Represi yang Disiapkan

Anarkisme yang Diciptakan, Represi yang Disiapkan

August 31, 2025
Amuk Massa

Amuk Massa

August 30, 2025
  • About
  • Editorial
  • Pedoman Media Siber
Wednesday, October 15, 2025
  • Login
Koreksi.org
  • Home
  • Berita
    Perkara Bullying Anak MTs Al Gebra Sorong Mangkrak di Kantor Polisi

    Perkara Bullying Anak MTs Al Gebra Sorong Mangkrak di Kantor Polisi

    Polda Jatim Seret Dua Aktivis Prodemokrasi dalam Kasus Kerusuhan Kediri

    Polda Jatim Seret Dua Aktivis Prodemokrasi dalam Kasus Kerusuhan Kediri

    Polda Jatim Tak Patuh Prosedur Hukum, Tangkap Aktivis Sosial Asal Yogyakarta Tanpa Dasar

    Polda Jatim Tak Patuh Prosedur Hukum, Tangkap Aktivis Sosial Asal Yogyakarta Tanpa Dasar

    Razia Agustus di Jawa Timur: Penangkapan Massal, Kekerasan Eksesif dan Dugaan Pelecehan Seksual oleh Polisi

    Razia Agustus di Jawa Timur: Penangkapan Massal, Kekerasan Eksesif dan Dugaan Pelecehan Seksual oleh Polisi

    Lewat Forest Defender Camp, Pemuda Adat Bicara Hutan Papua dari Lemba Knasaimos menuju Brasil

    Lewat Forest Defender Camp, Pemuda Adat Bicara Hutan Papua dari Lemba Knasaimos menuju Brasil

    Industri Binatu, Mikroplastik, dan Laut Tercemar: Siapa Bertanggung Jawab?

    Industri Binatu, Mikroplastik, dan Laut Tercemar: Siapa Bertanggung Jawab?

    Konsesi PT Gag Nikel Raja Ampat Kembali Beroperasi, AMAN Sorong Wanti-wanti Izin 4 Pulau

    Konsesi PT Gag Nikel Raja Ampat Kembali Beroperasi, AMAN Sorong Wanti-wanti Izin 4 Pulau

    Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tuntut KPK Tetapkan Bupati Sudewo sebagai Tersangka

    Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tuntut KPK Tetapkan Bupati Sudewo sebagai Tersangka

    Satu Orang Tewas dalam Aksi 28 Agustus, Ratusan Organisasi Masyarakat Tuntut Segera Reformasi Polri

    Satu Orang Tewas dalam Aksi 28 Agustus, Ratusan Organisasi Masyarakat Tuntut Segera Reformasi Polri

    Abolisi dan Amnesti: Barter Dukungan Politik dan Pelemahan Pemberantasan Korupsi

    PBHI: Pemilihan Wakil Ketua MA Harus Bebas dari Calon Bermasalah

    Trending Tags

  • Liputan Khusus
  • OPINI
    Tahanan Politik Era Paling Baru

    Tahanan Politik Era Paling Baru

    Demokrasi yang Tersandera

    Demokrasi yang Tersandera

    Anarkisme yang Diciptakan, Represi yang Disiapkan

    Anarkisme yang Diciptakan, Represi yang Disiapkan

    Amuk Massa

    Amuk Massa

    Ketika Politik Menggilas Hukum, Koruptor pun Tertawa

    Ketika Politik Menggilas Hukum, Koruptor pun Tertawa

    Ilustrasi Jakarta. Foto: jakarta.go.id

    Memerdekakan Jakarta dari Penjajahan Berkelanjutan

    Kekerasan Terhadap Perempuan Oleh Perempuan

    Kekerasan Terhadap Perempuan Oleh Perempuan

    Suara dari Bawah

    Suara dari Bawah

    Dampak Tarif Reciprocal AS terhadap Perekonomian Indonesia Perlu Dicermati

    Koreksi.org Kritik Pertemuan Presiden Prabowo dengan 7 Jurnalis di Hambalang

    Koreksi.org Kritik Pertemuan Presiden Prabowo dengan 7 Jurnalis di Hambalang

    Trending Tags

  • RUANG SASTRA
    Film “Wall to Wall”: Potret Nyata Kelas Pekerja di Seoul ’11-12′ dengan Jakarta

