Oleh: Maulana Malik Ibrahim
(Direktur Eksekutif Indonesia Social-Politics Review Institute dan Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Jakarta)
“Totalitarianisme juga dapat dipandang sebagai pengabaian partisipasi publik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan serta berhentinya transparansi dalam konteks demokrasi pada warga negara”
Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah resmi disahkan oleh DPR RI melalui sidang paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025. Padahal, upaya penolakan telak banyak dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil; baik dalam bentuk protes ketika diadakan rapat secara diam-diam dan tertutup, hingga demonstrasi secara besar-besaran pada hari pengesahannya. Kritik penolakan yang disasar oleh Koalisi Masyarakat Sipil pada revisi UU TNI No. 34 Tahun 2004 ialah berupa penurunan kapasitas profesionalisme TNI hingga rekonstruksi kembalinya Dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru.
Bayangan kembalinya Dwifungsi ABRI menjadi ‘momok mengerikan’ bagi supremasi sipil yang diperjuangkan pada episode 1998, bersamaan dengan tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Donald K. Emmerson dalam bukunya “Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi” menjelaskan bahwa kejatuhan Soeharto bukan hanya dapat diartikan sebagai hilangnya kekuasaan presiden semata, melainkan juga hilangnya kekuasaan hingga kendali militer di Indonesia. Tuntutan reformasi berupa “hapuskan Dwifungsi ABRI” mengunci kekuatan TNI ke dalam kubangan politik yang amat kelam dan tak terhindarkan.
Pasca-Orde Baru, 27 tahun kemudian legislasi ‘ugal-ugalan’ dan tanpa keterbukaan mengukuhkan kembalinya militerisme masuk ke ruang sipil. Hal ini dapat dilihat dari hasil revisi UU TNI yang memperbolehkan prajurit aktif masuk dan menjabat di 16 Kementerian/Lembaga (K/L). Perluasan kekuasaan militer pada ranah sipil dipandang sebagai pengingkaran terhadap semangat penghapusan Dwifungsi ABRI dan pengebirian terhadap demokrasi sipil. Namun, dalam konteks ini penulis akan lebih menyoroti analisis mengenai lolosnya revisi UU TNI dalam rapat paripurna DPR. Apakah Revisi UU TNI sebagai wajah baru totalitarianisme negara dan pembajakan konstitusionalisme warga negara dalam ruang publik politis di Indonesia?
Totalitarianisme Negara: Legislasi yang Semakin ‘Ugal-Ugalan’
Fenomena pengesahan Undang-Undang TNI menambah daftar panjang DPR dan pemerintah yang secara serampangan mengabaikan aspirasi rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja kedua lembaga tersebut. Minimnya partisipasi saat pembahasan undang-undang disinyalir sebagai bentuk totalitarianisme ataupun bentuk penguasaan negara terhadap opini serta deliberasi publik. Padahal legislasi yang terburu-buru hanya akan menghasilkan kebijakan yang kehilangan prinsip-prinsip demokrasi. Pengesahan ini jelas mengacam demokrasi sipil yang semakin mengkhawatirkan di masa pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dalam bukunya yang berjudul “Oligarki dan Totalitarianisme Baru” Jimmly Asshidiqie menganalisis bahwa negara Indonesia pasca Orde Baru mengalami dinamika politik dan demokrasi yang pasang surut ditandai dengan mulai menguatnya kekuatan-kekuatan oligarkis pada segi bisnis-ekonomi hingga merambah masuk ke dalam partai politik. Kecenderungan ini diperkeruh dengan adanya covid-19 yang terjadi di medio tahun 2020-an yang semakin memperlihatkan secara jelas watak negara yang ditunggangi kepentingan oligarki dan sifat totalitarian berkelindan masuk ke dalam sendi-sendi pembuatan peraturan perundang-undangan.
Totalitarianisme juga dapat dipandang sebagai pengabaian partisipasi publik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan serta berhentinya transparansi dalam konteks demokrasi pada warga negara. Negara melakukan monopoli atas nilai, politik, ekonomi, hingga ruang publik politis sebagai penanda supremasi kekuasaan. Padahal, supremasi kekuasaan seharusnya dimiliki oleh warga negara dan negara hanya sebagai pelaksana. Revisi UU TNI dalam konteks ini tidak memiliki kecenderungan untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, melainkan malah melemahkan demokrasi itu sendiri, serta membuka keran militerisme masuk ke dalam sektor-sektor publik yang seharusnya bebas dari intervensi militeristik.
Pembajakan Konstitusionalisme dan Peminggiran Sipil
Dalam prosesnya, revisi UU TNI cacat secara prosedural karena mengabaikan partisipasi publik atau sering disebut sebagai abusive law making. Setidaknya terdapat tiga prasyarat untuk memenuhi prinsip-prinsip partisipasi publik secara konstitusional, yaitu right to be heard (hak untuk didengar pendapatnya), right to be explained (hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan), dan right to be considered (hak untuk dipertimbangkan pendapatnya).
Pada beberapa kasus pengesahan undang-undang, publik tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam mekanisme pembahasan secara mendalam. Publik hanya ditempatkan sebagai penonton pertunjukkan yang tidak pernah memiliki hak-hak tertentu dan hanya setuju atas pengesahan aturan tersebut. Tertutupnya ruang deliberasi publik mengisyaratkan pembajakan konstitusionalisme warga negara atau korupsi legislasi dalam proses pembentukan undang-undang. Kontekstualisasi pembajakan konstitusionalisme seperti yang dijelaskan oleh Jimly Asshidiqie hanya dapat dilakukan oleh institusi politik formal pembentuk undang-undang dan partai politik.
Selain itu, revisi UU TNI memiliki potensi untuk memobilisasi prajurit aktif ke ranah-ranah sipil. Padahal, TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk peperangan, bukan untuk melakukan fungsi non-pertahanan, seperti menduduki jabatan sipil. Jabatan sipil seharusnya lebih mengedepankan soft power diplomacy—dialog publik, dibandingkan hard power diplomacy—menggunakan kekerasan dan senjata. Dengan hal ini, penulis menganggap peran sipil nantinya akan semakin terpinggirkan karena adanya relasi kuasa militer-sipil dalam jabatan institusi pemerintahan.
Dalam negara demokrasi yang ideal menurut Harold Crouch dalam “Militer dan Politik di Indonesia” menyebutkan bahwa kontrol kuat militer hanya menyebabkan tergerusnya supremasi sipil yang berakibat pada rapuhnya demokrasi di Indonesia. Sipil perlu ditempatkan sebagai penjaga yang mengawasi kerja militer dan memastikan bahwa militer tidak dapat mengambil keputusan politik independen. Akomodasi kepentingan militer masuk ke ranah sipil, berarti semakin terpinggirkannya masyarakat, serta kembalinya Dwifungsi ABRI layaknya era Orde Baru.
Pada akhir tulisan ini, penulis hanya ingin melakukan refleksi bahwa Indonesia telah mencatat sejarah yang kelam dari relasi militer-sipil selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto. Depolitisasi massa, Dwifungsi ABRI, hingga Penembakan Misterius (Petrus) menjadi sejarah yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Pola-pola sejarah perlu dibaca sedemikian rupa agar tidak terulang kembali pada peristiwa-peristiwa yang meminggirkan sipil secara politik, dan mengedepankan tentara sebagai garda politik kebangsaan. Kekeliruan tersebut harus dicegah sebelum militer melakukan penguasaan kembali ke ranah sipil.