Koreksi, Yogyakarta- Kasus dugaan kekerasan seksual 30 mahasiswi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 2020 yang melibatkan Ibrahim Malik kembali hangat diperbincangkan. Pasalnya, pendamping para korban, Meila Nurul Fajriah, advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas laporan Ibrahim yang dikenal sebagai mahasiswa berprestasi di kancah internasional itu.
Berikut ini wawancara Koreksi.org dengan Ibrahim Malik pada Selasa, 6 Agustus 2024:
Banyak pihak menilai bahwa ini bentuk kriminalisasi terhadap Meila. Bagaimana tanggapan Anda?
Oke, jadi sebetulnya yang dituduhkan atau digaung-gaungkan sekarang itu adanya kriminalisasi ya. Seakan-akan Meila yang jadi tersangka itu dikriminalisasi karena beliau mendampingi (korban kekerasan seksual).
Sebenarnya, kasus ini sudah lama, bahkan sudah empat tahun lalu. Kasus ini awal mulanya pada 2020, terjadi konferensi pers (oleh tim advokasi LBH Yogyakarta). Di situ jelas, saudari Meila menyebut nama saya, memfitnah (sebagai pelaku kekerasan seksual) dengan menyebut tiga puluh orang korban lebih. Seperti apa yang banyak diberitakan dulu.
Nah, yang jadi permasalahan, ketika nama saya sudah dicemarkan, kasus ini hilang begitu saja. Tidak ada kelanjutan apa-apa. Saya mencoba ingin mengklarifikasi, tapi saya tidak pernah dilaporkan (ke polisi) sama sekali. Saya merasa semua tuduhan itu fitnah. Saya merasa ini tidak benar.
Akhirnya saya melaporkan (Meila) ke Polda DIY pada 2020.Nah, setelah itu dilakukan rangkaian proses yang menurut saya cukup panjang. Polisi pun sangat berhati-hati karena memang kasus ini sangat sensitif.
Penyelidikan polisi butuh waktu yang lama, mulai 2020 hingga 2024.Para korban mengadu ke LBH Yogyakarta. Meila adalah salah satu Advokat dari LBH Yogyakarta yang saat itu mendampingi para korban. Mengapa bisa menjadi tersangka?Saudari Meila tidak pernah sama sekali memberikan surat kuasa (pendampingan korban) kepada pihak polisi atau pun data-data korban. Atas dasar itu baru ditetapkan sebagai tersangka.
Jadi kalau misalnya ada sangkaan bahwa ini kriminalisasi, menurut saya ini tidak benar.
Para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan hingga akademisi, peneliti, dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial menilai itu bentuk kriminalisasi. Tanggapan Anda?
Kriminalisasi itu jika korbannya ada. Nah, masalahnya polisi sudah menunggu selama empat tahun, bahkan waktu itu sudah dilakukan penyelidikan. Pada 2021, saya sempat dimediasi juga di ruang polisi. Tidak satu pun yang disebutkan dan tidak ada alat bukti, baik itu surat kuasa dan lain sebagainya. Nah setelah itu naik ke penyidikan.
Polisi mencoba untuk menggali lagi. Bahkan saya menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Penyidik menyampaikan perkembangan proses hukum ini sampai tahapan mana.
Sampai akhirnya polisi yakin tidak ada satu pun seperti yang dituduhkan. Karena sampai detik ini tidak ada satu pun apa namanya surat kuasa. Misalnya ada korban, seharusnya ada surat kuasa kan. Katanya ada tiga puluh korban itu sama sekali satu pun tidak ada data.
Jadi, ini tidak ada namanya kriminalisasi. Ini murni proses hukum.Sesuai Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003.
Bukankah advokat memiliki hak imunitas?
Sekarang banyak yang mengatakan hak imunitas. Sebetulnya hak imunitas itu akan berlaku jika dalam hal ini posisi Meila sebagai pendamping korban. Nah, pendamping korban itu harus ada bukti pendampingannya. Apa bukti pendampingannya? Seperti halnya yang kita tahu ya pasti harus ada surat kuasa. Masalahnya, sampai detik ini tidak ada satu pun surat kuasa yang ditunjukkan.Bahkan ketika mediasi pun tidak pernah menunjukkan.
