Koreksi, Jakarta– Angganis terkejut saat melihat laman p40p.jakarta.co.id, pasalnya bukan informasi pencairan yang ia dapat, tapi sebuah notifikasi beasiswa Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) miliknya telah dicabut. Tubuhnya lemas melihat hal itu, kebingungan memenuhi kepala Angganis pada Rabu malam (26/6) itu. Esoknya, Angganis menyambangi Dinas Sosial (Dinsos) Duri Kosambi, Jakarta Barat. Namun, Dinsos hanya memberi jawaban data alamat milik Angganis tidak sesuai. Sehingga ia dilempar ke Dinsos Srengseng, Jakarta Barat.
“Jadi dulu ngontrak di Srengseng tapi masalahnya itu sudah sangat lama sejak daftar KJMU itu alamat sudah di Duri Kosambi. Padahal saya masih terdaftar di data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS),” katanya kepada Koreksi pada sambungan telepon Sabtu (3/8).
Tak menyerah, Angganis pun pergi ke Dinsos Srengseng pada Jumat (28/6), namun dirinya hanya menemukan kekecewaan. Kepala Dinas Sosial tidak dapat ditemui, bahkan pegawai Dinsos pun tak nampak batang hidungnya. Hingga seorang resepsionis merekomendasikan Angganis untuk kembali ke sekolahnya.
Nahas, pegawai tata usaha sekolah pun tak bisa menjawab Angganis. Ia disarankan mengadu ke Pusat Pelayanan Pendanaan Personal dan Operasional Pendidikan (P4OP), kantornya berada di Jatinegara. Namun saat sampai di tempat, Angganis kehabisan nomor antrian.
“Kata pegawai sana kalau jam 2 siang sudah habis nomor antrian, karena cuma melayani 250 orang per hari. Biasanya orang datang jam 2 pagi untuk ambil nomor antrian,” katanya menirukan pegawai P4OP.
Meski sedikit kesal, Angganis pun menyanggupi untuk datang pagi buta. Ia bersama ayahnya tiba hari Selasa (9/7) pukul 4 pagi di P4OP. Dirinya mendapatkan antrean nomor 9, sekira 4 jam ia bersama ayahnya menunggu sampai kantor dibuka. Sayangnya, usaha Angganis kembali nihil. P4OP berkilah perihal perpindahan rumah itu diluar kuasa mereka. Dirinya kembali dilempar ke Dinsos Srengseng.
“Padahal dari awal daftar KJMU saya sudah pindah kartu keluarga,” ucapnya.
Merasa lelah dengan birokrasi Pemda. Angganis pun memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Mahasiswa Pendidikan Geografi mengaku tidak mungkin bisa membayar uang kuliahnya yang mencapai Rp4,5 juta. Ayahnya hanya seorang satpam yang sambil bekerja ojek online. Penghasilannya tidak lebih dari upah minimum di Jakarta. Sementara, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga.
“Kalau kuliah tatap muka mungkin 20 sampai 30 ribu untuk ongkos dan makan. Sementara seminggu bisa dua sampai tiga kali ke kampus,” ucapnya.
KJMU menjadi penopang bagi uang kuliah dan ongkosnya untuk sehari-hari. Belum lagi orang tuanya masih punya tanggungan adik Angganis yang berada di jenjang SD.
“Ya, selesaikan kuliahnya, nanti tahun depan coba daftar lagi, soalnya KJMU maksimal semester 4,” ungkapnya.
Tidak jauh berbeda, Juan Permana mahasiswa Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta juga terancam gagal membayar uang kuliah. Pasalnya, ia berpotensi membayar Rp13 juta untuk semester ini dan semester selanjutnya.
“Jadi karena KJMU gak turun kemarin, semester 6 lalu itu saya masih masuk tunggakan, sementara semester ke depan itu juga waktunya sebulan lagi,” ungkapnya.Ia pun kelimpungan dalam waktu yang pendek harus membayar ganda UKT-nya. Golongan UKT Juan termasuk ke golongan Rp6 atau Rp6,5 juta. Ia pun bingung, ibunya hanya berpendapatan setara upah minimum regional (UMR). Seorang adiknya baru masuk kuliah juga.Mahasiswa semester 6 itu tinggal bersama ibu, tiga adik, dan seorang nenek. Ibunya adalah tulang punggung keluarga. Di sebuah kontrakan di bilangan Pejaten, Juan harus mengurus dua adiknya yang masih kecil. Sementara ibunya bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta.
