Koreksi, Jakarta- Panas terik matahari Selasa (06/08/24) siang di depan gedung Mahkamah Agung (MA) RI di seberang Monumen Nasional terasa menyengat. Polusi suara dari lalu lintas kendaraan juga tidak membuat keadaan lebih nyaman bagi siapa pun di bawah terik matahari.
Hal itu dirasakan oleh warga Dairi, Sumatera Utara yang menggelar demonstrasi di Mahkamah Agung bersama perwakilan solidaritas dari masyarakat sipil pada hari itu. Mereka memperjuangkan penolakan terhadap perusahaan tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM). Mereka telah mendatangi gedung lembaga yudisial tertinggi itu sejak sekitar pukul 10.00 WIB pagi hingga sekitar pukul 14.00 WIB setelah melakukan audiensi dengan MA.
Warga yang menolak kehadiran tambang merupakan bagian dari 11 desa terdampak di Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi. Perkembangan paling barunya adalah upaya PT DPM untuk membangun bendungan penyimpanan tailing atau limbah tambang di Kampung Sopokomil. Secara permukaan, kantor PT DPM terletak di Pandiangan, Kabupaten Dairi. Sedangkan operasi tambang terjadi di bawah tanah yang mencakup daerah konsesi.
Bagi warga Dairi, penolakan tambang adalah upaya bertahan hidup. Salah satu warga, Norenta Parhusip, seorang warga desa Laemar Kelang, percaya bahwa tanahnya adalah warisan leluhur dan hak generasi selanjutnya sehingga menjadi tugasnya untuk menjaga.
Masalahnya, hasil panen tidak lagi seperti dulu. Norenta merasa kebun duriannya tidak lagi melimpah. Selain kebun durian, Norenta juga menanam kopi robusta Dairi, cabai, jagung, padi, dan lainnya. Biasanya dulu ia bisa memanen hingga 10 karung kopi, sedangkan saat ini hasilnya tidak sampai dua karung.
Ketika bicara soal kesejahteraan dengan pendapatan bulanan, ia tersenyum getir. Umumnya dalam sebulan bisa mendapatkan tiga juta rupiah, tertolong dengan suami Norenta yang mengumpulkan aren. Sebelumnya, petani seperti dia bisa mengantongi hasil hingga lima juta rupiah.
Secara permukaan memang operasi tambang tidak bersentuhan atau cukup jauh dengan rumah Norenta. Tapi konsesi tanahnya mencakup lingkungannya, ia menduga karena operasi tambang di bawah tanah.
Sama seperti Norenta, Barisman Hasugian, salah satu penuntut, juga seorang petani. Ia percaya tanahnya merupakan sumber penghasilan utama hingga bisa membuat kelima anaknya menjadi sarjana.
“Durian kami, petai, banyak tanaman keras kami bisa mati sendiri,” katanya. Ia yakin bahwa operasi tambang menyebabkan perubahan produktivitas lahan tani dan kebun.
Semenjak ada perusahaan tambang ini, Barisman yakin penurunan produksi mencapai lima puluh persen. Ia juga menyebut bahwa warga mulai beralih ke tanaman jagung karena padi tidak lagi bisa seperti dulu.
Ancaman bencana alam terasa oleh warga Dairi, terutama pada tahun 2018, ketika banjir bandang terjadi. Kejadian naas itu merenggut nyawa tujuh orang dan dua orang lainnya belum ditemukan. “Kami selalu ketakutan jika datang petir karena mengingat yang sudah terjadi,” tuturnya dalam konferensi pers di gedung Yayasan Bantuan Hukum Indonesia pada Senin (05/08) lalu.
Barisman juga menyebut warga telah menuntut upaya pemerintah untuk mendukung perbaikan lahan pertanian. Namun sampai saat ini, janji tersebut masih ditunggu warga Dairi.
Tidak hanya itu, warga pun juga mengeluhkan kebocoran limbah pada tahun 2012. Kejadian ini mengakibatkan matinya ikan mas yang dipelihara di persawahan.