Jangankan surat kuasa, alat bukti data korban pun tidak pernah satu pun yang diberikan kepada pihak kepolisian.Itu sih awal mulanya mengapa bisa dijadikan tersangka. Saya pribadi menilai ini bukan tindakan kriminalisasi ya. Artinya, saya mengikuti semua proses hukum.
Konferensi pers-nya Meila pada 4 Mei 2020 itu yang pertama kali bikin ramai. Saya kan belum diperiksa, belum dilaporkan, belum diapa-apakan. Tiba-tiba langsung diblow-up seperti itu. Nah, itu kan sebetulnya melanggar. Kecuali, posisi saya sudah dinyatakan bersalah. Ini belum dinyatakan apa-apa, belum terbukti. Mestinya harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. Apalagi ini masih simpang siur dan belum pasti.
Setelah itu, kasus ini ditutup.Proses hukum yang saat ini berjalan memang sangat profesional. Polisi sangat berhati-hati mengingat kasus ini sensitif. Polisi tidak mungkin akan mengeluarkan semua keputusan tersangka kalau memang benar-benar tanpa keyakinan dan alat bukti cukup.LBH Yogyakarta menegaskan bahwa memiliki data-data korban.
Termasuk memiliki surat kuasa, tetapi LBH Yogyakarta tidak memiliki tanggung jawab menunjukkan surat kuasa tersebut kepada pihak Ibrahim Malik maupun kepolisian. Sesuai aturan penanganan kasus kekerasan seksual harus menjaga prinsip perlindungan serta kerahasiaan identitas korban.
Bukankah itu masuk akal?
Ingin dirahasiakan sampai kapan? Saya maupun pengacara saya tidak minta data itu. Polisi yang minta, bukan saya. Polisi sudah menunggu empat tahun.
Mereka inginnya saya diproses, tapi bagaimana caranya untuk memproses saya jika data-data itu polisi tidak punya. Padahal sebetulnya pihak kepolisian itu tempat untuk menyimpan semua rahasia. Mau sampai kapan ini dirahasiakan?
Bukankah Pihak Kampus UII sendiri membentuk tim investigasi dan pencari fakta guna menyelidiki kasus dugaan kekerasan seksual tersebut? Bahkan UII telah mencabut gelar Anda sebagai mahasiswa berprestasi. Anda kemudian menggugat UII agar mengembalikan gelar itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Tetapi hasil putusan PTUN menyatakan bahwa gugatan Anda tidak diterima. Bukankah itu artinya mengklarifikasi bahwa ada fakta kasus kekerasan seksual?
Secara administrasi ya, memang gugatan saya tidak diterima. Karena gugatan itu ada masa kadaluwarsa. Seharusnya gugatan itu diajukan sebelum sembilan puluh hari setelah mendapatkan surat (dari kampus), sehingga gugatan saya dianggap kadaluarsa karena melebihi ketentuan tersebut.Sedangkan untuk tim investigasi dan pencari fakta UII, bahkan sampai detik ini pun saya tidak pernah diinvestigasi atau dimintai keterangan apa pun oleh pihak UII.
Jadi, pencopotan gelar mahasiswa berprestasi itu sepihak.Ketika itu, saya masih kuliah S2 di Australia. Apalagi saat itu dalam situasi pandemi Covid-19. Saya terkena Covid-19, sehingga mendelegasikan ke kuasa hukum saya di Indonesia.
Lantas, laporan 30 korban—di LBH Yogyakarta yang merasa menjadi korban kekerasan seksual itu menurut Anda juga fitnah?
Saya dari awal sudah pernah melakukan klarifikasi. Saya menolak semua tuduhan-tuduhan itu. Tuduhan itu semuanya tidak benar dan tidak mendasar. Saya sudah bilang, kalau memang dulu itu benar ya silakan laporkan ke pihak yang berwenang. Biar yang memproses pihak yang berwenang.Saya sudah bilang seperti itu. Tapi saya sudah meyakini itu tidak benar. Kasus ini langsung hilang, jadi ya sudah berarti saya yakin ini pencemaran nama baik dan fitnah. Makanya saya bikin laporan ke polisi karena saya ingin kepastian hukum. Saya bukan tipikal orang yang suka ribut-ribut seperti ini. Nawaitu saya untuk mencari keadilan dan memperbaiki nama baik, tidak ada tujuan lain.
Penulis: Abdul Mughis