    Film “Wall to Wall”: Potret Nyata Kelas Pekerja di Seoul ’11-12′ dengan Jakarta

    TUMPUK: Manifesto Konsumerisme dan Tumpukan Sampah

    TUMPUK: Manifesto Konsumerisme dan Tumpukan Sampah

    Sanggar Lidi Surabaya Gelar Pementasan Teater “Grafito”,  Kisah Cinta Beda Agama di Balai Pemuda Surabaya

    Sanggar Lidi Surabaya Gelar Pementasan Teater “Grafito”,  Kisah Cinta Beda Agama di Balai Pemuda Surabaya

    Cerita pendek: Kemenangan

    Cerita pendek: Kemenangan

    Trending Tags

  • SUARA WARGA
No Result
View All Result
Koreksi.org
No Result
View All Result
Home Berita

Razia Agustus di Jawa Timur: Penangkapan Massal, Kekerasan Eksesif dan Dugaan Pelecehan Seksual oleh Polisi

by Andre Yuris
October 2, 2025
in Berita, Liputan Khusus
0
Razia Agustus di Jawa Timur: Penangkapan Massal, Kekerasan Eksesif dan Dugaan Pelecehan Seksual oleh Polisi

Aksi di Surabaya, Jawa Timur. Foto: Andre Yuris

SA seorang pelajar laki-laki berusia 17 tahun ikut ditangkap dalam gelombang aksi massa di Surabaya, Jawa Timur pada 29-31 Agustus lalu. Dalam video yang dirilis KontraS Surabaya, pada 23 September 2025, di Kantor Kontras Surabaya, ia menceritakan penyiksaan yang dialami di markas Polrestabes Surabaya.

Ia mengaku tidak ada niat untuk ikut aksi massa di depan Gedung Negara Grahadi. Sore itu, ia  bersama kawannya bermain bola di Jalan Mawar, sebelum akhirnya mendekat ke Gedung Grahadi. Beberapa jam kemudian ia ditangkap saat akan pulang ke rumah dan dibawa ke ke Polrestabes di Jalan Sikatan No.1 Surabaya.

SA menceritakan, saat di Polrestabes ada sekitar 150 orang lain yang ditangkap. Saat itu mereka dikumpulkan di satu ruangan. Saat ada tes urin, mereka semua dipaksa untuk membuka celana dan mengoleskan balsam ke alat kelamin sebelum buang air kecil. 

“Misalnya saya yang ngasih balsam duluan. Ngasih balsam si A lah, terus gantian si B yang ngasih si A. Gantian gitu. Rasanya panas sekali. Kalau tidak kencing, mereka mengancam akan memukuli kami,” katanya.

Akibat pemukulan, mata kanannya bengkak, hidung berdarah, perut memar, dan sulit makan karena ulu hati sakit. 

AS korban lain yang juga ditangkap malam itu bercerita tentang penyiksaan yang dialaminya. Bersama ratusan orang lain ia mengaku dipaksa lepas baju, dipukul dengan tongkat, sabuk kulit, dan selang air.

“Kami dipaksa jalan jongkok dari lantai satu hingga lantai empat. Kalau ada yang jatuh, kami ditendang dan dipukul dengan selang, tongkat, dan sabuk. Kena punggung” katanya. 

Ia tidak ingat siapa saja yang melakukan pemukulan, yang jelas ada yang berseragam coklat, seragam Brimob dan ada juga yang mengenakan baju batik.

