Koreksi, YOGYAKARTA – Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, menjadi sorotan masyarakat.
Perpres tersebut memuat peleburan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan yang kemudian disebut sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Widya Eky Kusmayanti (37), mengaku khawatir kebijakan ini nantinya merugikan warga yang semula kelas 1 dan 2.
“Jalan pikiran ‘tidak membeda-bedakan pelayanan’ ini saya setuju. Yang jadi persoalan, teknis penerapan kebijakannya nanti seperti apa, itu yang patut diwaspadai,” ungkap warga Berbah, Sleman, Yogyakarta, Rabu (14/8/2024).
Hal yang paling mengkhawatirkan, kata dia, apabila nanti iurannya dinaikkan. Sedangkan peserta BPJS yang sebelumnya membayar lebih mahal ini mendapatkan hak apa saja.
“Selama ini, iuran BPJS ini cukup menjadi beban. Misalnya satu keluarga 5 orang, kelas 2 Rp 100 ribu per orang, artinya kita menanggung beban Rp 500 ribu per bulan. Ini sudah cukup berat, harapan kami iuran BPJS tidak dinaikkan,” katanya.
Direktur Social Movement Institute (SMI), Eko Prasetyo mengatakan pelayanan kesehatan model BPJS Kesehatan sebetulnya sejak awal bermasalah.
“Karena menerapkan klasifikasi atau pembedaan-pembedaan fasilitas melalui kelas-kelas pelayanan,” katanya, Selasa (13/8/2024).
Beban Biaya Tambahan
Ketika ada upaya untuk peleburan kelas, masalah berikutnya adalah adanya beban biaya tambahan lagi.
Eko menyebut, sedikitnya ada tiga indikator mengenai persoalan peleburan Kelas 1, 2 dan 3 BPJS Kesehatan ini. Pertama, kesiapan infrastruktur rumah sakit.
“Adanya peleburan kelas tersebut, jelas membutuhkan sarana prasarana tambahan yang memadai,” katanya.
Tidak semua rumah sakit mampu memenuhi syarat fisik ketersediaan infrastruktur tersebut. “Saya rasa, ini bisa menjadi masalah di masa mendatang apabila terjadi peleburan kelas BPJS ini,” ungkapnya.
Kedua, sistem mekanisme pembayaran. Saat ini, sudah adanya isu kenaikan iuran untuk kelas 1 dan 2. Menurutnya, ini akan memberikan beban tambahan kepada masyarakat. Adanya beban biaya tambahan untuk penunjang sarana prasarana, tentu akan berdampak terhadap kenaikan iuran peserta BPJS.
“Kondisi masyarakat sekarang ini mengalami tekanan ekonomi yang luar biasa. Harga bahan pokok, bahan bakar minyak (BBM), dan lain-lain mengalami kenaikan harga,” katanya.
Biaya pendidikan yang sejauh ini tidak murah. Sedangkan pendapatan masyarakat cenderung tidak mengalami peningkatan secara signifikan.
“Kesehatan ini tugas dan tanggung jawab pemerintah. Artinya, pemerintah harus mensubsidi untuk sektor ini.”
Ketiga, perlu adanya evaluasi terlebih dahulu dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk publik. Selama ini, kata dia, belum ada evaluasi secara independen.
“Mestinya, layanan BPJS yang selama ini belum optimal harus diperbaiki terlebih dahulu. Sebelum ada kebijakan-kebijakan yang menambah beban publik,” imbuh dia.
Dia mengakui, BPJS Kesehatan ini secara substansi memang meringankan beban masyarakat. Yang menjadi permasalahan adalah sistem dan tata kelolanya yang belum optimal.
Implementasi dan faktanya, lanjut Eko, setiap rumah sakit memiliki kualitas pelayanan yang berbeda-beda. Pelayanan birokrasi yang panjang dan rumit. Antrean yang banyak, masa rawat inap yang belum sesuai kebutuhan pasien.
“Pelayanan publik seperti inilah yang selama ini masih bermasalah,” ujarnya.
Dikatakannya, BPJS Kesehatan selama ini masih menggunakan model kuratif (upaya pengobatan atau penyembuhan) bukan preventif (upaya pencegahan penyakit). Akibatnya, beban lebih banyak.
“Belum lagi tidak semua jenis penyakit bisa dicover.”
Menurutnya, pelayanan BPJS ini memang membutuhkan kultur baru dengan tidak membeda-bedakan kelas atas dasar kemampuan ekonomi masyarakat. BPJS perlu melakukan sosialisasi tentang hak-hak masyarakat tentang pelayanan kesehatan di rumah sakit secara terbuka.
“Selama ini sangat jarang mendengar penjelasan tentang hak-hak pasien BPJS. Yang ada hanya kewajiban-kewajiban pasien,”
Karena minim sosialisasi hak-hak pasien, lanjut dia, ketika terjadi permasalahan (misalnya), salah penanganan, pasien tidak bisa komplain. Sebab, masyarakat yang menjadi pasien ini masih banyak yang tidak paham atau mengatahui haknya.
