Koreksi, JAKARTA – Munculnya Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang merupakan inisiatif DPR RI, menyimpan sederet kejanggalan. Berbagai elemen masyarakat sipil mempertanyakan apa yang sedang terjadi di institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
RUU tersebut ditengarai memuat pasal-pasal bermasalah yang menyimpan misi terselubung untuk menjadikan Polri sebagai institusi “superbody”. Salah satunya dengan memasukkan perluasan kewenangan secara ugal-ugalan. Muhamad Isnur, perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Reform for Police) dengan tegas menolak RUU Polri ini.
“Berbagai kejanggalan di antaranya, RUU Polri ini tidak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024,” katanya, Senin (19/8/2024).
Dia mempertanyakan pelibatan publik dalam pembahasan RUU ini. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Tapi mengapa RUU Polri ini tidak ada pelibatan atau partisipasi publik dalam proses pengusulan dan pengujian Naskah Akademik dan draft awal?” ujar pria yang juga menjabat Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.
Termasuk pembuatan naskah akademik dan draft RUU Polri ini tidak mempertimbangkan aspek masukan dan catatan berbagai lembaga selama ini. Serta draf menjadi tidak sesuai dengan kerangka permasalahan dalam naskah akademik.
“Mengapa pembahasan dilakukan di ujung periode, dalam waktu yang sempit dan juga banyak Prolegnas yang belum dikerjakan?” ujarnya mempertanyakan.
Dia mengaku telah membedah dan menganalisis pasal-pasal bermasalah yang termuat di dalam RUU Polri tersebut. Sedikitnya, terdapat 13 poin yang menjadi catatan.
1. Pasal Perluasan dan Konflik Kewenangan (Overlapping)
Pasal 14 ayat (1) huruf d: “Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan”.Pasal 14 ayat (1) huruf e: “Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.”
Dikatakannya, pasal ini menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional. Menurutnya, ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
“Lembaga yang merupakan penegak hukum, turut serta untuk ikut membina hukum nasional? Bukankah semestinya Polri yang dibina secara hukum?” ujarnya.
Pasal 14 ayat (1) huruf p: “Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”Isnur melihat, nomenklatur “melaksanakan tugas lain” ini membuka ruang untuk memperluas kewenangan atau tugas tambahan Polri.
“Bahkan melampaui di luar tugas utama kepolisian,” terangnya.
Pasal 14 ayat (1) huruf l: “Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.”
Muatan dalam pasal tersebut juga membuka ruang untuk memperluas kewenangan atau tugas tambahan Polri, bahkan melampaui di luar tugas utamanya.
“Ini akan menjadikan Polri sebagai institusi ‘superbody’. Lembaga yang bisa melakukan apapun. Hal ini berpotensi memicu konflik kewenangan dengan berbagai institusi atau lembaga-lembaga lainnya,” beber dia.
Pada Pasal 14 ayat (1) huruf n: “Memberikan bantuan dan pelindungan serta kegiatan lainnya demi kepentingan nasional.”Pasal 14 ayat (1) huruf m: “Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas Kepolisian.”
“Dalam pasal ini juga membuka ruang multitafsir yang besar. Karena tidak dijelaskan ruang lingkup dan batasannya,” kata dia.
Isnur mengidentifikasi, tugas kepolisian awalnya ada 11 tugas, di RUU ini diperluas menjadi 16 tugas. “Tugas Polri yang sangat luas ini sangat berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan,” imbuhnya.
2.Membuka Ruang Polri Melakukan Tindakan Apapun Tanpa Proses Hukum
Selanjutnya, Pasal 16 ayat (1) huruf q yang berbunyi; “Melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”
“Pasal ini memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Isnur, kewenangan atas ruang siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
“Sepanjang sejarahnya, tindakan-tindakan memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil,” katanya.
Kasus pemutusan akses internet pernah terjadi pada 2019 di Papua dan Papua Barat. Tindakan tersebut menurut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
“Campur tangan Polri dalam membatasi ruang siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah,” tegasnya.
Selain berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara untuk memperoleh informasi, juga berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN).
“Revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tegasnya.
3. Mengancam Pihak Asing/Luar Negeri yang Bersolidaritas terhadap Kondisi Demokrasi dan HAM di Indonesia
Pasal 16 A huruf d: “Melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
“Pasal ini bisa menjadi ancaman bagi orang-orang asing yang menulis tentang kondisi HAM, demokrasi, situasi lingkungan hidup, dan berbagai bentuk penindasan di Indonesia. Termasuk jurnalis, aktivis, donor atau donatur, dan orang asing yang bersolidaritas ke Indonesia,” terangnya.
4. Perluasan Eksesif Kewenangan Intelkam dan Konflik Kewenangan
Sedangkan pada Pasal 16B Ayat (1) memuat tentang kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan dalam rangka tugas Intelkam Polri. Tugasnya meliputi permintaan bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lainnya, hingga pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi.
Hal itu dapat dilakukan terhadap sasaran sumber ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Termasuk ancaman dari orang yang sedang menjalani proses hukum, ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional meliputi: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya. Termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Juga terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional.
“Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah ‘Kepentingan dan Keamanan Nasional’ yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah. Bahkan siapa pun dinilai perlu diawasi karena dalih ‘gangguan keamanan’,” kata Isnur.
Selain itu, lanjutnya, terdapat kemungkinan Kepolisian menyimpangi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam implementasi pasal tersebut. Sebab, atas dalih “gangguan keamanan” untuk “kepentingan nasional” ini membuat Kepolisian memiliki kewenangan diskresi yang sangat luas.
“Perluasan kewenangan ini juga membuat Intelkam Polri berwenang meminta keterangan dari lembaga-lembaga termasuk kementerian dan termasuk memeriksa aliran dana. Kewenangan pemeriksaan aliran dana ini pun akan tumpang-tindih dengan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” katanya.
Menurutnya, ini sangat berbahaya bagi ruang gerak, suara kritis, dan independensi masyarakat sipil, karena dibenturkan dengan narasi ancaman terhadap kedaulatan, kepentingan nasional, dan ideologi.
“RUU ini memberi wewenang diskresi yang luas sekali. Sehingga memberi ceruk subjektivitas yang tinggi terhadap kepolisian,” katanya.
5. Perluasan Eksesif Kewenangan Intelkam dan Konflik
Masih terkait perluasan kewenangan, pada Pasal 16 A dalam rangka menyelenggarakan tugas Intelkam Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i, Polri berwenang untuk: a. menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam Polri sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional; b. melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen; c. mengumpulkan informasi dan bahan keterangan; dan d. melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Isnur menilai, melalui Pasal 16 A ini, RUU Polri akan memperluas kewenangan Intelkam Polri melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus intelijen.
“Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16 A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen,” ungkapnya.
Menurutnya, penggalangan intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan mengubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan.
“Artinya, Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS) dan meminta keterangan kepada Seluruh Kementerian,” kata dia.
Lebih lanjut, kata Isnur, RUU ini tidak membahas definisi maupun pasal penjelasan tentang penggalangan intelijen tersebut.
“Dalam praktiknya, banyak catatan seperti digunakan untuk cooling down demonstrasi mahasiswa, termasuk konflik kewenangan dengan BIN,” katanya.
6. Pasal Peluang Polri Berbisnis
Selanjutnya, pada Pasal 14 (1) huruf a: “Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.”
“Melalui pasal ini, Polri berpotensi melakukan penyalahgunaan untuk berbisnis, jasa penjagaan, pengawalan dan patroli,” ujarnya.
7. Peluang Polri Berbisnis dalam Smart City
Pasal 14 (2) huruf c: “Menyelenggaraan sistem kota cerdas (smart city) bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.”
“Polri turut menyelenggarakan sistem smart city adalah kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan. Ini memungkinkan Polri berbisnis dalam proyek kota cerdas,” katanya.
8. Pasal Superbody Penyidikan
Pasal 16 ayat (1) huruf n: “Memberikan rekomendasi pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang sebelum diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.”