“Jadi ibu tuh meski UMR tapi pas-pasan banget, adik kuliahnya 4,3 juta per semester, kontrakan per bulan sekitar 3 jutaan,” ungkapnya pada Senin (5/8) Beasiswa KJMU sejak semester 3 membantu Juan melanjutkan asanya untuk tetap berkuliah.
Ia pun menjalani perkuliahan dengan tekun, pekerjaan menjadi pelatih basket juga ia jalani sungguh-sungguh. Namun, akhir Juni lalu beasiswanya secara sepihak dibatalkan. Juan mengatakan kemungkinan alasannya karena tahun 2022 dirinya pindah kontrakan dari daerah Pancoran ke Pejaten. Ia pun menyesalkan sikap verifikator yang tidak pernah konfirmasi ke dirinya maupun ibunya.
“Saya dan ibu sudah ke dinas, atau P4OP tapi jawabannya hanya berputar-putar.”
“Saya semester ini hitungannya bayar Rp13 juta, untuk semester sebelumnya yang dibatalkan KJMU dan semester nanti yang sudah dibuka Agustus ini,” lanjutnya.

Respons Pemprov Jakarta
Kepala Pusat Pelayanan Pendanaan Personal dan Operasional Pendidikan (P4OP) Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Waluyo Hadi berdalih sejak awal program KJMU bersifat bantuan sosial. Sehingga tiap enam bulan harus dilakukan daftar ulang kelayakan. “Bansos diberikan secara selektif dan tidak terus menerus,” ungkapnya pada Rabu (7/8).
Ia mengklaim penarikan KJMU dapat terjadi karena beberapa faktor. Termasuk memiliki mobil, tidak terdaftar DTKS, hingga memiliki nilai di bawah 3 untuk jurusan sosial dan 2,75 untuk eksakta. Waluyo juga mengatakan bagi mereka yang merasa layak namun dibatalkan dapat mengajukan sanggah ke akun KJMU. Saat ini pun sedang dilakukan verifikasi ulang oleh tim pengampu data.
“Bila sanggahan diterima, dapat kembali mendaftar KJMU Tahap II Tahun 2024 pada bulan September 2024,” ucapnya.
Dari temuan Koreksi.org, anggaran KJMU tahun 2024 dipangkas hampir setengahnya. Dari sebelumnya mencapai Rp323,892 miliar menjadi Rp171,378 miliar. Pada rentang 2020 hingga 2023 anggarannya meningkat hingga 70 persen. Hal tersebut selaras dengan kenaikan eksponen dari jumlah penerima KJMU. Bahkan di akhir tahun 2023 jumlahnya hampir menyentuh 20 ribu mahasiswa.
Angka tersebut membawa KJMU menjadi beasiswa daerah yang paling banyak penerimanya. Namun, angka tersebut anjlok menjadi 14.688 mahasiswa pada tahap 1 2024.Pendamping korban pembatalan KJMU di UNJ, Alfarabi mengatakan pencabutan KJMU di tengah studi merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Ketua Umum Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA) itu menilai pencabutan dapat memupuskan harapan mereka untuk berkuliah.
“Kalau KJMU bisa dicabut semena-mena lebih baik dari awal tidak diberi, kalau sudah begini kan mereka jadi bingung bagaimana melanjutkan kuliahnya,” ujarnya pada Kamis (8/8).

Di UNJ, SPORA telah mengumpulkan lebih dari seratus mahasiswa korban pembatalan. Saat ini, Albi bersama SPORA dan mahasiswa terdampak lainnya berusaha melakukan pendataan guna pengajuan keringanan UKT.
“Paling penting mereka harus lanjut kuliahnya, apalagi di UNJ. Jangan sampai ada lagi kasus drop out.”“Karena kita percaya pendidikan tinggi adalah hak bagi semua kalangan,” sambungnya.
Penulis: Izam Komaruzaman