Koreksi, Surabaya – Kasus pemburuan aktivis prodemokrasi oleh institusi kepolisian terus terjadi di Jawa Timur (Jatim). Pasalnya, penangkapan aktivis itu terjadi sebagai bagian dari rentetan dugaan kasus kerusuhan yang terjadi di Kediri.
Sebelumnya, Tim Kepolisian Daerah (Polda) Jatim menangkap paksa aktivis social asal Yogyakarta, Muhammad Fakhrurrozi, pada Sabtu (27/9/2025). Pria yang akrab disapa Paul itu, kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dengan alasan pengembangan kasus penangkapan sejumlah aktivis di Kediri. Penetapan tersangka ini, diduga mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.
Teranyar, Polda Jatim kembali menyeret dua aktivis prodemokrasi dalam kasus tersebut. Mereka adalah Eko Prasetyo dan Naysilla Rose. Keduanya dipanggil ke Mapolda untuk menjalani proses pemeriksaan sebagai saksi pada Sabtu (9/10/2025).
Direktur YLBHI-LBH Surabaya, Habibus Shalihin mengungkapkan, pemanggilan Eko dan Naysilla oleh Polda Jatim, diduga sebagai bentuk upaya baru pembungkaman terhadap gerakan reformasi kepolisian. Sebab, dua aktivis prodemokrasi tersebut, tidak memiliki keterkaitan dengan kasus kerusuhan yang terjadi di Kediri.
“Ini justru menimbulkan kejanggalan dan kecurigaan publik,” ungkapnya, Sabtu (9/10/2025).
Menurut Habibus, pemanggilan Eko dan Naysilla terkesan tergesa-gesa dan bahkan diduga mengabaikan hak hukum. Awalnya, surat panggilan dari Polda Jatim untuk Eko dan Naysilla, diterbitkan pada 1 Oktober 2025. Mereka diminta hadir ke Mapolda pada 6 Otober 2025.
“Tetapi surat itu baru diterima oleh Eko pada 3 Oktober, dan oleh Naysilla pada 4 Oktober,” kata Habibus.
Atas pemanggilan polisi tersebut, Eko dan Naysilla menganggap perlu untuk berkoordinasi dengan tim pendamping hukumnya. Sehingga, mereka secara pribadi berkirim surat secara resmi kepada Penyidik Polda Jatim agar menunda pemeriksaan.
Namun, hak hukum Eko dan Naysilla terkesan diabaikan. Dugaan tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya surat panggilan kedua dari Polda Jatim. Mereka diminta hadir memenuhi proses pemeriksaan pada Kamis (9/10/2025).
“Seharusnya, penyidik memberikan balasan atas surat yang dikirimkan Eko dan Naysilla,” jelasnya.
Kini, proses pemeriksaan yang tengah dijalani Eko dan Naysilla, mendapat pendampingan hukum dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) Jatim. Terdapat 26 pengacara dari berbagai lembaga masyarakat sipil yang turut berpartisipasi memberikan pendampingan.
Sejumlah lembaga itu meliputi YLBHI-LBH Surabaya, YLBHI-LBH Pos Malang, YLBHI-LBH Yogyakarta, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), serta AMAR Law Firm & Public Interest Law Office. Kemudian juga ada KontraS Surabaya, Kantor Hukum Suarkala (Yogyakarta), Unit Konsultasi & Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan dan WALHI Jawa Timur.
Mengenai kejanggalan proses hukum terhadap Eko dan Naysilla, TAUD Jatim menganggap Langkah kepolisian sebagai bentuk tekanan terhadap aktivis. Bahkan, hal itu juga melanggar prinsip due process of law (proses hukum yang adil).
“Hingga kini, penyidik belum menerima BAP tersangka utama, Muhammad Fakhrurrozi. Sehingga, kami menilai, dasar pemeriksaan terhadap saksi menjadi kabur,” tegasnya.
Sementara itu, Eko menyatakan siap dan tidak gentar untuk menjalani proses pemeriksaan. Bersamaan dengan itu, dia menyematkan pesan untuk muridnya di Akademi Kepolisian (Akpol). Menurutnya, upaya membangun kepolisian yang humanis adalah perjuangan panjang dan bukan sebuah ancaman.
“Saya siap memenuhi panggilan menjadi saksi di Polda Jatim,” ucapnya pada Kamis (9/10/2025)
Naysilla pun memberikan pernyataan senada atas kesiapannya untuk memenuhi panggilan pemeriksaan dari Penyidik Polda Jatim. Dia menegaskan, semua perjuangan yang dilakukan memiliki tujuan besar, yaitu ruang aman bagi warga negara untuk bersuara.
“Kami datang dengan kepala tegak. Karena yang kami perjuangkan adalah ruang aman bagi warga untuk bersuara,” tegasnya.
Sampai berita ini ditulis, proses pemeriksaan terhadap Eko dan Naysilla oleh Penyidik Polda Jatim masih berlangsung. Pemeriksaan tersebut baru dimulai sekitar pukul 13.30 WIB.

Eko Prasetyo (kanan) didampingi oleh Fatkhul Khoir, TAUD Jatim, saat menghadiri Panggilan Penyidik Polda Jatim, Kamis (9/10/2025). (Foto: Andre Yuris)
Perjuangan Panjang Eko Prasetyo
Nama Eko Prasetyo sebagai pejuang reformasi institusi Polri sudah cukup dikenal. Gagasan pemikiran dan gerakannya, konsisten dilakukan dari era 90-an hingga saat ini. Dia bukan sekadar menyampaikan kritik, tetapi juga merumuskan gerakan perubahan yang tulus.
Eko adalah salah satu pemikir awal Community Oriented Policing (COP). Gagasannya menekankan pendekatan posisi polisi sebagai pelayan masyarakat, bukan penguasa yang membangun kesan menakutkan.
Tidak berhenti di situ, pada tahun 1995, Eko menjadi penyunting Buku “Polisi, Masyarakat, dan Negara.” Pengantar buku ini, ditulis langsung oleh Kapolri pada masa itu, Jenderal Polisi Drs. Banurusman. Literatur tersebut mampu membuka pemahaman baru tentang relasi kepolisian dengan masyarakat sipil.
Pada masa yang hampir bersamaan, Eko merumuskan sebuah konsep pelatihan kepolisian berbasis nilai kemanusiaan dan kedekatan sosial. Rancangan konsep tersebut digagas sebelum masa reformasi tahun 1998.
Perjuangan Eko mengenai reformasi institusi Polri, konsisten dilakukan sampai sekarang. Salah satunya yakni berupa pagelaran pameran bertajuk “Surat Cinta untuk Polisi” di Yogyakarta. Kegiatan itu diselenggarakan bersama gerakan Reformasi Polisi Nasional.
Pameran “Surat Cinta untuk Polisi,”dijadikannya sebagai ruang refleksi publik tentang perjalanan kepolisian di Indonesia. Sekaligus, juga menjadi media evaluasi terhadap institusi kepolisian. “Pameran itu adalah ajakan lembut agar polisi kembali pada hati nurani, menjadi pelindung rakyat, bukan penguasa yang menakutkan,” kata Eko.