“Polisi-polisi yang memukul itu ada juga yang kalau menurut saya sudah sudah pangkat  tinggi. Kenapa sudah tinggi? Karena mereka tidak memakai seragam. Mereka memakai baju batik yang sangat rapi” lanjutnya.

Saat dibebaskan, ia kaget motornya yang semula bersih dan masih terawat hancur tidak berbentuk. Semuanya rusak.  Radiator, tutup oli hilang, lampu-lampu pecah, body hancur. 

“Itu pun kalau saya tanya ke tukang bengkel kalau benerin kurang lebih Rp2 jutaan” keluhnya.

Temuan KontraS: Anak Jadi Korban Utama

KontraS Surabaya dalam laporan “Razia Agustus di Jawa Timur” mencatat, sejak 29 Agustus hingga pertengahan September 2025, sedikitnya 865 orang ditangkap di Surabaya, Kediri, Jember, Malang, Blitar, Sidoarjo, dan Madiun. Dari jumlah itu, 657 orang dibebaskan, sementara 209 dijadikan tersangka, termasuk 79 anak-anak.

Data ini berbeda dengan data Polda Jatim yang menyebut 997 orang ditangkap, terdiri dari 582 dewasa dan 415 anak-anak. Polisi menyebut ada 315 tersangka. Namun tidak merinci jumlah tersangka anak.

“Banyak tahanan, baik dewasa maupun anak-anak, mengalami pemukulan brutal hingga penyiksaan. Ada juga laporan pelecehan seksual,” ungkap Fatkhul Khoir, Koordinator Advokasi KontraS Surabaya di Kantor Kontras Surabaya, pada 23 September 2025.

Fatkhul menilai operasi ini menunjukkan diskresi hukum polisi tidak merata. Di Blitar, Malang, dan Jember, anak-anak hanya diwajibkan lapor. Tetapi di Surabaya, Sidoarjo, dan Kediri, mereka diperlakukan layaknya orang dewasa dan menghadapi kriminalisasi penuh.

“Menurut laporan atau aduan yang masuk ke kami, mayoritas orang yang ditangkap di Surabaya dipaksa, dicukur rambutnya oleh polisi,” jelas Fatkhul Khoir. 

Ia menilai tindakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan justru menjadi bentuk penghukuman di luar mekanisme peradilan dan merendahkan martabat manusia

Seperti yang dialami Saiful Amin alias Sam Umar (29), aktivis mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan terkait aksi aksi massa di Kediri pada akhir Agustus lalu.

Penasihat hukum Saiful Amin, Taufiq Dwi Kusuma dari LBH Al-Faruq Kediri, menyayangkan tindakan kepolisian yang melakukan penggundulan terhadap Sam Umar atau SA.

“Alhamdulillah sejak saya dampingi sampai hari ini kondisinya Saiful Amin maupun Selvin Bima itu baik-baik saja cuma yang sedikit agak kami kecewa itu adalah digundul” kata Taufiq di Kantor LBH Al-Faruq Kediri, pada  25 September 2025,

Meskipun pihak kepolisian berdalih alasan kesehatan, ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

“Setelah saya protes, tidak ada lagi tersangka lain, yang digunduli ketika ditahan,” ucapnya.

Hal lain yang juga jadi sorotan adalah terkait penyitaan barang pribadi seperti ponsel, dompet, motor dan kartu pelajar. Pelajar yang pernah ditangkap dan sudah dilepas tidak bisa mengambil ponsel. Polisi beralasan, ponsel mereka disita dan masih proses digital forensic.

Beberapa di antara mereka kesulitan berkomunikasi dengan sekolah dan tempat bekerja.

“Banyak anak-anak yang sudah dilepas tidak bisa kembali beraktivitas normal karena barang-barang mereka, mulai dari ponsel hingga kartu identitas, disita polisi dan tidak dikembalikan,” ungkap Fatkhul.

