Koreksi, Jakarta- Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut seluruh izin pertambangan di pulau kecil. Mereka beralasan kebijakan publik tersebut mulai memperlihatkan mudarat nya bagi lingkungan, satwa, dan kehidupan manusia, termasuk kaum perempuan adat.
LHKP PP Muhammadiyah menilai, jika pemerintah berhenti di pencabutan empat izin usaha pertambangan di Raja Ampat, tetapi membiarkan izin usaha pertambangan di pulau kecil lain di Indonesia, maka ini melanggar peraturan perundangan, khususnya UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil.
Pernyataan ini disampaikan LHKP PP Muhammadiyah setelah menyimak konferensi pers yang disampaikan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, terkait pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan nikel di Raja Ampat.
Anggota Kajian Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin menegaskan, pertambangan di pulau kecil tidak punya tempat di Indonesia, mengingat peraturan perundangan-undangan melarangnya. Kata dia, Pasal 35 UU 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil, tegas menyebutkan larangan itu.
“Artinya, jika Pemerintah ingin melakukan penegakan hukum berdasarkan UU tersebut, maka seluruh izin pertambangan di pulau kecil seharusnya dievaluasi dan dicabut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” tegas Parid melalui keterangan pers yang diterima Koreksi, Rabu (11 Juni 2025).
Merujuk Yayasan Auriga Nusantara, LHKP meminta pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan izin usaha pertambangan dari sekitar 303 perusahaan tambang di 214 pulau kecil dengan luas total 390 ribu hektar.
Lebih jauh, Ketua Bidang Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah, Wahyu Perdana berpendapat, pencabutan empat IUP oleh Menteri ESDM jangan sampai dipakai pemerintah untuk memberi kesempatan kepada perusahaan tambang nikel memenuhi persyaratan administratif pertambangan, lalu dibuka kembali izin baru.
Jika pertambangan di pulau-pulau kecil, tidak dihentikan, kata Wahyu, akan menjadi bom waktu ekologis dan juga sosial ekonomi yang akan meledak kapan saja.
“Pulau-Pulau kecil kita di Indonesia memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Pertambangan apa pun tidak boleh ada,” ungkapnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menyampaikan keterangannya di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Selasa, 10 Juni 2025. (Foto: BPMI Setpres)
Selasa (10 Juni 2025), pemerintah menyampaikan akan mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa pencabutan dilakukan berdasarkan evaluasi dari aspek lingkungan, teknis, serta masukan dari masyarakat dan pemerintah daerah.
“Alasannya adalah pertama memang secara lingkungan, yang kedua adalah memang secara teknis setelah kami melihat ini sebagian masuk di kawasan geopark, dan yang ketiga adalah keputusan ratas dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga adalah melihat dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi,” ujar Bahlil dalam keterangan pers di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pada Selasa, 10 Juni 2025 sebagaimana dikutip dalam laman resmi setkab.go.id.
Bahlil mengatakan bahwa Presiden Prabowo telah memerintahkan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan izin pertambangan yang masih beroperasi di lapangan.
“Jadi amdal-nya harus ketat, reklamasinya harus ketat, tidak boleh merusak terumbu karang. Jadi betul-betul kita akan awasi habis terkait dengan urusan di Raja Ampat,” tambah Bahlil.
Bahlil juga menjelaskan bahwa pemerintah telah memulai penertiban sejak awal tahun 2025 pasca-terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, termasuk perizinan pertambangan di dalamnya. Penataan dilakukan secara bertahap dan menyeluruh, sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam membenahi sektor pertambangan secara sistemik.
“Dua bulan kami melakukan kerja, Perpresnya keluar Januari, langsung kami kerja maraton. Dan kita kan melakukan penataannya kan banyak,” jelas Bahlil.
Bahlil turut memastikan tidak akan ada lagi kegiatan produksi dari empat perusahaan tersebut karena mereka tidak memenuhi syarat administrasi seperti RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) dan dokumen AMDAL.
“Satu perusahaan dinyatakan berproduksi kalau ada RKAB-nya. RKAB-nya itu bisa jalan kalau ada dokumen amdal-nya. Dan mereka tidak lolos dari semua syarat administrasi itu,” tegasnya lagi.