• Latest
  • Trending
  • All
  • Berita
  • RUANG SASTRA
  • OPINI
Revisi UU TNI: Totalitarianisme dan Pembajakan Konstitusionalisme Warga Negara

Revisi UU TNI: Totalitarianisme dan Pembajakan Konstitusionalisme Warga Negara

March 30, 2025
Amnesty Mendesak Polisi Bebaskan Mahasiswi Penyebar Meme Prabowo-Jokowi

Amnesty Mendesak Polisi Bebaskan Mahasiswi Penyebar Meme Prabowo-Jokowi

May 10, 2025
Lebih Dari 20 Tahun, 3 Perempuan Petani Perjuangkan Hak Tanah

Lebih Dari 20 Tahun, 3 Perempuan Petani Perjuangkan Hak Tanah

May 6, 2025
KTP2JB Kolaborasi dengan IIJ Dorong Keberlanjutan Media dan Penguatan Demokrasi pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025

KTP2JB Kolaborasi dengan IIJ Dorong Keberlanjutan Media dan Penguatan Demokrasi pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025

May 3, 2025
Potret Kelam di Negeri 1.001 Sungai, Warga Suku Afsya 67 Tahun Hidup Tanpa Air Bersih

Potret Kelam di Negeri 1.001 Sungai, Warga Suku Afsya 67 Tahun Hidup Tanpa Air Bersih

May 1, 2025
Perjuangan warga Menteng Pulo II menolak penggusuran 

Perjuangan warga Menteng Pulo II menolak penggusuran 

April 26, 2025
Kekerasan Terhadap Perempuan Oleh Perempuan

Kekerasan Terhadap Perempuan Oleh Perempuan

April 25, 2025
Polemik Ijazah Jokowi – Retaknya Cermin Integritas di Tengah Kabut Transparansi

Polemik Ijazah Jokowi – Retaknya Cermin Integritas di Tengah Kabut Transparansi

April 23, 2025
KKJ Mendorong Kejaksaan Agung Koordinasi dengan Dewan Pers Soal Berita Jak TV

KKJ Mendorong Kejaksaan Agung Koordinasi dengan Dewan Pers Soal Berita Jak TV

April 23, 2025
AJI, IJTI dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi bagi Jurnalis

AJI, IJTI dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi bagi Jurnalis

April 16, 2025
Integritas Tak Bisa Diperankan

Integritas Tak Bisa Diperankan

April 15, 2025
Suara dari Bawah

Suara dari Bawah

April 9, 2025
Otak 7 Tahanan Kabur dari Lapas Sorong Ditangkap Polisi

Otak 7 Tahanan Kabur dari Lapas Sorong Ditangkap Polisi

April 9, 2025
  • About
  • Editorial
  • Pedoman Media Siber
Monday, May 19, 2025
  • Login
Koreksi.org
  • Home
  • Berita
    Amnesty Mendesak Polisi Bebaskan Mahasiswi Penyebar Meme Prabowo-Jokowi

    Amnesty Mendesak Polisi Bebaskan Mahasiswi Penyebar Meme Prabowo-Jokowi

    KTP2JB Kolaborasi dengan IIJ Dorong Keberlanjutan Media dan Penguatan Demokrasi pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025

    KTP2JB Kolaborasi dengan IIJ Dorong Keberlanjutan Media dan Penguatan Demokrasi pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025

    Potret Kelam di Negeri 1.001 Sungai, Warga Suku Afsya 67 Tahun Hidup Tanpa Air Bersih

    Potret Kelam di Negeri 1.001 Sungai, Warga Suku Afsya 67 Tahun Hidup Tanpa Air Bersih