Fatkhul Khoir, Koordinator Advokasi KontraS Surabaya

KontraS juga menyoroti adanya kriminalisasi pemikiran yang ditandai dengan penyitaan buku-buku filsafat, teori kritis, Marxisme, hingga anarkisme dari sejumlah orang yang ditangkap. Buku-buku tersebut dijadikan barang bukti untuk mengaitkan individu dengan dugaan penghasutan.

 “Langkah seperti ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpikir dan akademik,” tegasnya.

Praktik penggundulan, penyitaan barang pribadi, hingga kriminalisasi buku, menurut KontraS Surabaya,  memperlihatkan tidak hanya represif dan eksesif tetapi juga merendahkan harkat manusia. 

“Kasus ini memperlihatkan praktik represif yang bukan hanya melanggar hak asasi, tetapi juga merusak prinsip keadilan, khususnya terhadap anak-anak,” ujarnya.

Hal lain yang ditemukan Kontras adalah terkait penghalangan akses terhadap bantuan hukum. Polisi juga menunjuk penasihat hukum secara sepihak tanpa persetujuan korban maupun keluarganya.

“Penyidik menyatakan dengan dalih perintah pimpinan, kami tidak bisa memberikan bantuan hukum saat itu di hari Minggu 31 Agustus 2025,” terang Khoir.

Padahal, menurut KontraS, praktik-praktik tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan merendahkan martabat manusia. Juga melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang mewajibkan aparat menjamin perlindungan khusus bagi anak dalam proses hukum.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) PBB melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, sehingga segala bentuk penyiksaan, termasuk pemaksaan, penggundulan, hingga pelecehan seksual yang dilaporkan korban, dilarang secara mutlak.

“Kasus ini memperlihatkan praktik represif yang tidak hanya melanggar hak asasi, tapi juga merusak prinsip keadilan, khususnya terhadap anak-anak,” tegas Fatkhul.

Reformasi Polri Mutlak Dilakukan

Deputi Direktur Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan, kekerasan yang dilakukan polisi bukanlah kejadian baru. Ia mengatakan, “Ini praktik yang terus terjadi tapi seolah tidak ada solusi, karena sistem hukumnya terlalu permisif.”

Maidina juga menemukan contoh yang ditemukan pihaknya, seperti informasi penyiksaan dalam kasus pidana mati yang baru bisa terungkap jauh setelah sidang berlangsung. 

“Bukti biasanya sudah hilang, karena semua terjadi di ruang gelap penyidik. Pemeriksaan dan penahanan juga tidak diawasi CCTV independen. Inilah celah yang membuat perlakuan sewenang-wenang kerap terjadi,” kata Maidina melalui aplikasi pesan pada 25 September 2025.

Terkait langkah hukum yang bisa ditempuh korban untuk mendapatkan keadilan, ia menyebut praperadilan sebagai opsi. Namun, jalannya sangat berat.

“Praperadilan itu sulit, karena korban harus membuktikan sendiri. Sementara pemeriksaan yang dilakukan tidak substantif,” ujarnya.

Sebagai solusi jangka panjang, ia menilai reformasi kepolisian mutlak diperlukan. Rekomendasinya jelas kewenangan polisi harus dikurangi agar tidak rawan disalahgunakan.

Kompolnas: Polisi Jangan Merendahkan Martabat Manusia

Menanggapi kesaksian sejumlah korban penangkapan di Surabaya, yang mengaku diperlakukan secara tidak manusiawi. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Khoirul Anam menjelaskan bahwa tindakan eksesif dan merendahkan martabat manusia (inhuman degrading treatment) tidak boleh dilakukan dalam tahap apapun, baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan.

“Perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat jelas dilarang pada tahapan penyelidikan apa pun, baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan resmi,” tegas Anam Rabu (24/9/2025).

Ia menambahkan, Kompolnas sejak awal sudah mewanti-wanti agar kepolisian tidak melakukan tindakan eksesif dalam penanganan demonstrasi maupun penangkapan massa.

