Oleh : M. Rizki Kurniawan (Forum Akar Rumput Indonesia)
Rio de Janeiro, Brasil, kembali mengukir peristiwa berdarah pada akhir Oktober 2025. Helikopter melayang rendah di atas favela, suara tembakan menggema, dan para ibu berkumpul di tepi jalan, menanti kabar tentang nasib anak-anak mereka. Negara menyebutnya “operasi keamanan”, tetapi bagi warga, itu perang terbuka terhadap tubuh-tubuh miskin yang sejak lama dianggap berbahaya.
Sekitar 132 jenazah dibawa warga ke Praça São Lucas, Zona Utara Rio. Dunia menyebutnya tragedi, namun sejatinya ini bukan kejadian luar biasa—melainkan hasil yang bisa ditebak dari sistem yang menjadikan kematian sebagai instrumen ketertiban. “Perang terhadap narkotika” di sana, seperti di banyak negara lain, bukanlah kebijakan kesehatan publik, melainkan proyek kontrol sosial yang memelihara ketakutan agar kekuasaan tampak sah.
Pola yang sama muncul di Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte. Dengan dalih “perang melawan narkotika”, ribuan orang miskin dieksekusi di jalan-jalan Manila. Laporan lembaga HAM dunia mencatat pembunuhan di luar hukum dalam skala masif, sementara aparat dilindungi oleh retorika “keamanan publik”.
Di Indonesia, pada tanggal 23 Oktober 2025 bayang-bayang perang terhadap rakyat miskin kembali tampak di Kelurahan Kayumalue, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dalam operasi penggerebekan bandar narkoba, aparat kepolisian menggunakan kendaraan taktis (rantis) milik Satbrimob Polda Sulteng. Ketegangan memuncak ketika warga melempari batu ke arah aparat — sebuah tanda penolakan yang lahir dari rasa takut dan ketidakpercayaan.
Aparat mengamankan seorang perempuan berinisial SW, bersama barang bukti sabu-sabu dan uang tunai Rp62 juta. Tidak ada korban jiwa, tetapi suasana yang terjadi memperlihatkan bagaimana logika kekuasaan bekerja: menghadapi persoalan sosial dengan senjata berat. Pertanyaannya, mengapa kendaraan tempur perlu dikerahkan ke lingkungan padat penduduk? Siapa yang sebenarnya merasa terancam, dan siapa yang dianggap ancaman?
Operasi semacam ini memperlihatkan bahwa pendekatan “perang” terhadap narkotika bukan hanya keliru arah, tapi juga berbahaya bagi warga. Hal ini menormalisasi kekerasan negara di ruang-ruang sipil, menanamkan rasa takut, dan pada akhirnya memperkuat stigma terhadap kelompok miskin dan pengguna narkotika.
Kita melihat pola berulang: pelanggaran hak asasi manusia dilegalkan lewat narasi perang. Tubuh-tubuh miskin dijadikan sasaran, kematian direduksi menjadi angka, dan pelaku kekerasan berlindung di balik seragam negara. Padahal, baik hukum internasional maupun konstitusi Indonesia dengan tegas menjamin hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Persoalan ini sama sekali bukan tentang zat, melainkan tentang kemiskinan, ketimpangan, dan minimnya kesempatan hidup layak. Banyak orang terjebak dalam ekonomi narkotika bukan karena niat jahat, tetapi karena kebutuhan bertahan hidup di tengah sistem yang menutup akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan.
Sudah saatnya kita mengakhiri ilusi bahwa perang terhadap narkotika bisa membawa kedamaian. Yang dibutuhkan bukan perang, melainkan kebijakan yang menempatkan manusia di pusatnya: dekriminalisasi, perawatan berbasis komunitas, penciptaan lapangan kerja, serta penegakan hukum yang menghormati prinsip-prinsip HAM. Sebab pada akhirnya, tidak ada keamanan tanpa kemanusiaan—dan tidak ada kemanusiaan dalam perang yang menargetkan rakyatnya sendiri.

Tentang Penulis :
Muhammad Rizki Kurniawan, S.IP, adalah lulusan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang. Ia mulai terlibat dalam isu narkotika sejak tahun 2023 dan aktif sebagai Paralegal di Forum Akar Rumput Indonesia, bergabung dengan Sahabat Saksi Korban, yang merupakan jejaring dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta bekerja sebagai Media & Advokasi Officer di Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN).
Keterlibatannya berawal dari kepedulian terhadap isu sosial, khususnya terkait perlakuan terhadap kelompok rentan dan pengguna Napza di Indonesia. Melalui peran advokasi dan komunikasi publik, sebagai upaya mendorong kebijakan narkotika yang lebih manusiawi dan berbasis hak asasi manusia.
Perjuangan di bidang ini bukan sekadar wacana, tetapi bentuk tanggung jawab sosial untuk memastikan bahwa setiap warga negara, termasuk pengguna Napza, memiliki hak yang sama di depan hukum. Dengan kepercayaan yang tinggi , perubahan dapat terjadi ketika suara komunitas akar rumput diberi ruang dan dihormati.









![Susi Pudjiastuti: Minimal DPR Copot Puan Maharani [SALAH]](https://koreksi.org/wp-content/uploads/2025/10/Screenshot-2025-10-16-073005-75x75.jpg)


![Jokowi Jadi Sekjen PBB 2026 [Hoaks]](https://koreksi.org/wp-content/uploads/2025/10/Screenshot-2025-10-13-203533-75x75.jpg)























