Oleh: Nanang Farid Syam
Dalam dunia politik, integritas semestinya menjadi fondasi utama seorang pemimpin. Sayangnya, di negeri ini, integritas sering kali tidak lebih dari komoditas kampanye—disuarakan lantang di podium, tetapi tercecer di lorong-lorong kekuasaan.
Beberapa waktu terakhir, publik kembali menyaksikan seorang tokoh politik yang sedang menghadapi proses hukum atas dugaan korupsi. Namun yang menarik bukan semata perkara hukumnya, melainkan bagaimana narasi seputar dirinya dibentuk: seolah-olah ia korban ketidakadilan politik, bahkan berani menyamakan dirinya dengan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno dan para pendiri bangsa yang pernah dipenjara karena memperjuangkan kemerdekaan.
Perbandingan ini, terus terang, terdengar menggelikan sekaligus menyesakkan. Bung Karno dan kawan-kawan ditahan oleh penjajah karena keberanian mereka menantang sistem kolonial yang menindas rakyat. Sementara penahanan hari ini terjadi dalam sistem hukum negara merdeka, yang menjalankan proses terhadap dugaan pelanggaran hukum oleh pejabat publik. Menyamakan keduanya bukan hanya tidak pada tempatnya, tapi juga mengaburkan nilai perjuangan sejati. Memalukan.
Kita tentu menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Setiap warga negara berhak atas pembelaan hukum yang adil. Namun yang patut disorot bukan hanya perkara per individunya, melainkan pola yang berulang. Yakni ketika seorang tokoh atau kader partai tersangkut perkara hukum, maka narasi yang muncul bukan introspeksi atau tanggung jawab moral, melainkan justifikasi politik dan pengalihan isu.
Lebih menyedihkan lagi, sering kali narasi ini datang dari pihak-pihak yang selama ini berada dalam lingkar kekuasaan. Ketika memiliki kekuatan politik, mereka justru terlibat dalam pelemahan lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—melalui revisi undang-undang yang membatasi kewenangan, pembentukan dewan pengawas yang kontroversial, hingga intervensi dalam proses rekrutmen penyidik. Ketika lembaga anti-korupsi dilemahkan, publik kehilangan alat kontrol. Dan ketika mereka yang dulu menggunting taring KPK kini merasa tersakiti oleh tajamnya hukum, ironi itu menjadi lengkap.
Integritas bukanlah konsep yang lentur mengikuti posisi politik. Ia bukan milik saat sedang dianiaya, lalu lenyap saat berada di puncak kekuasaan. Integritas adalah konsistensi dalam menjaga kepercayaan publik—saat menduduki jabatan, saat mengambil keputusan, dan bahkan saat harus bertanggung jawab atas kesalahan. Revisi Undang-Undang KPK dan segambreng regulasi lainnya yang menyengsaraakan rakyat, ulah siapa? Kemana suara lantang mereka saat berkuasa?
Politik bukan panggung teater, dan masyarakat bukan penonton yang bisa terus dibodohi dengan sandiwara. Saat seseorang tersangkut perkara hukum, yang diperlukan bukan pidato pengorbanan, tetapi sikap bertanggung jawab. Dan bila merasa tak bersalah, maka ruang pembelaan terbuka luas di pengadilan—bukan di mimbar opini publik yang dipenuhi distorsi sejarah dan glorifikasi diri. Berani berbuat, berani bertanggung jawab, bukan sekadar idiom tapi ungkapan rasa malu dan pertobatan.
Sudah saatnya para pemimpin berhenti mempermainkan kata “integritas” hanya sebagai alat pencitraan. Kata itu terlalu sakral untuk dijadikan tameng saat menghadapi konsekuensi hukum. Integritas bukan peran yang bisa diperankan. Ia harus dihidupi, bahkan dalam sunyi, bahkan saat sorotan paling tajam tertuju kepada kita. Bercerminlah.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” —Soekarno