Koreksi, Yogyakarta– Meila Nurul Fajriah, satu dari ratusan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Yogyakarta yang bergerak secara sukarela untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat tertindas dan kelompok minoritas. Berbagai situasi ancaman kerap dialami. Terakhir, Meila mendampingi 30 penyintas kekerasan seksual di Yogyakarta. Namun niat baik Meila untuk turut memperjuangkan hak penyintas justru berujung ancaman dijebloskan jeruji besi.Ia sempat ditetapkan tersangka atas tudingan pencemaran nama baik setelah sebelumnya dipolisikan oleh pihak terduga pelaku di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Meila sendiri tidak menyangka sebelumnya jika kerja advokasi atau pendampingan terhadap para penyintas kekerasan seksual itu bakal dipidanakan.
“Waktu itu, kami tidak berekspektasi ada serangan balik,” kata Meila saat diwawancarai oleh Koreksi, Kamis (8/8/2024).
Aktivitas Meila dan kawan-kawan berada di bawah naungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Setiap pendampingan permasalahan hukum di masyarakat bersifat pro bono (pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya).
“Kami bekerja atas dasar kerja-kerja advokat, berlindung di bawah Undang-Undang (UU) Advokat dan bantuan hukum. Apalagi waktu itu belum ada Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Jadi waktu, kami tidak ada bayangan kalau nanti dilaporkan,” kata kata perempuan kelahiran Jambi, lulusan S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) 2019 ini.
Meila bercerita mengenai seluk beluk saat melakukan pendampingan kasus kekerasan seksual mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) ini. Tantangan terberat, kasus kekerasan seksual terjadi saat transisi pandemi Covid-19 pada 2020.
“Saat itu, tidak bisa komunikasi tatap muka. Situasi mengubah segala bentuk komunikasi. Kami berpikir agar bagaimana caranya agar bisa tetap melayani aduan,” kata aktivis pengagum Pramoedya Ananta Toer ini.
Peran Kanal OnlineSemula, LBH Yogyakarta menerima laporan secara langsung di kantor. Namun sejak masa pandemi Covid-19 kemudian berubah menjadi layanan online.
“Baik menggunakan ponsel, email, instagram, dan platform lainnya. Awalnya, hanya satu orang pelapor. Tiba-tiba ada banyak sekali aduan kasus kekerasan seksual melaui kanal layanan aduan tersebut,” katanya.
Dalam layanan kasus ini, LBH Yogyakarta tidak sendiri. Sedikitnya ada tiga kanal aduan online, yakni akun LBH Yogyakarta, akun UII Bergerak (@uiibergerak), akun Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII), dan akun instagram personal @fasyateixeira.
“Tapi kemudian kami sepakat semua aduan itu diintegrasikan menjadi satu di LBH Yogyakarta. Tujuannya supaya pendampingan hukumnya terdaftar,” terang pengacara yang juga pernah berkecimpung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Keadilan saat menempuh S1 di Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Dari layanan aduan online ini mencuat hingga 30 lebih korban kekerasan seksual.
“Sebenarnya lebih dari 30 orang. Tetapi yang terdata 30 orang pelapor. Kami sadar, bahwa kerahasiaan para korban ini harus kami jaga sepenuhnya,” katanya.
Melindungi Data KorbanAduan tersebut dilakukan secara formal. Pengadu diminta untuk mengisi formulir pengaduan dan bantuan hukum yang diisi dan ditandatangai oleh semua korban. Untuk menjaga data dengan baik, maka data penanganan kasus hanya diakses tim yang menangani kasus yang berjumlah lima orang dan direktur.
“Bahkan di internal kantor LBH pun tidak ada yang bisa mengakses data tersebut. Kami sangat melindungi data korban,” katanya.
Sesuai kesepakatan, lanjut Meila, ditentukan bahwa yang bisa berkomunikasi dengan para penyintas hanya satu orang. Tujuannya untuk menjaga dan melindungi keamanan, kerahasiaan dan privasi penyintas.”Kebetulan saya sendiri yang mendapat kepercayaan untuk berkomunikasi dengan para penyintas. Memang cukup melelahkan, karena komunikasi satu per satu dengan 30 korban,” katanya.
Dari 30 penyintas itu hanya beberapa orang saja yang bisa dan bersedia bertemu langsung, karena berada di wilayah Yogyakarta. Selebihnya berkomunikasi secara online.
“Yang menyulitkan, rentang waktu kejadian kasus dengan pelaporan cukup lama, yakni kejadiannya sejak 2016, baru dilaporkan 2020. Sehingga orang-orang yang berkaitan ada yang sudah pindah domisili, luar kota hingga luar negeri,” katanya.
