Koreksi, Jakarta- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 3.565 anak yang terlibat dalam demonstrasi menolak omnibus law pada 7-8 Oktober 2020. Sembilan puluh satu anak di antaranya diproses hukum lebih lanjut karena dituduh melakukan perusakan fasilitas umum. KPAI berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya untuk memastikan penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) .
Kendati demikian, Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan mengatakan terdapat celah dalam UU SPPA, terkait diversi. Diversi merupakan mekanisme keadilan restoratif terhadap tersangka anak berhadapan dengan hukum (ABH). Penerapan diversi diatur dalam UU SPPA.
LBH Jakarta memandang bahwa diversi seharusnya tidak melihat jumlah atau berat ancaman pidana, tapi pada kualitas suatu kasus.
“Apakah ada niat jahat di situ, apakah ada kerusakan yang ditimbulkan,” ucap Fadhil kepada Koreksi pada Rabu (17/12/24)

Ilustrasi pelajar ikut demonstrasi. Foto: Federasi Pelajar
Sebagai contoh, pada 11 April 2022, lima orang anak ditangkap polisi karena diduga mau mengikuti demonstrasi penolakan tiga periode presiden Joko Widodo. Menurut cerita Fadhil, lima orang anak turun di dekat patung kuda sekitar Bundaran Hotel Indonesia. Begitu turun mereka langsung ditangkap polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Polisi menemukan pisau lipat di saku salah satu anak yang ditangkap dan menilai potensi bahaya jika mengikuti demonstrasi. Fadhil menyebut anak tersebut dikenakan Pasal 2 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman pidana 10 tahun penjara. Keadaan ini yang membuat anak tidak dapat menjalankan mekanisme diversi.
Fadhil menilai penerapan pasal ini terlalu berlebihan karena tidak mempertimbangkan niat jahat anak. Apalagi tidak ada korban jiwa dalam kasus ini.
LBH Jakarta mendampingi ABH tersebut sampai masuk ke tahap kasasi. ABH tersebut dituntut satu tahun penjara dan dijatuhi hukuman empat bulan penjara. Upaya banding putusan pun hanya menguatkan putusan tingkat pertama. Begitu pun di tingkat kasasi.
ABH tersebut menjalankan hukuman penjara satu bulan karena sudah ditahan sejak 11 April sampai persidangan pada bulan Juli 2022. Fadhil menambahkan bahwa penahanan terhadap ABH tersebut melebihi masa penahanan yang dibolehkan UU SPPA.
“Polisi penyidik bilang ke kami gak nahan di awal. Kami menitipkan di dalam rangka rehabilitasi sosial,” ucap Fadhil pada Koreksi.

Gedung Polda Metro Jaya. Foto: Koreksi
Penjelasan Polisi
Unit 1 Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Polda Metro Jaya menangani kasus ini pada tahun 2022. Kanit Unit 1 Renakta Indra Aditya menyebut bahwa proses penanganan terhadap ABH ini memang berlangsung sejak April sampai Agustus 2022. Empat orang yang ditangkap bersama ABH dipulangkan tanpa menjalani proses hukum.
“Subdit Renakta sangat objektif mengenakan UU Darurat berdasarkan barang bukti (senjata tajam) yang pada anak yang berhadapan dengan hukum tersebut,” ucap Indra melalui keterangan tertulis pada Koreksi pada Jumat (31/01/25).
Tidak jauh berbeda dengan penanganan demonstrasi Agustus 2024, unit Indra tidak menjalankan diversi karena anak hanya diperiksa sebagai saksi. Indra menyebut anak tersebut ditangkap di bawah jembatan Semanggi oleh anggota Sabhara Polda Metro Jaya lalu ditangani Renakta untuk klarifikasi selama tiga jam.
“Status hukum terhadap anak tersebut adalah sebagai saksi dan tidak dilakukan diversi karena hanya diamankan diduga ikut demo,” ucapnya.
Indra mengklaim tidak melakukan penghalangan pendampingan terhadap anak yang ditangkap. Ia menambahkan bahwa proses klarifikasi terhadap anak selama di Renakta dilakukan bersama dengan anggota KPAI yang mendampingi.
Di waktu yang berdekatan, puluhan anak juga ditangkap dan dibawa ke Polres Jakarta Barat pada hari yang sama.
Koreksi telah berupaya untuk menjangkau keluarga ABH melalui LBH Jakarta. Namun pihak keluarga menolak permohonan wawancara karena masih merasa trauma untuk mendiskusikan hal ini.

Ilustrasi pelajar. Foto: Federasi Pelajar
Sweeping Pelajar
Sejak 2020, polisi sudah melakukan upaya sweeping terhadap pelajar yang ikut serta dalam demonstrasi. Menurut LBH Jakarta, keterlibatan pelajar dalam demonstrasi sudah cukup tinggi. Pada 2019 sendiri sekitar ratusan anak ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Begitu pun pada demonstrasi besar lainnya pada 2020 dan 2022.
Namun, Kepala Unit 3 Keamanan Negara Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Kompol Richardo Hutasoit tidak sepakat menyebut tindakan polisi sebagai sweeping pelajar. Kepolisian melakukan langkah preventif jika menemukan sekelompok anak dengan atribut sekolah. Menurut dia, kepolisian akan mengedepankan komunikasi dan memberi peringatan.
“Jadi bukan kita sweeping dalam konteks, terus kemudian mengamankan mereka itu kita berikan peringatan,” ucap dia kepada Koreksi saat ditemui pada Januari lalu (23/01/25).
Tindak kepolisian itu disebut memiliki landasan. Richardo menyebut bahwa undang-undang telah mengatur orang yang menyampaikan pendapat adalah orang dewasa. Sehingga, kata dia, secara tidak langsung jika dilakukan oleh anak menjadi suatu larangan.
Dia menambahkan bahwa penangkapan pelajar adalah hasil indikasi aksi yang tidak patut oleh petugas. Sebagai contoh, polisi bisa mengidentifikasikan anak akan ikut demonstrasi jika sudah menggunakan atribut demonstrasi.
“Kalau hanya anak melintas nggak jadi dilarang juga kalau tidak membawa atribut. Jadi tidak serta merta langsung diamankan,” imbuhnya.
Namun menyampaikan pendapat tidak sepenuhnya dilarang menurut Richardo. Anak bisa menyampaikan orasi atau pendapat di muka jika berkaitan dengan kondisi anak.
“Tetapi kalau kemudian pelajar ini yang anak SMA kebawah itu bergabung atau ikutan orasi menyangkut politik itu pasti dilarang,” ujarnya.
Peliputan ini merupakan bagian dari program fellowship Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang didukung oleh INKLUSI dan IPPF.