Oleh: Nanang Farid Syam
Polemik ijazah S1 Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) telah bergulir bagai roda yang tak berhenti berputar. Bukan lagi tentang secarik kertas bernama ijazah, melainkan tentang bagaimana bangsa ini memperlakukan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya menjadi fondasi negara hukum. Di tengah demokrasi yang menggemakan tuntutan transparansi, pertanyaannya bergeser: mengapa kita begitu mudah menyerahkan integritas demi narasi yang nyaman?
Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus yang kerap disebut sebagai “kebanggaan nasional”, tiba-tiba terjebak dalam pusaran keraguan. Lembaga yang seharusnya menjadi benteng kejujuran akademik ini menyatakan ijazah Jokowi valid, tetapi enggan membeberkan bukti fisik atau digital yang bisa diakses publik. Tanpa dokumentasi jelas—entah itu scan ijazah, transkrip nilai, atau catatan administratif—segala klaim terasa seperti monolog di ruang kosong.
Pertanyaan menggantung: Jika untuk seorang presiden saja verifikasi dilakukan dengan tirai tertutup, bagaimana nasib ribuan mahasiswa biasa yang ijazahnya dipertanyakan? Apakah keadilan akademik hanya berlaku bagi mereka yang tak punya kuasa? UGM, dengan segala reputasinya, kini tak hanya diuji kredibilitasnya, tetapi juga komitmennya pada nilai kebenaran yang selama ini diajarkan di ruang-ruang kuliah.
Di panggung lain, Presiden Jokowi justru memilih bersikap kontradiktif. Di periode pertama, ia dengan mudah menunjukkan ijazah saat gugatan muncul. Kini, ia seolah menepis polemik ini sebagai “urusan sepele”. Padahal, sebagai pemimpin tertinggi, transparansi bukan sekadar pilihan—ia adalah kewajiban moral. Di negara demokrasi lain, pemimpin seperti Barack Obama tak ragu memublikasikan ijazah hingga rekam medis. Di sini, dokumen sederhana justru dianggap layaknya rahasia negara.
Sikap ini bukan hanya soal keengganan, melainkan preseden buruk. Ketika presiden—yang seharusnya menjadi teladan—memilih kabur dari pertanggungjawaban publik, pesan yang tersampaikan adalah: prinsip bisa dikorbankan demi stabilitas kekuasaan. Lalu, bagaimana rakyat bisa mempercayai sistem yang dipimpin oleh orang yang enggan terbuka?
Masyarakat Indonesia, yang sejatinya kritis, perlahan terjerembap dalam jebakan apatis. Padahal, sikap “asal percaya” ini berbahaya. Setiap kali keraguan muncul, jawaban instan “sudah diverifikasi” diulang seperti mantra. Tanpa bukti, verifikasi hanyalah ilusi.
Pola komunikasi seperti ini melahirkan dua masalah: pertama, kekuasaan seolah berhak mengontrol kebenaran; kedua, masyarakat diajarkan untuk tak lagi peduli pada proses. Jika pertanyaan kritis dianggap tabu, demokrasi kita tak ubahnya panggung wayang di mana dalang bebas memainkan narasi tanpa sanggahan.
Di balik polemik ijazah, ada penyakit sistemik yang lebih parah. UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) kerap dikalahkan oleh dalih “rahasia negara”. Birokrasi lebih mengutamakan loyalitas ketimbang akuntabilitas. Kritik dianggap sebagai pengganggu ketimbang alat koreksi. Jika sebuah ijazah saja tak bisa diverifikasi secara terbuka, bagaimana dengan kasus korupsi triliunan atau pelanggaran HAM yang melibatkan petinggi?
Inilah yang disebut sebagai krisis legitimasi. Ketika prinsip dikalahkan oleh kepentingan, negara hukum berubah menjadi “negara kabur”—tempat di mana kebenaran ditentukan oleh siapa yang memegang kuasa.
Namun, di ujung lorong gelap ini, masih ada secercah harapan. UGM bisa memulai dengan membuka mekanisme verifikasi secara transparan. Presiden Ke-7 RI Jokowi bisa mengakhiri polemik dengan menunjukkan bukti fisik, bukan sekadar klaim. Masyarakat harus bangkit dari apatis, terus mendesak transparansi tanpa terjebak dalam dikotomi “pro-kontra”.
Seperti kata Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Tapi bagi bangsa yang ingin bertahan, idealisme harus menjadi napas semua generasi. Polemik ijazah Jokowi hanyalah ujian kecil. Ujian sesungguhnya adalah: maukah kita membangun sistem yang mengutamakan integritas di atas segala kepentingan?
Jika hari ini kita diam, esok tak ada lagi yang layak dipercaya.