“Hak-hak pasien ini yang mestinya dijelaskan terlebih dahulu melalui rumah sakit secara terbuka,” katanya.
Distribusi Dokter belum Merata
Berikutnya, tata kelola rumah sakit sejauh ini, menurut dia, belum optimal. Jumlah dokter dengan jumlah pasien di Indonesia, kata dia, termasuk ideal. Namun selama ini masih kerap ditemukan antrean pasien yang panjang.
“Satu dokter misalnya melayani hingga 40 pasien dalam sehari, tentu akan mengakibatkan konsultasi tidak optimal. Dokter-dokter spesialis menumpuk di rumah sakit pusat. Pasien pun akan menumpuk. Ini menurut saya tata kelola rumah sakit yang belum baik.”
Sedangkan fasilitas kesehatan puskesmas yang merupakan wilayah paling dekat dengan masyarakat justru tidak memiliki dokter spesialis. Seharusnya, distribusi dokter harus merata agar pelayanan tidak menumpuk di rumah sakit pusat.
“Jika terjadi penumpukan pasien, ini menunjukkan bahwa distribusi dokter selama ini tidak merata,”
Rumah Sakit dengan BPJS belum Sejalan
Idealnya, puskesmas dilengkapi sarana prasaran dan dokter-dokter spesialis agar mampu memenuhi kebutuhan layanan kesehatan masyarakat secara mudah.
“Rumah sakit seharusnya memang hanya menangani penyakit yang sudah terlalu parah,” katanya.
Dia menyebut contoh penumpukan pelayanan pasien yang kerap terjadi di Instalasi Kanker Terpadu “Tulip” RS Sardjito Yogyakarta. Pasien kanker dari berbagai daerah menumpuk.
“Saya melihat hal seperti ini tidak efektif. Distribusi dokter yang tidak merata ini menunjukkan bahwa tata kelola rumah sakit dengan BPJS ini belum sejalan,” katanya.
Anggota Komisi D DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sofyan Setyo Darmawan mengatakan bahwa setiap kebijakan harus menggunakan prinsip keadilan. Termasuk implementasi kebijakan peleburan kelas pasien BPJS tersebut.
“Adil itu tidak harus sama angkanya. Keadilan itu bersifat proporsional, sesuai tempat, manfaat, fungsi dan kebutuhan,” katanya.
Selama ini, iuran BPJS Kesehatan untuk Kelas 1 Rp 150.000, Kelas 2 Rp 100.000 dan dan Kelas 3 Rp 42.000 (kecuali Penerima Bantuan Iuran/PBI yang sepenuhnya ditanggung pemerintah).
“Nah, iuran yang berbeda-beda ini jika nantinya disamaratakan pelayanannya itu namanya tidak memenuhi asas keadilan,” katanya.
Regulasi Jangan Malah Menambah Repot Masyarakat
Sofyan mengaku sempat mencermati rencana peleburan kelas BPJS tersebut. Namun ia mengakui belum sampai pada tahap pendalaman. Secara tujuan, menurutnya, rencana peleburan kelas BPJS ini cukup berdasar, yakni standarisasi pelayanan.
“Pembaharuan kebijakan itu tidak masalah selama substansinya memperbaiki sistem dan pelayanan. Regulasi jangan malah menambah repot masyarakat,” katanya.
Untuk memenuhi prinsip keadilan, menurutnya, pemerintah perlu melakukan kajian secara komprehensif dan transparan. Baik dalam pengambilan keputusan maupun transparan terhadap penggunaan dana.
“Misalnya, dari mana biaya gaji pegawai BPJS? Jangan sampai iuran BPJS dari masyarakat untuk gaji pegawai BPJS,” ujarnya.
Dia menilai, peserta yang semula kelas 1 dan 2 bila nanti dileburkan harus tetap mendapatkan hak secara adil.
“Peserta yang semula kelas 1 dan 2, selain mendapatkan pelayanan standar umum harus tetap mendapatkan hak peningkatan pelayanan,” katanya.
Sedangkan peserta kelas 3 (disubsidi oleh pemerintah), lanjut dia, pelayanannya menggunakan standar umum. Artinya tidak mendapatkan pelayanan plus. Peserta yang semula kelas 1 dan 2 membayar lebih tinggi dari kelas 3 sebagai asas gotong royong.
“Konsekuensinya harus tetap mendapatkan peningkatan pelayanan. Menurut saya peluang keadilannya di situ,” katanya.
Catatannya, penyelenggara BPJS sekali lagi harus transparan. Bila nanti kebijakan peleburan kelas BPJS ini diberlakukan, dia berharap tarif iuran tidak dinaikkan. “Apabila dinaikkan, tentu akan memicu protes dari publik,” katanya.
Penulis: Abdul Mughis