Para pembela warga tertindas yang turut dalam upaya penegakan hukum agar berlangsung adil malah justru hendak dijebloskan ke penjara.
Koreksi, Yogyakarta- Meila Nurul Fajriah, perempuan muda pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sedang menghadapi ancaman jeruji besi. Dia yang mendampingi sebanyak 30 korban kekerasan seksual pada 2020 silam, saat ini justru ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Penetapan tersangka tersebut menjadi tindak lanjut setelah adanya pelaporan dari terduga pelaku, Ibrahim Malik (IM), seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang kala itu menyandang status sebagai mahasiswa berprestasi di kancah internasional.
Penetapan Meila sebagai tersangka ini mengundang perhatian publik hingga kasus ini kembali hangat dibicarakan. Ada ratusan organisasi masyarakat sipil yang memberi dukungan terhadap Meila. Mereka mendesak kepada Polda DIY untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, selaku pendamping hukum Meila, mengatakan dukungan dari berbagai organisasi terus bertambah.
“Hingga hari ini ada 120-an surat Desakan SP3 untuk Meila telah masuk ke Polda DIY,” ungkapnya saat dihubungi Koreksi, Senin (5/8/2024).
Julian menyampaikan juga melakukan koordinasi dengan Komnas HAM dan Komnas Perempuan. “Termasuk Komisi 3 juga sudah melakukan komunikasi dengan Polda DIY. Tuntutannya sama, yakni mendesak SP3 kasus Meila,” ujarnya.
Di salah satu media online nasional, kata Julian, kuasa hukum Ibrahim Malik memuat pernyataan yang menyebut bahwa LBH Yogyakarta tidak memiliki data korban dan surat kuasa dari korban.
“Termasuk pernyataan dari pihak Polda DIY, yang mempertanyakan ada tidak data korban?” katanya.
Julian menegaskan, bahwa hal tersebut sebetulnya telah divalidasi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta pada 2021 silam. Dalam kasus itu, bahkan UII sendiri juga membentuk tim pencari fakta dan tim untuk mendampingi korban, hingga akhirnya mencabut gelar Ibrahim Malik sebagai mahasiswa berprestasi.
Ibrahim Malik kemudian menggugat UII ke PTUN Yogyakarta pada September 2020. Dia menuntut agar gelarnya dikembalikan. Namun pada 2 Februari 2021, putusan PTUN Yogyakarta menyatakan gugatan Ibrahim tidak diterima.
“Sebagian besar fakta-fakta dalam kasus dugaan kekerasan seksual tersebut telah terungkap dalam persidangan di PTUN Yogyakarta. Fakta persidangan di PTUN tersebut bisa menjadi bukti tambahan bagi penyidik Polda DIY,” katanya.
Julian menegaskan, UII memiliki data terkait kasus tersebut, termasuk LBH Yogyakarta. Sebab, saat itu, LBH Yogyakarta menerima laporan sebanyak 30 korban, baik laporan korban secara langsung maupun melalui pihak ketiga sebagai pendamping.
“Hanya saja, selama ini kami memang tidak memberikan data-data tersebut, termasuk penunjukan surat kuasa korban kepada tim kuasa hukumnya Ibrahim Malik. Jadi kalau mereka menyebut bahwa kami tidak punya surat kuasa, itu tidak benar. Kami punya surat kuasa, tetapi kami tidak punya tanggung jawab untuk menunjukkan surat kuasa tersebut kepada pengacaranya Ibrahim Malik,” katanya.
Julian beralasan di dalam surat kuasa itu memuat identitas korban, alamat serta informasi para korban yang harus mendapatkan perlindungan.
“Sehingga kami tidak bisa menyerahkan dokumen surat kuasa tersebut kepada pengacaranya Ibrahim Malik,” katanya.
Bahkan, lanjut Julian, Polda DIY pernah menyurati beberapa kali untuk permohonan data korban.
“Tetapi kami tidak bisa menyerahkan karena ada etika untuk menjaga dan melindungi kerahasiaan korban. Di sisi lain, kami pernah menunjukkan bukti-bukti yang menjadi petunjuk adanya tindakan kekerasan seksual dengan prinsip-prinsip kerahasiaan,” imbuhnya.
