Koreksi, Jakarta- Karna (27 tahun) bukan nama sebenarnya, guru honorer di sekolah dasar negeri di Jakarta mengatakan kaget saat mendengar informasi ‘cleansing’ pada Jumat (5 Juli 2024) di grup komunikasi guru honorer Jakarta. Cleansing merupakan kebijakan pemecatan yang dilakukan kepala sekolah atas perintah Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Karna kemudian memverifikasi informasi tersebut kepada kepala sekolah pada esok harinya.
“Sekitar Sabtu sore saya mendapat kabar dari kepala sekolah bahwa cleansing benar terjadi,” ujar Karna kepada Koreksi.org pada Minggu (14 Juli 2024).
Karna menambahkan kebijakan tersebut mengacu kepada formulir online yang diberikan Suku Dinas Jakarta Utara ke sekolah. Dalam formulir yang diterima Koreksi.org dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), untuk menindaklanjuti Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (TLHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), suku dinas meminta kepala sekolah atau staf terkait mengisi “Google Spreadsheet” nama-nama guru honorer.
Menurut Karna, nama-nama yang tercantum di formulir tersebut ada yang diisi kepala sekolah, tapi ada pula yang diisi secara langsung oleh guru honorer di sekolah negeri di Jakarta. Koreksi melihat ada sekitar 172 nama guru dengan data lainnya seperti alamat rumah, sudah cleansing atau belum, dan lain-lain.
“Kebetulan saya masih diberi kesempatan mengajar hingga Desember 2024. Sementara untuk guru honorer SMP dan SMA informasinya langsung diberhentikan,” tambahnya.
Kendati demikian, Karna menyayangkan informasi tersebut disampaikan secara dadakan sehingga membuat guru honorer kebingungan. Apalagi hal tersebut disampaikan beberapa hari sebelum tahun ajaran baru 2024-2025.
Ia dan sejumlah guru honorer lainnya harus mencari pekerjaan lain seperti melamar ke sekolah swasta untuk menghadapi kebijakan ini. Terutama, Karna yang istrinya baru melahirkan sehingga kebutuhan keluarga menjadi bertambah.
Karna yang sudah mengajar sekitar 4 tahun ini menerima upah sekitar Rp4,6 juta per bulan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Meski demikian, ia yang berstatus honorer murni tidak memiliki kontrak kerja sehingga bisa diberhentikan setiap saat.
Status ini berbeda dengan guru dengan status Kontrak Kerja Individu (KKI) yang mendapat upah dari APBD dan memiliki kontrak.Karna berharap pemerintah DKI Jakarta membatalkan kebijakan pembersihan guru honorer di DKI.
Menurutnya, rekomendasi BPK tersebut tidak dapat diartikan sebagai pembersihan guru honorer. Kata dia, pemerintah seharusnya justru mengangkat guru honorer murni menjadi guru KKI atau guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Kita coba menghimpun kawan guru yang terdampak, meskipun saya belum terdampak langsung. Kita akan bergerak dan bermediasi dengan dinas pendidikan dan mencari solusi terbaik.”
Penulis: Sasmito