Koreksi, Jakarta- Sebanyak 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Aktivis dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Riza Abdali mengatakan, revisi ini mengancam profesionalisme militer dan mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
“Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT),” jelas Riza kepada Koreksi, Minggu (16/3/2025).
Riza menambahkan Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil. Namun, revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari Komite HAM PBB yang menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.
“UPR 2022 merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal. Dan Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan menyoroti praktik penyiksaan oleh aparat militer di wilayah konflik,” tambahnya.
Karena itu, koalisi menolak dengan sejumlah alasan, salah satunya Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC. Pembiaran operasi militer di Papua tanpa protokol HAM melanggar rekomendasi UPR 2022 tentang perlindungan masyarakat adat dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
Selain itu, revisi UU TNI mengabaikan Prinsip Pemisahan Fungsi Militer-Sipil. Keterlibatan TNI dalam program pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.
Atas dasar berbagai alasan tersebut, Koalisi memandang DPR dan pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmennya di berbagai mekanisme HAM Internasional. Revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional. Revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap Reformasi 1998. Kembalinya dwi fungsi TNI hanya akan memuluskan jalan bagi militerisme dan impunitas, seperti yang terjadi di masa Suharto.