Koreksi, Jakarta- Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendorong Kejaksaan Agung untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers tentang pemberitaan di Jak TV. Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka, yaitu advokat Junaedi Saibih (JS) dan Marcela Santoso (MS) serta Tian Bahtiar (TB) Direktur Pemberitaan Jak TV. Para tersangka diduga melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu penanganan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) kepada tiga korporasi, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group yang bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Kejagung menilai bahwa para tersangka berupaya membuat narasi negatif melalui publikasi sejumlah berita untuk mengganggu konsentrasi penyidik. Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Dalam siaran pers tersebut, Kejagung menjadikan sejumlah topik pemberitaan yang dipublikasikan oleh Perusahaan Media Jak TV sebagai alat bukti yang disita. Sejumlah konten publikasi pemberitaan tersebut telah dihapus dan sudah tidak dapat diakses oleh Publik.
“Publikasi Pemberitaan Media yang dinilai digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum (obstruction of justice) tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya,” ujar Koordinator KKJ, Erick Tanjung melalui keterangan pers, Rabu (23/4/2025).
Erik menambahkan penghalangan proses hukum harus merupakan tindakan secara langsung/material menghalangi penyidikan, penuntutan dan persidangan. Kata dia, pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.
“Fokus atau tidaknya konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan. Kami melihat terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan di sini,” tambahnya.
Erik menjelaskan konten publikasi yang dimaksud sebagai alat bukti harus bisa diakses publik dan pihak-pihak terkait seperti Dewan Pers agar dapat dinilai apakah konten tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau kritik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
“Tindakan aparat penegak hukum harus dipandang sebagai tindakan pengawasan yang wajar untuk dijalankan oleh Masyarakat sipil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga tidak dapat dikenakan delik pidana apapun.”
Selain itu, UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers memiliki mekanisme penyelesaian sengketa Pers yang harus dilalukan melalui Dewan Pers. Ketentuan ini bahkan juga tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Republik Indonesia pada 2019 yang salah satunya berisi tentang perlindungan kemerdekaan pers.