Koreksi,Jakarta- Kepala Divisi Hukum KontraS Andrie Yunus mengatakan RUU Polri berpotensi membuat kewenangan institusi kepolisian menjadi ‘superbody’ atau lembaga super. Sebab dalam RUU tersebut kewenangan Polri ditambah mulai dari intelijen hingga kooptasi aparat penegak hukum lain. Contohnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di institusi lain yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus berkoordinasi dengan Polri. Antara lain PPNS pada Kementerian Perhubungan atau Dinas Perhubungan di tingkat Provinsi, PPNS pada Kementerian Kehutanan, PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Nah, itu semua akan dikoordinasikan melalui penyidik melalui penyidik Polri. Menurut hemat kami penambahan kewenangan tersebut dimungkinkan atau berpotensi akan banyak terjadi penyalahgunaan wewenang atau abuse of power,” kata Andrie, Selasa (6/8/2024).
Andrie menambahkan penyidik kepolisian telah banyak melakukan pelanggaran dengan kewenangan yang ada sekarang. Karena itu, ia memperkirakan pelanggaran kan terjadi lebih banyak jika kewenangan polisi bertambah.”Contohnya di kasus penganiayaan AM ini. Belum lagi kalau ditambah kewenangan melalui RUU Polri itu sudah sangat habis ‘over power’,” katanya.
Kasus penyiksaan AM tersebut diduga dilakukan penyidik Dit Samapta Polda Sumbar pada 9 Juni 2024, sehingga menyebabkan satu orang korban anak meninggal dan 17 korban lainnya mengalami luka-luka.Andrie melihat, penyidik kepolisian sekarang ini rentan menggunakan cara-cara kekerasan, termasuk penyiksaan.
“Jadi satu sisi, Polri ini ingin jadi institusi ‘superbody’, tapi di internal mereka sendiri tidak cukup mampu memberikan pembenahan ke dalam institusinya,” terang dia.
Kasus penyiksaan AM, bukan pertama kali terjadi. Baik dari pola, alat maupun tindakan. “Bahkan mungkin kasus penyiksaan oleh penyidik kepolisian seperti ini kesekian ribu kali yang terjadi di Indonesia,” katanya.
Berbagai catatan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara telah memotret bagaimana institusi Polri telah menjadi ‘aktor pemegang monopoli’ kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga praktik-praktik korupsi.Rentang 2020–2024, KontraS telah menghimpun praktik-praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia.
Sepanjang Juli 2020-Juni 2021 setidaknya terdapat 651 kasus. Juli 2021-Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022-Juni 2023 mencapai 622 kasus.
Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, berdasarkan pemantauan KontraS, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.
Sepanjang 2019, YLBHI mencatat terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI mencatat setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.
Persoalannya, lanjut Andie, meskipun dengan angka kasus yang cukup tinggi setiap tahunnya, pola serupa tersebut tidak ada pembenahan secara signifikan. Hal itu diperparah mekanisme pengawasan eksternal, dalam hal ini menjadi kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak maksimal.
“Substansi permasalahan tersebut tidak dibahas secara komprehensif guna mengawasi internal kepolisian. Jadi ngin nambah kewenangan, tapi controlling dan pengawasan oleh lembaga pengawas eksternal tidak diperkuat dalam RUU Polri.”
Menurutnya, hal ini akan semakin menguatkan potensi bahwa ke depan, kepolisian akan memiliki kewenangan besar. Tetapi tanpa atau minim pengawasan dari lembaga pengawas eksternal. Apabila kondisi itu dibiarkan, tentu akan sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.
“Kalau boleh kami sebut, ini di ujung nadir. Maksudnya di ujung nadir, Polri ini belum selesai dengan persoalan internal. Mereka masih ada kultur kekerasan di sana. Masih ada kultur impunitas, tidak ada penghukuman bagi pelaku-pelaku kejahatan pelanggaran HAM,” imbuhnya.
Begitu melihat RUU Polri, kepolisian ini ingin menjadi institusi besar yang memiliki segala macam kewenangan. “Ini kan tidak sejalan dengan mandat pemisahan Polri dan TNI yang saat itu super power di era orde baru. Seharusnya ke depan kepolisian itu berwatak sipil,” ujarnya.
Artinya, kepolisian tidak boleh menggunakan lagi pola-pola kekerasan dalam metode proses hukum. “Baik proses penyelidikan maupun penyidikan harus berbasis scientific crime investigation (SCI) atau investigasi berbasis ilmiah. Kenapa saya bilang di ujung nadir, karena institusi Polri ini telah melenceng,” katanya.
Maksud dan tujuan pemisahan TNI dan Polri salah satunya agar tidak ada “abuse of power” akibat kewenangan berlebih yang berpotensi besar menggunakan cara kekerasan. “Tapi yang terjadi saat ini justru itu kekerasan terus terjadi,” katanya.
Dalam kerangka profesionalisme, anggota kepolisian tidak diperbolehkan mengikuti bisnis. Apalagi bisnis itu ilegal. “Itu bertentangan dengan mandat Undang-Undang Kepolisian Tahun 2002, karena tugas pokok dan fungsi polri adalah menegakkan hukum, hingga mengayomi masyarakat.
Maka Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian mendorong adanya pengusutan secara tuntas terkait kasus-kasus penyiksaan dan kekerasan, terlebih pelakunya melibatkan anggota Polri.
“Jangan berhenti dalam proses peradilan etik, tapi juga dilanjutkan seret ke pengadilan. Para terduga anggota polisi yang melakukan penyiksaan ini harus mempertanggungjawabkan hukum pidana,” terangnya.
Anggota polisi apabila memang terbukti melakukan tindak kekerasan dan penyiksaan harus diganjar menggunakan hukum pidana. “Kami menekankan soal penggunaan scientific crime investigation atau investigasi berbasiskan ilmiah. Polri harus meninggalkan cara-cara usang seperti melakukan penyiksaan untuk menggali keterangan orang yang diduga melakukan tindak pidana. Itu harus ditinggalkan,” katanya.
Saat ini, penyelidikan maupun penyidikan dalam proses hukum harus dengan bukti bukti ilmiah. Begitu banyak wewenang dan anggaran Polri yang diberikan misal pengadaan ahli IT, ahli forensik, dan lain-lain. “Seharusnya untuk melakukan investigasi secara ilmiah guna membuktikan suatu tindak pidana,” katanya.
Terakhir, catatan terkait pengawasan eksternal kepolisian harus diperkuat. Sebab, di internal kepolisian sendiri kerap menjadi ruang impunitas terhadap anggota polisi yang melakukan penyiksaan atau kekerasan.
“Ketika ada polisi melanggar, kemudian membuat laporan ke bidang Propam. Yang mana itu internal Polri. Misalnya, pangkat pejabat Propam Polda itu kombes, sedangkan Kapolda itu bintang dua atau Irjen. Ketika Kapolda melakukan pelanggaran, mana mungkin ada proses penegakan secara etik?” katanya.
Hal seperti itu menurutnya harus dibahas secara komprehensif dan terbuka dengan masukan dari publik. Bukan sebaliknya prosesnya tertutup dan tidak melibatkan masyarakat sipil.
“Ini pula yang mengakibatkan negara ugal-ugalan dalam melakukan legislasi terhadap RUU Polri. Kritik dan saran tidak mendapat respons. Ini akan sangat berbahaya bagi negara yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi,” katanya.
Penulis: Abdul Mughis