Koreksi, Yogyakarta- Perwakilan Komite Eksekutif Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Husain Maulana mengatakan pihaknya masih menjumpai pelanggaran hak buruh yang bekerja di proyek strategis nasional (PSN). Setidaknya dari temuan Serbuk dan Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI) pekerja konstruksi informal bekerja tanpa kontrak dan diupah rendah, serta tanpa alat pelindung diri yang memadai.
“Buruh konstruksi informal atau yang biasa dikenal dengan kuli bangunan ini jumlahnya sangat besar. Pada 2021 saja misalnya, dewan pertukangan nasional menyebut angkanya mencapai sekitar 27 juta. Namun jumlah yang besar ini tidak sebanding dengan kondisinya yang rentan, tidak pasti, dan berada di lapis terbawah usaha jasa konstruksi,” ucap Husain dalam konferensi pers di Yogyakarta pada Sabtu (25/1/2025).
Perwakilan Serbuk Komwil Jateng-DIY, Doni menambahkan salah satu bagian dari proyek PSN adalah jalur lintas selatan (JLS).
“JLS ini memiliki panjang 1.602,99 kilometer membentang di lima provinsi yaitu Banten (175 Km), Jawa Barat (417 Km), Jawa Tengah (211,95 Km), DIY (116,07 Km) dan Jawa Timur (676,82 Km). Proyek ini tentu saja menyerap tenaga kerja konstruksi dalam jumlah besar. Di Yogyakarta, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tercatat sebanyak 141.343 pekerja konstruksi informal terdaftar secara temporer,” ucap Doni.
Masih menurut Doni, proyek JLS yang ini menggunakan banyak tenaga kerja informal yang rentan sehingga pengorganisasian serikat buruh menjadi penting sekali untuk dilakukan. Hal ini mengingat nilai tawar pekerja konstruksi informal yang terbilang masih rendah dan butuh kekuatan yang besar untuk bisa berunding dengan pemberi kerja.
Sekretaris SBKI Gunungkidul Agus Mugiyono menambahkan sebagian besar buruh yang bekerja tidak memiliki kontrak. Mereka bekerja hanya berdasarkan kontrak lisan dengan perekrut atau para mandor. Kata dia, kondisi ini menyebabkan buruh tidak memiliki perlindungan karena tidak ada dokumen yang mengatur hubungan kerja dan hak-hak buruh.
Kedua, pekerja harus bekerja dalam jam yang panjang demi mengejar target penyelesaian proyek atau melebihi standar 8 jam kerja, bahkan sampai waktu salat subuh. Selain itu, upah pekerja yang rendah disebabkan pola rekrutmen bertingkat sehingga mereka mengalami pemotongan upah. SBKI juga menemukan pola rekrutmen bertingkat hingga lebih dari 5 lapis.
“Minimnya alat pelindung diri. Pekerja tidak mendapatkan alat pelindung diri yang layak sehingga membahayakan keselamatan kerja mereka,” ujar Agus.
Temuan lain yaitu perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang buruk. Pekerja yang mengalami kecelakaan kerja tidak mendapatkan perawatan yang memadai dan seringkali harus membayar dengan biaya sendiri.
Perwakilan LBH Yogyakarta, Royan Juliazka juga memberikan catatan kritis atas temuan-temuan dan fakta yang telah dikemukakan mengenai kondisi PSN dan pekerja konstruksi informal.
Menurutnya, perlu pemetaan regulasi sekaligus penegakannya yang harus dilakukan untuk menyikapi permasalahan pekerja konstruksi informal yang rentan dan mendesak di lapangan.
Ia mengutip beberapa regulasi internasional, nasional, dan undang-undang jasa konstruksi yang mempunyai hubungan dengan permasalahan pekerja di sektor konstruksi ini. Ia juga menekankan perhatian pada formalisasi pekerja konstruksi informal agar mendapat pengakuan yang layak.
“Berserikat adalah keharusan bagi pekerja konstruksi informal agar bisa memberikan wadah yang tepat dalam memperjuangkan hak-haknya serta berkolaborasi dengan elemen-elemen lain, seperti LBH, kelompok pekerja informal yang lain agar kekuatannya semakin bertambah,” ucapn Royan.
Federasi SERBUK, SBKI, dan LBH Yogyakarta mendesak pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan dan Pengawas Ketenagakerjaan untuk bekerja lebih serius alam upaya perlindungan pekerja konstruksi informal, terutama yang bekerja di proyek strategis nasional. Mereka juga mendesak institusi keuangan yang membiayai PSN untuk menegakkan berbagai peraturan yang telah dimiliki untuk melindungi buruh.