    Perjuangan warga Menteng Pulo II menolak penggusuran 

    Perjuangan warga Menteng Pulo II menolak penggusuran 

    KKJ Mendorong Kejaksaan Agung Koordinasi dengan Dewan Pers Soal Berita Jak TV

    KKJ Mendorong Kejaksaan Agung Koordinasi dengan Dewan Pers Soal Berita Jak TV

    AJI, IJTI dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi bagi Jurnalis

    AJI, IJTI dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi bagi Jurnalis

    Otak 7 Tahanan Kabur dari Lapas Sorong Ditangkap Polisi

    Otak 7 Tahanan Kabur dari Lapas Sorong Ditangkap Polisi

    Polisi, Narkoba, dan Pemerasan (Bagian I)

    Komite Keselamatan Jurnalis Tolak Perpol Pengawasan Orang Asing

    7 Napi di Papua Kabur Usai Bobol Dinding Kamar

    7 Napi di Papua Kabur Usai Bobol Dinding Kamar

    Pembunuh Jurnalis di Karo Divonis Seumur Hidup, KKJ Sumut: Terduga Otak Pelaku Belum Diproses

    Pembunuh Jurnalis di Karo Divonis Seumur Hidup, KKJ Sumut: Terduga Otak Pelaku Belum Diproses

    Trending Tags

  • Liputan Khusus
  • OPINI
    Kekerasan Terhadap Perempuan Oleh Perempuan

    Kekerasan Terhadap Perempuan Oleh Perempuan

    Suara dari Bawah

    Suara dari Bawah

    Dampak Tarif Reciprocal AS terhadap Perekonomian Indonesia Perlu Dicermati

    Koreksi.org Kritik Pertemuan Presiden Prabowo dengan 7 Jurnalis di Hambalang

    Koreksi.org Kritik Pertemuan Presiden Prabowo dengan 7 Jurnalis di Hambalang

    Revisi UU TNI: Totalitarianisme dan Pembajakan Konstitusionalisme Warga Negara

    Revisi UU TNI: Totalitarianisme dan Pembajakan Konstitusionalisme Warga Negara

    Penyetaraan Jabatan Perlu Dikoreksi (Bagian 1)

    Penyetaraan Jabatan Perlu Dikoreksi (Bagian 1)

    Penjelasan Partai Buruh Terkait Putusan MK tentang UU Ciptaker

    Penjelasan Partai Buruh Terkait Putusan MK tentang UU Ciptaker

    Masalah Agraria dan Tafsir Beda Putusan Mahkamah Konstitusi

    Perbandingan Materi UU Ketenagakerjaan Dalam UU Cipta Kerja Yang Dimaknai Hakim MK Dalam Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023

    Pemikiran dan Daya Juang seorang Benny

    Pemikiran dan Daya Juang seorang Benny

    Masalah Agraria dan Tafsir Beda Putusan Mahkamah Konstitusi

    Masalah Agraria dan Tafsir Beda Putusan Mahkamah Konstitusi

    Trending Tags

  • RUANG SASTRA
    TUMPUK: Manifesto Konsumerisme dan Tumpukan Sampah

    TUMPUK: Manifesto Konsumerisme dan Tumpukan Sampah

    Sanggar Lidi Surabaya Gelar Pementasan Teater “Grafito”,  Kisah Cinta Beda Agama di Balai Pemuda Surabaya

    Sanggar Lidi Surabaya Gelar Pementasan Teater “Grafito”,  Kisah Cinta Beda Agama di Balai Pemuda Surabaya

    Cerita pendek: Kemenangan

    Cerita pendek: Kemenangan

    Trending Tags

  • SUARA WARGA
No Result
View All Result
Koreksi.org
No Result
View All Result
Home OPINI

Revisi UU TNI: Totalitarianisme dan Pembajakan Konstitusionalisme Warga Negara

by admin
March 30, 2025
in OPINI
0
Revisi UU TNI: Totalitarianisme dan Pembajakan Konstitusionalisme Warga Negara

Ilustrasi aksi tolak UU TNI. Foto: Koreksi

Oleh: Maulana Malik Ibrahim

(Direktur Eksekutif Indonesia Social-Politics Review Institute dan Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Jakarta)

“Totalitarianisme juga dapat dipandang sebagai pengabaian partisipasi publik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan serta berhentinya transparansi dalam konteks demokrasi pada warga negara”

Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah resmi disahkan oleh DPR RI melalui sidang paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025. Padahal, upaya penolakan telak banyak dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil; baik dalam bentuk protes ketika diadakan rapat secara diam-diam dan tertutup, hingga demonstrasi secara besar-besaran pada hari pengesahannya. Kritik penolakan yang disasar oleh Koalisi Masyarakat Sipil pada revisi UU TNI No. 34 Tahun 2004 ialah berupa penurunan kapasitas profesionalisme TNI hingga rekonstruksi kembalinya Dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru.