“Tugas polri dalam bidang pidana berkembang dari 12 menjadi 20. Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK hingga pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup,” terangnya.
Pada tahap rekrutmen, lanjut dia, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil maupun penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Hal itu termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n Revisi UU Kepolisian.
“Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian,” katanya.
Tentu saja, hal ini akan mengakibatkan semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus. “Karena penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian,” ujarnya.
9. Pasal Superbody Penyidikan (2)
Pasal 16 ayat (1) huruf p: “Menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum.”
Pasal 14 ayat (1) huruf h: “Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
“Kepolisian menerima hasil penyelidikan maupun penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil maupun penyidik lainnya, untuk kemudian dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum,” terangnya.
Menurutnya, diberikannya kewenangan Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga lain dalam bidang penyidikan akan mengganggu independensi. “Tentu, ini mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang sebelumnya tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian,” katanya.
10. Rentan Penyalahgunaan Kewenangan Penyadapan
Pasal 14 ayat (1) huruf o: “Melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan.”
Isnur menjelaskan, kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaan karena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebut dilakukan dengan didasarkan pada Undang-Undang terkait penyadapan.
“Padahal di Indonesia hingga saat ini belum memiliki peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan,” kata dia.
Pada pasal ini, lanjutnya, kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lain seperti KPK.
“UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK. Sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan,” bebernya.
Dia menjelaskan, penyadapan hanya dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Bahkan Amnesty memiliki penelitian tentang pembelian instrusive spyware. Pembelinya adalah polisi dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
“Softwarenya import dari Luxemburg, Israel, melalui broker di Malaysia dan Indonesia. Spyware ini tidak hanya bisa menyadap, tetapi juga merusak jalur komunikasi,” ungkapnya.
Menurutnya, polisi telah melampaui wewenangnya di sini, terlebih apabila tidak ada atau belum ada pengaturannya.
“Jangan sampai spyware ini, jadi pre-emptive action untuk menyadap masyarakat sipil yang dianggap sebagai ancaman. Maka perlu ada pengaturan dan pengawasan yang jelas dan ketat untuk pembelian intrusive spyware,” ujarnya.
11. Pasal Superbody Investigator
Pasal 14 ayat (1) huruf g: “Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan bentuk pengamanan swakarsa.”
“Revisi UU Polri ini akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbody investigator. Pasal ini memuat kewenangan polisi melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), atau penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang,” katanya.
Pada tahap rekrutmen, lanjutnya, bahkan Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik PPNS atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Hal itu termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n Revisi UU Kepolisian.
“Ini akan merambah kepada PPNS di semua Kementerian: Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK), Penyidik Ketenagakerjaan, KPK, Kejaksaan, dan penyidik di Militer,” katanya.
Dampaknya, menurut Isnur, tidak sederhana. Hal ini berpotensi dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa pada proses praperadilan dengan merujuk Pasal 16 ayat (1) huruf o Revisi UU Kepolisian yakni Kepolisian memberi petunjuk dan bantuan Penyelidikan dan/atau Penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya.
“Melalui RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam pada 1998,” bebernya.
12. Pasal Merusak Regenerasi dan Potensial Menjadikan Polisi “Institusi Politik”
Sementara pada Pasal 30, memuat anggota Polri dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat, batas usia pensiun Anggota Polri yaitu 60 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional. Usia pensiun bagi Anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas Kepolisian dapat diperpanjang hingga 62 tahun.Sedangkan perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi bintang 4 ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia.
“Revisi UU Kepolisian yang akan menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional ini tidak memiliki dasar dan urgensi yang jelas,” katanya.
Justru, menurut Isnur, dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian. “Usulan kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri. Justru akan berpotensi menjadikan kepolisian ‘Institusi Politik’,” katanya.
13. Minimnya Mekanisme Pengawasan (Oversight Mechanism)
Meski RUU Polri ini memuat perluasan kewenangan kepolisian yang begitu “ugal-ugalan”, namun tidak secara tegas mengatur mekanisme pengawasan.
“RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran,” katanya.
Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru acapkali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri.
Penulis: Abdul Mughis