Jalan panjang perjuangan warga di meja hijau
Di Dairi PT DPM merupakan perusahaan penambangan seng dan timbal. Berdasarkan profil perusahaan dari website perusahaan, PT DPM memegang kontrak karya dengan pemerintah sejak 18 Februari 1998 dan pertama kali melakukan pengeboran pada tahun 1997.
Secara kepemilikan, PT. DPM merupakan hasil patungan PT. Bumi Resources Minerals Tbk (BRM) dengan 49 persen saham dan China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering & Construction Co. Ltd (“NFC China”) dengan 51 persen saham
Perusahaan ini mengejar deposit seng di Sumatera Utara yang dikenal dengan situs Anjing Hitam dan Lae Jahe. Perusahaan ini memasarkan pertambangan ini sebagai lokasi strategis karena merupakan salah satu deposit seng dengan kadar tertinggi di dunia.
Sedangkan masyarakat setempat mempermasalahkan keberadaan tambang karena potensi bahaya. Sehingga upaya ranah hukum telah dilakukan. Warga Dairi didampingi oleh kuasa hukum dari sekretariat bersama tolak tambang dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU).
Pada tahun 2022, warga sempat mengajukan permohonan keterbukaan informasi publik ke Komisi Informasi Publik (KIP). Warga menuntut keterbukaan kontrak karya PT DPM. Judianto Simanjuntak, salah satu kuasa hukum, menjelaskan bahwa proses pengajuan keterbukaan informasi publik ini berlangsung tahun 2022. Tuntutan warga dikabulkan PTUN Jakarta, dan Kementerian ESDM melakukan kasasi.
Pihak warga berargumen bahwa kontrak karya perusahaan ini merupakan hak publik. Judianto menyebut bahwa hak masyarakat terhadap keterbukaan informasi ini juga diamini oleh KIP. Ujungnya, keputusan PTUN untuk membuka kontrak karya DPM dibatalkan. Kuasa hukum mengambil langkah peninjauan kembali, namun belum ada keputusannya
Upaya warga tidak berhenti di kontrak karya perusahaan saja. Proses hukum warga selanjutnya menyasar surat putusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bernomor Nomor: SK.854/MENLHK/SETJEN/PLA.4/8/2022 tentang kelayakan lingkungan hidup PT Dairi Prima Mineral.
Tuntutan warga terdaftar dengan nomor perkara 59/G/LH/2023/PTUN.JKT, didaftarkan pada 14 Februari 2023. Putusannya dibacakan pada Juli 2023. PTUN memenuhi seluruh tuntutan warga. Kuasa hukum menilai bahwa daerah Dairi merupakan daerah rawan bencana. Menurutnya, hal tersebut juga diamini oleh Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Dairi.
Judianto menambahkan bahwa tuntutan warga didukung pula oleh peraturan daerah yang menegaskan larangan alih fungsi tanah Dairi. “Makin digosok, penggalian-penggalian makin berbahaya, menyangkut keselamatan publik. Jangan sampai seperti Lapindo kedua,” tuturnya.
Dalam perkembangannya, KLHK dan DPM mengajukan banding ke PTTUN Jakarta. Majelis hakim PTTUN memenangkan pemerintah dan perusahaan tambang itu dengan membatalkan putusan PTUN melalui putusan nomor 265/B/LH/2023/PT.TUN.JKT, tanggal 22 November 2023.
Merespon hal ini, warga Dairi menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung pada Desember 2023 dengan nomor perkara 277K/TUN/LH/2024. Pada demonstrasi Selasa (06/08/24) lalu, perwakilan massa aksi diterima masuk audiensi.
Judianto menceritakan bahwa pihak Mahkamah Agung menilai perkara masyarakat Dairi akan diputuskan dalam 90-120 hari sejak terdaftar pada 29 April 2024. Menurutnya, perkara ini menjadi perhatian Mahkamah Agung karena perhatian masyarakat. Banyak masyarakat yang prihatin, imbuhnya.
Penulis: Faisal Bachri