Bayangan kembalinya Dwifungsi ABRI menjadi ‘momok mengerikan’ bagi supremasi sipil yang diperjuangkan pada episode 1998, bersamaan dengan tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Donald K. Emmerson dalam bukunya “Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi” menjelaskan bahwa kejatuhan Soeharto bukan hanya dapat diartikan sebagai hilangnya kekuasaan presiden semata, melainkan juga hilangnya kekuasaan hingga kendali militer di Indonesia. Tuntutan reformasi berupa “hapuskan Dwifungsi ABRI” mengunci kekuatan TNI ke dalam kubangan politik yang amat kelam dan tak terhindarkan.

Pasca-Orde Baru, 27 tahun kemudian legislasi ‘ugal-ugalan’ dan tanpa keterbukaan mengukuhkan kembalinya militerisme masuk ke ruang sipil. Hal ini dapat dilihat dari hasil revisi UU TNI yang memperbolehkan prajurit aktif masuk dan menjabat di 16 Kementerian/Lembaga (K/L). Perluasan kekuasaan militer pada ranah sipil dipandang sebagai pengingkaran terhadap semangat penghapusan Dwifungsi ABRI dan pengebirian terhadap demokrasi sipil. Namun, dalam konteks ini penulis akan lebih menyoroti analisis mengenai lolosnya revisi UU TNI dalam rapat paripurna DPR. Apakah Revisi UU TNI sebagai wajah baru totalitarianisme negara dan pembajakan konstitusionalisme warga negara dalam ruang publik politis di Indonesia?

Totalitarianisme Negara: Legislasi yang Semakin ‘Ugal-Ugalan’

Fenomena pengesahan Undang-Undang TNI menambah daftar panjang DPR dan pemerintah yang secara serampangan mengabaikan aspirasi rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja kedua lembaga tersebut. Minimnya partisipasi saat pembahasan undang-undang disinyalir sebagai bentuk totalitarianisme ataupun bentuk penguasaan negara terhadap opini serta deliberasi publik. Padahal legislasi yang terburu-buru hanya akan menghasilkan kebijakan yang kehilangan prinsip-prinsip demokrasi. Pengesahan ini jelas mengacam demokrasi sipil yang semakin mengkhawatirkan di masa pemerintahan Prabowo-Gibran.

Dalam bukunya yang berjudul “Oligarki dan Totalitarianisme Baru” Jimmly Asshidiqie menganalisis bahwa negara Indonesia pasca Orde Baru mengalami dinamika politik dan demokrasi yang pasang surut ditandai dengan mulai menguatnya kekuatan-kekuatan oligarkis pada segi bisnis-ekonomi hingga merambah masuk ke dalam partai politik. Kecenderungan ini diperkeruh dengan adanya covid-19 yang terjadi di medio tahun 2020-an yang semakin memperlihatkan secara jelas watak negara yang ditunggangi kepentingan oligarki dan sifat totalitarian berkelindan masuk ke dalam sendi-sendi pembuatan peraturan perundang-undangan.

Totalitarianisme juga dapat dipandang sebagai pengabaian partisipasi publik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan serta berhentinya transparansi dalam konteks demokrasi pada warga negara. Negara melakukan monopoli atas nilai, politik, ekonomi, hingga ruang publik politis sebagai penanda supremasi kekuasaan. Padahal, supremasi kekuasaan seharusnya dimiliki oleh warga negara dan negara hanya sebagai pelaksana. Revisi UU TNI dalam konteks ini tidak memiliki kecenderungan untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, melainkan malah melemahkan demokrasi itu sendiri, serta membuka keran militerisme masuk ke dalam sektor-sektor publik yang seharusnya bebas dari intervensi militeristik.