“Sejak awal kami sudah wanti-wanti tidak boleh melakukan tindakan yang eksesif (Kekerasan berlebih, red),” ujarnya.

Anam juga memastikan pihaknya akan menelusuri lebih jauh dugaan pelecehan seksual yang dialami para korban di Surabaya.

Menurutnya, Kompolnas telah memberikan peringatan kepada sejumlah Kepolisian Daerah (Polda) untuk menghindari tindakan serupa dan memastikan penegakan hukum berjalan sesuai prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Diskresi Polisi Harus Berbatas, Bukan Alat Represi

Menanggapi KontraS Surabaya yang menemukan ketidakmerataan diskresi hukum,  Satria Unggul Wicaksana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, menegaskan bahwa kewenangan diskresi atau freies Ermessen yang dimiliki polisi tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang. 

Satria mengatakan, diskresi seharusnya digunakan untuk menjaga ketertiban umum (public order), bukan menjadi dalih bagi aparat untuk bertindak berlebihan. 

“Kewenangan diskresi, atau freies Ermessen, yang dimiliki polisi memiliki batas dan tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang. Untuk kasus yang melibatkan anak atau kekerasan berat, diskresi kepolisian seharusnya mengarah pada keadilan restoratif dan diversi,” jelas Unggul melalui aplikasi pesan pada 25 September 2025.

Diskresi kepolisian menurut Satrya semestinya digunakan untuk mengembalikan anak kepada orang tuanya, bukan mendorong mereka masuk ke dalam proses kriminalisasi yang justru merusak masa depan.

“Dan yang tidak kalah penting lagi adalah bagaimana jaminan dan akuntabilitas dari semua proses penegakan hukum, termasuk penggunaan kewenangan diskresi. Karena sekali lagi, secara filosofis, diskresi diperuntukkan untuk menjaga ketertiban publik, bukan untuk memunculkan kewenangan eksesif bagi penegak hukum,” tegas Unggul.

Dengan berbagai catatan itu, ia menyerukan perlunya reformasi kepolisian guna mencegah impunitas, serta memastikan bahwa penggunaan diskresi benar-benar berpihak pada keadilan, bukan menjadi instrumen represi.

Polrestabes Surabaya Belum Beri Komentar

Terkait pengakuan korban dalam video yang ditayangkan KontraS Surabaya, Koreksi.org, telah melakukan upaya konfirmasi melalui Kasi Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty Dewi.

Tim menghubungi Rina sejak tanggal 24 September 2025 melalui pesan singkat. Kami mengirimkan pesan berisi poin-poin terkait dugaan penyiksaan kepada sejumlah orang yang ditangkap selama aksi demonstrasi.

Rina hanya membalas “Terima kasih informasinya”. 

Hingga 25 September 2025, sebelum berita ini dipublikasikan, Koreksi kembali mengirimkan dua pesan baru untuk meminta tanggapan Polrestabes. Namun tidak dibalas.

Tags: kekerasanpenyiksaanreformasi polrisurabaya
Previous Post

Lewat Forest Defender Camp, Pemuda Adat Bicara Hutan Papua dari Lemba Knasaimos menuju Brasil

Next Post

Polda Jatim Tak Patuh Prosedur Hukum, Tangkap Aktivis Sosial Asal Yogyakarta Tanpa Dasar

Andre Yuris

Andre Yuris

Next Post
Polda Jatim Tak Patuh Prosedur Hukum, Tangkap Aktivis Sosial Asal Yogyakarta Tanpa Dasar

Polda Jatim Tak Patuh Prosedur Hukum, Tangkap Aktivis Sosial Asal Yogyakarta Tanpa Dasar

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Koreksi.org

Copyright © 2024

Navigate Site

  • About
  • Editorial
  • Pedoman Media Siber

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • OPINI
  • RUANG SASTRA
    • SUARA WARGA

Copyright © 2024