Koreksi, Jakarta– Orang tua korban penyiksaan (AM) yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian, yakni Anggun (Ibu) dan Afrinaldi (Ayah) terus berjuang untuk memperoleh keadilan. AM seorang anak berusia 13 tahun ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat pada 9 Juni 2024, dengan kondisi legam di sekujur tubuh. Ia diduga tewas karena dianiaya polisi.
Orang tua korban mendatangi Komisi III DPR RI didampingi Koalisi Advokat Anti Penyiksaan yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) di ruang rapat Banggar Gedung Nusantara II di Jakarta pada 5 Agustus 2024 lalu.
Di DPR, mereka mengungkapkan sejumlah temuan terkait kasus AM dan kejanggalan selama proses hukum yang ditangani oleh Polda Sumbar dan Polresta Padang. Salah satunya penyiksaan yang diduga dilakukan penyidik polisi di ruang interogasi yang dialami AM dan 18 korban lainnya.
“Tiga belas di antaranya merupakan anak,” kata Kepala Divisi Hukum KontraS selaku Tim Advokat Anti Penyiksaan Andrie Yunus dalam keterangan pers, Selasa (6/8/2024).
Yunus menjelaskan, para korban mengalami penghukuman yang tidak manusiawi seperti kekerasan seksual dengan tindakan memaksa ciuman sesama jenis. “Mereka juga mengaku menerima ancaman dari anggota kepolisian yakni dilarang melaporkan tindakan penyiksaan tersebut kepada pihak manapun,” ungkap Andrie.
Andrie melanjutkan, kejanggalan-kejanggalan selama proses hukum yang dilakukan Polda Sumatera Barat di antaranya keterangan Kapolda terkait penyebab kematian AM yang berubah-ubah.
“Mengancam akan memburu orang yang memviralkan kasus, tidak profesional dalam mengamankan tempat kejadian perkara (TKP), hingga tidak memberikan salinan dokumen resmi mengenai hasil autopsi jenazah AM kepada pihak keluarga maupun pendamping hukum,” ujarnya.
Keluarga korban, lanjutnya, juga meminta secara langsung kepada Komisi III DPR RI memerintahkan Kapolri segera melakukan ekshumasi (penggalian mayat) dan autopsi ulang terhadap jenazah AM.
“Tak lama setelah permohonan itu diajukan, Komisi III DPR RI memerintahkan delegasi Polda Sumatera Barat dan Polresta Padang untuk masuk ke ruang rapat yang tak lama langsung menyerahkan salinan surat tertanggal 2 Agustus 2024,” bebernya.
Isi surat tersebut berisi permohonan autopsi ulang melalui ekshumasi yang ditujukan kepada Ketua Perhimpunan Dokter Forensik dan Medikolegal Indonesia (PDFMI).”Namun salinan surat permohonan tersebut tidak menjelaskan lebih detail mengenai kapan proses ekshumasi dan autopsi ulang terhadap jenazah AM akan dilaksanakan,” ujarnya.
Andrie bersama Tim Koalisi Advokat Anti Penyiksaan mengapresiasi sikap dan respons Komisi III DPR RI untuk mengawal kasus penyiksaan AM dan kawan-kawan. “Termasuk mengawal proses persetujuan ekshumasi dan autopsi ulang yang sebelumnya sangat lamban diberikan oleh Polda Sumbar dan Polresta Padang,” imbuh dia.
Namun, lanjut dia, pihaknya memberikan catatan terhadap langkah lanjutan dalam proses pelaksanaannya. “Keluarga dan Tim Advokat menekankan agar proses awal hingga akhir yang dilaksanakan harus dilakukan oleh tim dokter forensik yang independen serta menggunakan alat kesehatan yang steril dari intervensi pihak Kepolisian,” tegasnya.
Selain itu, ekshumasi juga perlu dilakukan dengan melibatkan keluarga korban AM, pendamping hukum, dan dokter independen yang ditunjuk oleh keluarga korban untuk memastikan ekshumasi berjalan secara objektif dan transparan.
Menurutnya, proses ekshumasi ini penting untuk diawasi secara langsung dengan melibatkan berbagai lembaga negara seperti Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Foto dokumentasi KontraS: Kepala Divisi Hukum KontraS selaku Tim Advokat Anti Penyiksaan Andrie Yunus (Kedua dari kanan).