Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ditafsirkan berbeda oleh DPR dalam rancangan Perubahan UU Pilkada menuai protes massal yang meluas. Namun bukan kali ini saja putusan MK ditafsirkan berbeda oleh DPR dan pemerintah. Di MK juga pernah dilakukan pengujian undang-undang akibat putusan MK ditafsirkan berbeda oleh DPR dan pemerintah.
Dalam perkara pengujian UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, putusan MK adalah konstitusional bersyarat, sepanjang dimaknai peraturan pemerintah yang akan dibentuk sesuai dengan pertimbangan MK. Ketika kemudian peraturan pemerintah pelaksana UU Sumber Daya Air tidak sesuai dengan prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air, UU Sumber Daya Air digugat kembali di MK dengan putusan UU Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun perkara pengujian UU No. 39/2014 tentang Perkebunan dimohonkan karena memberikan pengaturan petani harus mendapatkan izin dalam mencari, mengembangkan, dan mengedarkan benih, padahal dalam perkara pengujian UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, MK memberikan putusan perizinan sebagaimana tersebut di atas tidak boleh diberlakukan kepada petani. Sehingga pengaturan dalam UU Perkebunan tersebut MK memberikan putusan bertentangan dengan UUD 1945.
Jika dalam dua perkara sebagaimana tersebut di atas MK mempertahankan putusannya, berbeda dalam perkara UU Cipta Kerja. MK dalam putusan pengujian formil UU Cipta Kerja, menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Bukannya menjalankan putusan MK untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta menangguhkan pembentukan peraturan pelaksana yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, Presiden justru mengesahkan Perpu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian oleh DPR disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023 tentang Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU.
UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU kemudian diuji dalam sidang MK. Jika pada putusan MK dalam pengujian formil UU Cipta Kerja, dari sembilan Hakim Konstitusi, lima Hakim Konstitusi mendukung putusan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat. Setelah Hakim Aswanto diganti, dalam putusan pengujian formil UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU, menjadi lima orang Hakim Konstitusi mendukung putusan undang-undang tersebut konstitusional.
Berdasarkan sebagaimana tersebut di atas, berarti jika tidak ada judicial review dari masyarakat, maka tidak ada upaya mengawal putusan MK. Lalu bagaimana MK menjaga putusanya ? Pertanyaan tersebut menjadi penting karena selalu ada putusan MK yang ditafsirkan berbeda oleh DPR dan pemerintah.
Hak Konstitusional
Pengujian undang-undang di MK, bukan sekedar permasalahan undang-undang, melainkan dalam rangka pemajuan dan pembelaan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia. Oleh karenanya tafsir yang berbeda atas putusan MK oleh DPR dan pemerintah potensial kontradiktif dengan tujuan dan putusan pengujian undang-undang tersebut.
Dalam perkara pengujian UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, MK berpendapat bahwa UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah membatasi kelembagaan petani pada Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian dan Dewan Komoditas. Penyebutan secara limitatif organisasi kelembagaan petani dengan penulisan nama organisasi dalam huruf besar menunjukan nomenklatur organisasi yang telah ditentukan. Dalam putusannya MK menyatakan pengaturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani.
Namun Peraturan Menteri Pertanian No.67/PERMENTAN/SM.050/12/2016 Tentang Pembinaan Kelembagaan Petani, tidak memasukkan kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani dalam kelembaagaan petani yang diatur dalam Permentan tersebut. Dampaknya ada banyak kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani terhalangi aksesnya kepada bantuan pemerintah, Sehingga hak konstitusional berserikat, berpendapat, dan secara kolektif memperjuangkan kepentingan petani terhalangi.
Terkait hak konstitusional tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam perkara pengujian UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, pengaturan kemudahan pelayanan untuk penanaman modal berupa HGU (Hak Guna Usaha) dengan jangka waktu 95 tahun dengan cara diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi, MK memberikan putusan pengaturan tersebut telah mengurangi, memperlemah, atau bahkan dalam keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.
Meski demikian Permen ATR/Kepala BPN No. 7/2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU, PP No. 64/2021 tentang Bank Tanah, dan UU No. 21/2023 tentang Perubahan atas UU No. 3/2022 tentang Ibu Kota Negara, dimungkinkan pemberian HGU dengan jangka 90 tahun, perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah di atas HPL (Hak Pengelolaan). dapat diberikan sekaligus setelah dimanfaatkan dan diperjanjikan, serta di IKN pemberian HGU untuk jangka waktu 95 tahun melalui satu siklus pertama, dapat ditambah dengan jangka waktu 95 tahun melalui siklus kedua berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi, sehingga total pemberian HGU dapat hingga 190 tahun.
DPR dan pemerintah memberikan tafsir yang berbeda atas putusan MK dalam perkara pengujian UU Penanaman Modal. Putusan MK tersebut hanya dimaknai sebagai larangan pemberian dan perpanjangan HGU sekaligus di muka, sehingga perpanjangan HGU dapat dengan sekaligus di belakang, yaitu pada perpanjangan dan pembaruan HGU, serta dengan melalui dua siklus.
Padahal yang ditekankan dari Putusan MK adalah, pertama, kewenangan negara menjadi terbatas karena negara tidak boleh menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah tersebut di luar alasan-alasan yang secara terbatas (limitatif) telah ditentukan; dan kedua menghambat negara untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak- hak atas tanah tersebut secara adil.
Pengaduan Konstitusional
Tafsir berbeda berpotensi menimbulkan dualisme hukum, untuk itu MK perlu melakukan terobosan hukum guna mengawal putusannya, tidak hanya lewat mekanisme sidang pengujian undang-undang, tetapi MK dapat menerima pengaduan konstitusional adanya tafsir berbeda atas putusan MK, untuk kemudian menjadi dasar memberi peringatan kepada DPR dan Pemerintah.
Gunawan
Penasehat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), dan Aktivis Kepal (Komite Pembela Hak Konstitusional)