Koreksi, Jakarta- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) telah menerima 77 laporan guru honorer yang terdampak kebijakan Cleansing di DKI Jakarta hingga 15 Juli 2024. Namun menurut Kepala Bidang Advokasi Guru dari P2G, Iman Zanatul Haeri, berdasarkan formulir online tentang cleansing wilayah Jakarta Utara tercatat 173 guru honorer. Ini artinya jumlah guru yang terdapak kebijakan ini bisa mencapai ratusan orang.
“Mereka shock, ada yang sudah mengajar 6 tahun atau lebih. Mereka sebenarnya sedang menunggu seleksi PPPK 2024, namun jika diberhentikan seperti ini kesempatan mereka untuk ikut PPPK juga hilang,” kata Iman kepada Koreksi, Selasa (16 Juli 2024).
Iman juga mengkritisi penggunaan istilah cleansing yang tidak manusiawi dan memposisikan guru seperti benda yang mengganggu kebersihan. Karena itu, P2G meminta Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang mengirimkan edaran cleansing untuk menjelaskan kebijakan ini.
Selain itu, praktik kebijakan cleansing guru honorer tidak sesuai amanat Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005. Menurutnya Pemberdayaan guru harus dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (pasal 7 ayat 2).
Iman menambahkan, jika kebijakan Cleansing ini merupakan dampak dari upaya menata kebijakan ASN sebagaimana amanat UU Aparatur Sipil Negara nomor 20 tahun 2023, maka bertentangan dengan asas dalam Undang-Undang tersebut. Bahwa penyelenggaraan kebijakan ASN, berdasarkan pada asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, pendelegasian, netralitas, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, dan keterbukaan (pasal 2 a-m).
P2G juga memperhatikan kondisi guru honorer pada daerah lain. Misal di Lampung Utara, Pemerintah Daerahnya tidak sama sekali membuka kuota PPPK guru. Sehingga lagi-lagi guru honorer menjadi korban karena tidak memiliki kesempatan untuk ikut seleksi PPPK guru. Sementara di Jawa Barat, terjadi pergeseran guru-guru honorer.
“Kami sudah beraudiensi dengan Dirjen GTK Kemendikbudristek, mereka memastikan guru honorer P3 tidak akan tergeser dengan kedatangan guru PPPK (P1) yang tertuang dalam Kepmendikbudristek nomor 349 tahun 2022. Kami apresiasi akan komitmennya dari Kemendikbudristek. Namun pada kenyataannya kami berhasil menemukan 466 kasus guru honorer di Jawa Barat yang tergeser dengan kedatangan guru P1. Laporan tersebut sudah kami sampaikan kepada komisi X DPR RI,” ungkap Iman.
Iman juga menyatakan bahwa kondisi geser menggeser antara guru honorer (P3) dan guru PPPK (P1) cukup memanas karena mereka dipaksa memperebutkan formasi yang sama. Padahal menurut Iman, para guru P1 harus tetap dituntaskan, namun di saat yang sama, guru honorer harus tetap diberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi PPPK.
“Nah ini malah guru P1 didorong untuk menggeser guru honorer (P3). Padahal keduanya sama-sama memiliki hak. Mereka seperti diadu domba.”
Senada dengan pernyataan tersebut, Ketua P2G Garut, Rida Rodiana menyatakan bahwa fenomena geser menggeser terjadi di Jawa Barat merugikan guru honorer.
“Secara umum kuota yang diajukan Pemerintah Daerah selalu lebih kecil separuhnya dari yang diajukan pemerintah pusat. Misal untuk Jawa Barat, jumlah guru P1 sebesar 1.529, jumlah guru non-ASN 8.974, namun kuota PPPK 2024 hanya 1.529. Sedangkan angka kebutuhan guru Jawa Barat sebesar 11.583. Artinya guru honorer memang tidak mendapatkan kesempatan mengikuti seleksi PPPK, padahal sekolah membutuhkan tenaga kami,” kata Rida melalui rilis yang diterima Koreksi, Selasa (16 Juli 2024).
Rida mengungkapkan Anggaran Pembelanjaan Daerah (APBD) Jawa Barat yang dikelola dinas pendidikan lebih dari Rp11 triliun. Sementara dengan asumsi gaji Rp 3,7 juta untuk 8.974 guru honorer di seluruh Jawa Barat selama setahun hanya sekitar Rp 465 miliar.
Rida mempertanyakan mengapa pemerintah daerah Jawa Barat tidak berani membuka kuota guru PPPK bagi guru honorer.
“untuk menggaji para guru honorer seJawa Barat tidak sampai 8,6% anggaran yang dikelola oleh Bidang PSMA dan PSMK dinas Pendidikan Provinsi jawa Barat,” sambung Rida.
Berdasarkan temuan-temuan masalah tersebut, P2G Memberikan sejumlah masukan. Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan P2G, Feriansyah memberikan sejumlah rekomendasi, antara lain para guru honorer harus tetap mendapatkan jam ajar sesuai dengan bidang pelajarannya.
“Kedua, berikan kepastian dan kesempatan bagi guru honorer untuk tetap mengikuti seleksi PPPK yang berkeadilan. Keempat, meminta Komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk tidak memberhentikan para guru honorer,” ucap Feriansyah dalam rilis yang diterima Koreksi, Selasa (7/16/2024).
Kelima, P2G meminta seleksi PPPK guru untuk menuntaskan dan memprioritaskan para guru honorer negeri dan tetap membuka seleksi untuk honorer swasta.
“Bagi P2G, angka kebutuhan guru dalam menyelenggarakan pendidikan harus sejalan dengan kuota PPPK, sehingga konflik antara guru honorer dan P1 tidak perlu terjadi. Maka kami mendorong supaya kuota PPPK mencakup semua guru baik P1 dan guru honorer,” tambah Feriansyah.
Feriansyah mengungkapkan bahwa perbaikan menyeluruh tata kelola pemenuhan kekurangan guru semestinya mengafirmasi guru honorer yang sudah bekerja di sekolah-sekolah negeri.
P2G juga mengimbau kepada semua pihak, baik di tingkat nasional maupun daerah untuk tidak melakukan intimidasi ketika guru yang sedang memperjuangkan hak-haknya.
“Ingat, jangan intimidasi pada para guru honorer melalui kepala sekolah atau pemanggilan-pemanggilan kepada guru karena bersuara di publik,” tegas Iman.
Di samping itu, Seleksi PPPK bukan solusi permanen, P2G tetap meminta seleksi PNS dibuka. Sebagai solusi, P2G berharap dihidupkan kembali skema DPK (guru bantu) yang dinilai bisa menjadi solusi bagi guru swasta yang sudah lulus PPPK namun tidak kunjung mendapatkan penempatan di sekolah negeri.
Mereka tetap bisa mengajar di sekolah swasta dengan status perbantuan. Terakhir, P2G tetap mendorong realisasi gagasan upah layak minimum guru non-ASN. “Kami kira upah minimum guru non-ASN bisa menjadi solusi kongkret menuntaskan masalah kesejahteraan guru secara nasional,” tutup Iman.
Penulis: Sasmito