Pembajakan Konstitusionalisme dan Peminggiran Sipil

Dalam prosesnya, revisi UU TNI cacat secara prosedural karena mengabaikan partisipasi publik atau sering disebut sebagai abusive law making. Setidaknya terdapat tiga prasyarat untuk memenuhi prinsip-prinsip partisipasi publik secara konstitusional, yaitu right to be heard (hak untuk didengar pendapatnya), right to be explained (hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan), dan right to be considered (hak untuk dipertimbangkan pendapatnya).

Pada beberapa kasus pengesahan undang-undang, publik tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam mekanisme pembahasan secara mendalam. Publik hanya ditempatkan sebagai penonton pertunjukkan yang tidak pernah memiliki hak-hak tertentu dan hanya setuju atas pengesahan aturan tersebut. Tertutupnya ruang deliberasi publik mengisyaratkan pembajakan konstitusionalisme warga negara atau korupsi legislasi dalam proses pembentukan undang-undang. Kontekstualisasi pembajakan konstitusionalisme seperti yang dijelaskan oleh Jimly Asshidiqie hanya dapat dilakukan oleh institusi politik formal pembentuk undang-undang dan partai politik.

Selain itu, revisi UU TNI memiliki potensi untuk memobilisasi prajurit aktif ke ranah-ranah sipil. Padahal, TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk peperangan, bukan untuk melakukan fungsi non-pertahanan, seperti menduduki jabatan sipil. Jabatan sipil seharusnya lebih mengedepankan soft power diplomacy—dialog publik, dibandingkan hard power diplomacy—menggunakan kekerasan dan senjata. Dengan hal ini, penulis menganggap peran sipil nantinya akan semakin terpinggirkan karena adanya relasi kuasa militer-sipil dalam jabatan institusi pemerintahan.

Dalam negara demokrasi yang ideal menurut Harold Crouch dalam “Militer dan Politik di Indonesia” menyebutkan bahwa kontrol kuat militer hanya menyebabkan tergerusnya supremasi sipil yang berakibat pada rapuhnya demokrasi di Indonesia. Sipil perlu ditempatkan sebagai penjaga yang mengawasi kerja militer dan memastikan bahwa militer tidak dapat mengambil keputusan politik independen. Akomodasi kepentingan militer masuk ke ranah sipil, berarti semakin terpinggirkannya masyarakat, serta kembalinya Dwifungsi ABRI layaknya era Orde Baru.

Pada akhir tulisan ini, penulis hanya ingin melakukan refleksi bahwa Indonesia telah mencatat sejarah yang kelam dari relasi militer-sipil selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto. Depolitisasi massa, Dwifungsi ABRI, hingga Penembakan Misterius (Petrus) menjadi sejarah yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Pola-pola sejarah perlu dibaca sedemikian rupa agar tidak terulang kembali pada peristiwa-peristiwa yang meminggirkan sipil secara politik, dan mengedepankan tentara sebagai garda politik kebangsaan. Kekeliruan tersebut harus dicegah sebelum militer melakukan penguasaan kembali ke ranah sipil.

Tags: Maulana Malik Ibrahimtolak uu tni
Previous Post

Pembunuh Jurnalis di Karo Divonis Seumur Hidup, KKJ Sumut: Terduga Otak Pelaku Belum Diproses

Next Post

7 Napi di Papua Kabur Usai Bobol Dinding Kamar

admin

admin

Next Post
7 Napi di Papua Kabur Usai Bobol Dinding Kamar

7 Napi di Papua Kabur Usai Bobol Dinding Kamar

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Koreksi.org

Copyright © 2024

Navigate Site

  • About
  • Editorial
  • Pedoman Media Siber

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • OPINI
  • RUANG SASTRA
    • SUARA WARGA

Copyright © 2024