Koreksi, Jakarta- Peringatan September Hitam yang awalnya ingin dilakukan oleh Gerakan Kusara (@kusara_) di Skatepark Dukuh Atas, Jakarta dibubarkan sepihak oleh pihak kepolisian pada Sabtu (28/9). Polisi berdalih area sekitar skatepark hingga pinggiran Jalan Sudirman akan dilakukan sterilisasi.
“Kami waktu datang mereka memang sudah stand-by,” ucap Febiola, bukan nama sebenarnya kepada Koreksi, Sabtu (28/9/2024).
Febi mengatakan polisi terus mengikuti ia dan teman-temannya hingga beberapa ratus meter. Polisi benar-benar memastikan acara mereka tidak dapat terlaksana. “Kita udah kayak kucing, disterilisasi,” ujarnya.
Padahal Peringatan September Hitam yang dilakukan Gerakan Kusara hanya berupa aksi simbolik atas tragedi kekerasan aparat di bulan ini. Acaranya berupa mimbar bebas, musik jalanan, dan lapak baca.
“Memang tujuan kami adalah okupansi ruang untuk merawat ingatan kolektif agar kekerasan negara tidak kita lupakan,” ucapnya.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang Febi dan kawan-kawannya sorot termasuk kasus pembunuhan Munir; Tragedi Semanggi II; pembunuhan pendeta Yeremia; Tragedi Tanjung Priok; pembunuhan Salim Kancil; pembunuhan massal 1965; kekerasan di Rempang; hingga penembakan mahasiswa di aksi Reformasi Dikorupsi. “Jaga Kawan Hati-Hati Dibunuh Polisi,” tulis salah satu spanduk yang mereka bawa.
Febi yang dipukul mundur terpaksa memindahkan titik acaranya. Sekitar pukul 4 sore, mereka menggelar acara di Gerbang Utama Monumen Proklamasi, Menteng, Jakarta.Sebelumnya, aksi Global Climate Strike yang diadakan Extinction Rebellion pada Jumat (27/9) juga mengalami intimidasi oleh sejumlah orang tak dikenal. Ginanjar, Koordinator Climate Rangers Jakarta mengatakan orang-orang tersebut merampas properti aksinya.
“13.30 WIB kita lagi siapin aksi di Taman Menteng, tiba-tiba secara cepat tuh langsung datang orang-orang dari dua sisi berlawanan di waktu yang berdekatan itu ngambil banner, manekin dan poster,” ujar Ginanjar kepada Koreksi, Sabtu (28/9/2024).
“Waktu itu kami sempat protes ke polisi yang ada di lokasi, mereka harusnya mengamankan tapi mereka malah diam aja di depan mata mereka,” lanjutnya.
Ginanjar bersama rekan-rekan lainnya memulai aksi pada 14.00 WIB. Mereka mulai bergerak menuju Dukuh Atas, sepanjang jalan, aksi damai tersebut terus diintimidasi oleh oknum-oknum yang sama.
“Mereka minta kita bubar, sambil teriak Jokowi baik kok,” ungkapnya pada Minggu (29/9).
Sampai pada 14.50 WIB, ketika mereka sampai titik aksi, bentrok antara massa aksi dan oknum-oknum tersebut memuncak. Perampasan dan bentrok fisik tak terhindarkan. Bahkan massa aksi yang awalnya lebih dari seratus orang, berkurang hingga menjadi 30-an orang karena intimidasi tersebut. Akhirnya pada pukul 15.00 WIB polisi meminta massa aksi membubarkan diri.
“Polisi ngajak kita mediasi, padahal kan kita aksi yang dilindungi UU, mereka yang ngelakuin tindak kriminal malah kita diajak mediasi,” ujarnya.
Aksi yang mengangkat tajuk “Darurat Iklim, Darurat Demokrasi” ini secara langsung mengangkat dosa-dosa yang dilakukan Jokowi terkait krisis iklim dan demokrasi. Termasuk tuntutannya adalah sahkan RUU Masyarakat Adat dan RUU Keadilan Iklim, serta menuntut pemerintah untuk serius dalam komitmen energi baru dan terbarukan.
Penulis: Izam Qamaruzzaman