Ia menjelaskan tantangan mendampingi kasus yang sudah viral terlebih dahulu yaitu memiliki tekanan publik yang tinggi. Itu terlihat dari orang yang ingin mencari tahu kasus atau perkembangan kasus.
“Atas pertimbangan itulah, kami menggelar siaran pers itu. Karena banyaknya desakan dan pertanyaan dari publik. Tujuannya agar tidak perlu menjawab satu per satu,” ujarnya.
Namun, kegiatan siaran pers itulah yang dijadikan celah pelaporan pencemaran nama baik oleh terduga pelaku. Kegiatan siaran pers tersebut dipublikasikan di akun LBH Yogyakarta. Kapasitas Meila mewakili lembaga.
“Saya hanya membacakan siaran pers. Kami sadar, potensi serangan pasti ada. Tapi konteksnya diserang melalui medsos secara personal. Saya tidak pernah berpikiran akan diserang lewat jalur hukum,” ungkapnya.
Namun proses hukum pencemaran nama baik ini menggantung selama empat tahun. Tim LBH Yogyakarta intens berkomunikasi dengan penyidik Polda Yogyakarta.
“Bahkan penyidik sendiri sempat dilaporkan ke Propam oleh pelapor. Kami membaca ada desakan besar oleh pelapor sehingga empat tahun kemudian ada penetapan tersangka,” kata aktivis HAM yang saat ini mengaku sedang gemar membaca Buku ‘How Democracies Die’ karya dua ilmuwan politik terkemuka, profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt ini.
Penegak Hukum Perlu Paham UU TPKSDirektur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya mengakui perjalanan kasus ini cukup panjang, yakni selama empat tahun. Tentu mengalami banyak dinamika dalam perjalanan, baik kasus penanganan kasus kekerasan seksual terhadap 30 korban maupun kasus penetapan tersangka Meila selaku pendamping korban.
“Sebelum hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) atau sebelum 2022, memang penanganan kasus kekerasan seksual banyak sekali tantangannya. Negara belum bisa hadir atau sadar, karena negara belum bisa menghadirkan kebijakan yang responsif dan lebih ramah dalam menjawab tantangan penanganan kasus,” katanya.
Sehingga kasus-kasus kekerasan seksual sebelum 2022 mengalami kekosongan hukum. Kasus-kasus pelecehan seksual masih gamang untuk ditangani dalam konteks penegakan hukum.
“Di tengah kekosongan hukum ini jumlah kasus kekerasan seksual semakin banyak. Sejak 2016 hingga sekarang, kami menangani puluhan kasus. Penanganan kekerasan seksual ini sangat sulit,” katanya.
Selain tu, iamenilai hadirnya UU TPKS pada 2022, bukan berarti permasalahan selesai. Aturan ini dibutuhkan akselerasi agar lebih responsif dan dipahami oleh penegak hukum.
“Sebab, penanganan kasus kekerasan seksual ini sangat berbeda dengan penanganan kasus pidana umum biasa,” katanya.
Terutama, kata dia, dalam proses pembuktian karena kasus kekerasan seksual Sebagian besar terjadi di ruang privat. Misalnya di ruang kos, biasanya korban sangat kecil kemungkinan memiliki bukti dokumentasi.
“Apalagi menyimpan barang bukti, dia mengingat kejadian itu saja sudah trauma,” ujarnya.
Keberanian Penyintas untuk Speak UpJulian juga menilai korban yang berani bersuara (speak up) merupakan keberanian yang luar biasa bagi seorang penyintas.
“Kami sebagai advokat memang dihadapkan dengan tantangan untuk mengumpulkan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi kekerasan seksual,” katanya.
Dalam konteks konsultasi, LBH Yogyakarta tidak bisa memaksa seorang penyintas untuk bercerita atau menjawab suatu pertanyaan. Mereka berupaya tidak menanyakan hal-hal yang mungkin bisa membuat trauma psikologis pada penyintas.
“Sehingga saat mereka konsultasi, kami membiarkan mereka bercerita terlebih dahulu.”
Dukungan Publik Julia menilai keberhasilan penanganan kasus kekerasan seksual butuh dukungan publik. Hal ini seperti kasus Meila ini mendapat dukungan publik secara luas.
“Tentu saja ini sangat mempengaruhi dan mendorong pihak penyidik kepolisian untuk kembali meninjau ulang,” katanya.
Akhirnya penyidik menemukan novum atau bukti baru yang kemudian menjadi dasar pertimbangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Meila pada Selasa, 6 Agustus 2024.
“Ini perjalanan awal dan menjadi pengalaman dalam sejarah penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Harapannya di kemudian hari tidak terjadi lagi kasus pendamping korban malah dipidanakan,” katanya.
Penulis: Abdul Mughis