Koreksi, Yogyakarta- Para akademisi dan peneliti (Associate Research Fellow/ARF) Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (LSJ FH UGM) menilai kasus yang menimpa Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah, adalah bentuk kekeliruan fatal yang dilakukan oleh penyidik kepolisian.
Sebelumnya, penyidik Ditreskrimsus Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdasarkan surat bernomor: S.Tap/51/VI/RES.2.5/2024/Ditreskrimsus, tertanggal 24 Juni 2024, telah menetapkan status kuasa hukum pendamping korban tindak pidana kekerasan seksual, Meila Nurul Fajriah ini sebagai tersangka.
Para peneliti dan akademisi ini meminta penyidik Polda DIY tidak gegabah dalam penegakan hukum. Ketua LSJ FH UGM Herlambang P. Wiratraman menyampaikan sedikitnya sepuluh poin pandangan terhadap kasus ini.
Pertama, dalam Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2006, Pasal 3 diatur mengenai asas penyidikan yang salah satunya adalah asas kredibilitas.
“Artinya, penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya didasarkan pada fakta hukum yang akurat dan dapat dipercaya,” katanya dalam keterangan pers yang dikutip pada Senin (5/8/2024).
Dikatakannya, kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam kasus yang ditangani oleh Pengacara Publik LBH Yogyakarta adalah fakta hukum. Dasar ini terkait Surat Keputusan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Nomor 327/SK-REK/DPK/V/2020 tertanggal 12 Mei 2020 tentang Pencabutan Penghargaan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Universitas Islam Indonesia Tahun 2015 atas nama Ibrahim Malik dan Putusan Perkara Nomor 17/G/2020/PTUN.YK yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kedua, dampak dari kejahatan seksual yang dilakukan pelaku dapat membuat korban berpotensi mengalami traumatis.
“Dalam proses hukumnya, sudah sepatutnya Polda DIY lebih berhati-hati dan tak gegabah dalam melihat rentetan peristiwa hukum, bukan dengan cara pandang formalisme yang justru merugikan dan menyakitkan korban kekerasan seksual,” katanya.
Terlebih, kasus ini melibatkan puluhan korban yang memberikan kesaksian ke LBH Yogyakarta. Meila sendiri sebagai salah satu pendamping hukumnya.
“Ketiga, penetapan tersangka terhadap pendamping korban seksual sangat potensial menjadi pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan,” terang dia.
Lebih lanjut, hak tersebut adalah hak bagi setiap orang, tanpa diskriminasi, untuk mengajukan permohonan pengaduan dan laporan dalam perkara pidana untuk memperoleh putusan adil dan benar.
“Penetapan tersangka terhadap pendamping korban kekerasan seksual akan merintangi upaya korban untuk memperoleh keadilan, sehingga korban pun kian sulit mendapatkan pemulihan yang efektif,” terangnya.
Berdasarkan Pasal 6 huruf a. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, hak memperoleh keadilan termasuk ke dalam cakupan tugas Polri.
“Keempat, penetapan tersangka tersebut juga menunjukkan adanya malicious intention (itikad buruk) kepada pendamping korban dengan tujuan untuk mengganggu aktivitasnya sebagai pembela HAM,” kata dia.
Dijelaskan Herlambang, pada Paragraf 139 huruf i. Standar Norma Pengaturan (SNP) Nomoro 6 Tentang Pembela Hak Asasi Manusia oleh Komnas HAM RI 2021 menggariskan bahwa pembela HAM harus terbebas dari intrik-intrik malicious intention (niat jahat).
“Misalnya intimidasi atau pembalasan dari aktivitasnya. Bagi pembela HAM dan masyarakat luas, penetapan tersangka ini dapat memberi efek ketakutan dan chilling effect (jera) dalam memberi kritik dan mengadvokasi kepentingan publik,” katanya.