Polisi Diminta Uji Fakta
Julian meminta Polda DIY untuk menguji apakah bukti-bukti yang ada tersebut termuat fakta kekerasan seksual atau tidak. Apabila termuat fakta, sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri, diperkuat dengan putusan peradilan, menyebutkan bahwa selama menyatakan termuat fakta, maka hal itu tidak ada tendensi pencemaran nama baik.
“Dari awal, Meila niatnya memang mengadvokasi para korban. Artinya, unsur mens rea (niat kriminal atau sikap batin pelaku tindak pidana) tidak terpenuhi,” katanya.
Dia mengakui, LBH Yogyakarta mengalami ‘serangan balik’ saat mendampingi perkara seperti ini termasuk kasus pertama.
“Tetapi untuk teman-teman jaringan yang lain kasus seperti ini bukan hal baru. Misalnya teman-teman dari Rifka Annisa pernah dilaporkan balik,” katanya.
Kasus kekerasan seksual, lanjut dia, biasanya terjadi karena adanya relasi kuasa, senior dengan junior, atasan dengan bawahan, dosen dengan mahasiswa, orang yang mengagumi dan yang dikagumi, dan seterusnya.
“Pelaku biasanya memiliki status sosial lebih tinggi dari korban. Maka pasal yang digunakan adalah pencemaran nama baik,” katanya.
Sejauh ini, pihaknya mengaku baru menerima informasi penetapan tersangka. Artinya belum ada proses hukum lebih lanjut, seperti pemanggilan dan pemeriksaan sebagai tersangka, penangkapan maupun penahanan.
“Opsi lainnya, apabila ditemukan bukti baru yang mendukung penguatan SP3,” katanya.
Menurutnya, kasus ini terjadi pada 2020, di tengah kekosongan perlindungan hukum terhadap pendamping dalam kasus kekerasan seksual. Sedangkan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) baru lahir pada 2022.
“Sehingga kalau kita lihat, masyarakat sipil terlihat lebih maju dalam penanganan kekerasan seksual ketimbang lembaga negara (seperti kepolisian) yang belum memiliki aturan (perlindungan hukum terhadap pendamping dalam kasus kekerasan seksual) itu sendiri,” terangnya.
Polisi Terkesan BimbangMenurutnya, dalam konteks ini, Polda DIY terkesan dalam kebimbangan karena dihadapkan pilihan tentang penerapan UU TPKS atau tidak.
“Karena kalau hanya menggunakan perspektif normatif saja, maka mereka akan bilang bahwa posisi kasus ini terjadi sebelum UU TPKS berlaku. Sehingga perlindungannya minim. Tetapi menurut kami, justru adanya UU TPKS seharusnya semakin memperkuat bagi pendamping,” katanya.
Ketua Aliansi Jurnalis Yogyakarta, Januardi Husin, menyayangkan kasus kriminalisasi Meila Nurul Fajriah selaku kuasa hukum korban dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh eks mahasiswa UII Yogyakarta tersebut.
“Kami juga mengirimkan surat permohonan penghentian penyidikan terhadap Meila Nurul Fajriah yang dijerat dengan pasal pencemaran nama baik. UU ITE tidak seharusnya dikenakan terhadap advokat publik. Terlebih lagi yang bersangkutan sedang membela korban kasus kekerasan seksual,” ujarnya.
Putusan MK soal UU ITE, lanjut dia, khususnya pasal pencemaran nama baik memberikan syarat yang ketat, dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) implementasi UU ITE.
“Dijelaskan, bahwa ketika orang menyampaikan fakta terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik,” kata dia.
Selain itu, revisi kedua UU ITE berangkat dari keprihatinan atas maraknya pasal pencemaran nama baik dikenakan kepada orang-orang yang bekerja demi kepentingan publik.
“Menjerat Meila Nurul Fajriah dengan UU ITE sama saja mengingkari semangat revisi kedua UU ITE,” ujarnya.
Dia mengingatkan, jika Polda DIY tetap melanjutkan kasus pencemaran nama baik terhadap Meila Nurul Fajriah, maka Polda DIY akan mendapat sorotan dari banyak pihak.
“Terutama yang fokus di isu kebebasan berekspresi dan pemberantasan kekerasan seksual,” katanya.
Penulis: Abdul Mughis