Kelima, masih kata Herlambang, Polda DIY yang menangani kasus dengan memproses keberlakuan Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang Undang ITE justru sangatlah keliru. Bahkan bertentangan dengan sejumlah doktrin hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan (aksesi) oleh Indonesia melalui Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005, terkait kepentingan umum yang menjadi pengecualian pemberlakuan atas pembatasan, atau bahkan upaya pemidanaan.
“Pasal tersebut merupakan pasal yang lentur dan potensi disalahgunakan untuk membungkam upaya pembelaan hak asasi manusia, bukan saja ditujukan sebagai kriminalisasi, melainkan pula bagian dari SLAPP (strategic lawsuit against public participation), yang menghambat upaya korban atau pembelanya memperjuangkan haknya,” tegasnya.
Keenam, perlu mengingatkan perkembangan hukum, khususnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi soal UU ITE (UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau diringkas UU ITE), khususnya pasal pencemaran nama baik, yang secara hukum memberikan syarat yang demikian ketat nan terbatas, dituangkan dalam SKB/Surat Keputusan Bersama implementasi UU ITE.
“Dalam SKB dinyatakan, bahwa ketika orang menyampaikan fakta terlebih berkaitan dengan kepentingan umum, terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Terlebih, apa yang dilakukan Meila Nurul Fajriah, legitimate sebagai kuasa hukum korban yang dilindungi Undang-Undang Bantuan Hukum,” katanya.
Ketujuh, selain itu, berdasarkan Putusan MK Nomor: 50/PUU-VI/2008 tahun 2008, bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
Dinyatakan pula secara tegas dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Kapolri, Jaksa Agung dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tentang Pedoman Implementasi atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU ITE.
“Penggunaan Pasal 27 ayat 3 ITE untuk menetapkan pendamping hukum korban menjadi tersangka adalah sebuah kekeliruan fatal secara hukum, dan menunjukkan Polda DI Yogyakarta tidak sungguh-sungguh mengikuti perkembangan doktrin dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya.
Delapan, terlebih, kriminalisasi terhadap pendamping korban adalah bentuk serangan nyata terhadap korban dan pendampingnya. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bahkan mengatur tegas bahwa pendamping korban untuk mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi di setiap tingkat pemeriksaan.
“Pendamping hukum yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik,” katanya.
Sembilan, upaya pemidanaan atau kriminalisasi terhadap pendamping hukum bagi korban kekerasan seksual, yang pula merupakan pengacara publik di LBH Yogyakarta telah menjadi serangan terhadap independensi advokat sebagai penegak hukum yang dijamin imunitasnya.
Hal itu sesuai Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.Bila kasus ini diteruskan masa sama halnya dengan upaya mengancam bagi organisasi bantuan hukum sebagai pemberi bantuan hukum yang dijamin hak imunitasnya.
“Perlu diketahui bahwa mereka tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya, terlebih dilakukan dengan itikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum.”
Terakhir, kata Herlambang, tim Penyidik Polda DIY diharapkan mempertimbangkan pandangan hukum ringkas ini sesuai dengan prinsip keterbukaan, menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dari pihak mana pun,” katanya.
Berdasarkan pandangan tersebut, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada merekomendasikan agar kasus Meila Nurul Fajriah segera dihentikan.
Hal ini, menurutnya, sejalan dengan landasan hukum, baik UU HAM, UU Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Doktrin Pembatasan terkait Kepentingan Umum dalam Siracusa Principles, UU TPKS, UU Advokat, UU Bantuan Hukum, Perkapolri Nomor 15 Tahun 2006, Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, dan SNP Nomor 6 Tentang Pembela Hak Asasi Manusia yang disusun oleh Komnas HAM RI.
“Sebaliknya, kami mendorong proses hukum yang seharusnya berjalan, terutama bagi pihak yang diduga terlibat dalam tindak pidana kasus kekerasan seksual,” katanya.
Penulis: Abdul Mughis