Koreksi, Yogyakarta – Dua puluh tahun sudah, Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disandera tanpa kejelasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Prosesnya mandek di meja kerja Puan Maharani selaku orang nomor satu di Gedung Kura-kura Senayan itu.Belum disahkannya RUU PPRT tersebut, membuat pemerintah dinilai terus menerus membiarkan nasib lebih dari 5 juta Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia dalam belenggu perbudakan modern.
Tentu sangat menyedihkan ketika peringatan kemerdekaan RI hanya menjadi euforia kegembiraan di atas penderitaan berjuta rakyat yang sedang sekarat. Mulai dari eksploitasi, penyiksaan, penganiayaan, kekerasan seksual, gaji tidak layak, hingga Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Kekerasan terhadap PRT, sudah tidak terbilang lagi jumlahnya. Kami disiksa, direndahkan. Sangat keji, nggak jarang ada yang sampai meninggal,” ungkap salah satu PRT, Yuni Sri yang tergabung organisasi Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapu Lidi, dihubungi Koreksi pada Senin (26/8/2024).
Kekerasan dan diskriminasi beraneka ragam, mulai dari kekerasan ekonomi, psikis, fisik hingga kekerasan seksual. Kasus-kasus PRT yang belakangan mencuat seperti kasus Siti Marni, Nurlela, Siti Khotimah, merupakan bagian kecil kasus yang mencuat dan dilakukan penanganan.
“Saya melihat sendiri teman-teman yang menjadi korban kekerasan ini mengakibatkan cacat. Baik fisik maupun mental. Korban dikasih kotoran kucing, disiram air panas, disetrika, disundut api rokok. Ada pula korban yang kakinya digantung di atas, kepala di bawah dan diputar-putarkan,” katanya.
Korban dianggap tidak mau menuruti majikan dan ketahuan hendak kabur, kemudian dia dipaksa memakan ikan mentah. “Ada juga korban yang disiksa dan ditaruh di kandang anjing,” katanya.
Yuni menegaskan bahwa masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan PRT yang tidak dilaporkan. Bentuk diskriminasi lain misalnya; PRT itu tidak boleh menaiki lift bersama majikan hingga kursi tunggu di sekolah anak majikan.
“Saya sendiri juga pernah menjadi korban kekerasan ekonomi, psikis dan kekerasan seksual. Belum lagi gaji tidak layak, tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR). Kasus-kasus seperti ini memang benar-benar ada,” ujarnya.
Gabung Serikat, Dipecat Majikan
Saat ini, telah berdiri Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) di sejumlah kota Indonesia, di antaranya; SPRT Sapu Lidi Jakarta, Tunas Mulia di Yogyakarta, SPRT Merdeka di Kota Semarang, SPRT Paraikate Makassar, Organisasi Pekerja Rumah Tangga Anggrek Maya di Malang, SPRT Tangerang Selatan atau Komunitas Pondok Cabe, Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) Sedap Malam Jakarta Selatan, SPRT Sumatera Utara, dan SPRT Lampung.
Namun disayangkan, hak berserikat ini belum mendapatkan perlindungan. Selain itu, kesadaran dari pekerja rumah tangga sendiri masih sangat minim.
“Kendalanya, mereka belum paham ada hak yang harus diperjuangkan. Tidak diizinkan oleh majikan, dilarang keluar rumah, tidak boleh oleh suami, dan seterusnya. Masih banyak di antara mereka tidak mengetahui bagaimana cara mengakses serikat pekerja ini,” katanya.
Berdasarkan pengalaman, lanjut Yuni, apabila PRT jujur menyampaikan untuk bergabung dengan serikat pekerja malah dipecat oleh majikan. Yuni sendiri yang saat ini memilih sistem bekerja secara part time atau paruh waktu dengan empat majikan di Jakarta, masih sering ‘kucing-kucingan’ untuk ikut serikat pekerja.
“Mereka ini sebetulnya bingung mau mengadu ke mana,” katanya.
Menurutnya, tidak ada alasan, RUU PPRT harus segera disahkan. “RUU PPRT ini emergency. Kami berharap, sebelum masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo habis, serta masa kepemimpinan Puan Maharani di DPR selesai, UU ini harus disahkan,” katanya.
Ari Ujianto, Staf Pengembangan Kapasitas dan Pengorganisasian Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Tumah Tangga (JALA PRT), mencatat kurun 2018 -2023, terjadi 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT.”Upah tidak dibayar, pemotongan upah, PHK semena–mena hingga ketiadaan jaminan sosial dan kesehatan,” katanya, pada Selasa (20/8/2024) lalu.
Dari berbagai sumber data, lanjut dia, perkiraan jumlah Pekerja Rumah Tangga yang bekerja di dalam negeri kurang lebih 4 juta orang. Dari 4 juta orang ada kurang lebih 2,7 juta PRT mengalami pelanggaran hak ketenagakerjaannya, serta mendapatkan kekerasan fisik dan seksual.
“Banyaknya kasus yang dialami PRT, membuktikan betapa rentannya PRT terhadap eksploitasi, diskriminasi dan perbudakan modern. Inilah alasan mengapa RUU PPRT ini mendesak harus segera disahkan,” katanya.
Tetapi, kata Ari, proses pembahasan RUU PPRT ini justru mandek di mejanya Puan Maharani. “Kita semua tidak tahu mengapa Puan Maharani bisa seperti itu,” ujarnya.
RUU PPRT ini telah menempuh jalan panjang sejak 20 tahun silam. Negosiasi, lobi politik hingga aksi demonstrasi terus dilakukan. Saat ini statusnya menjadi RUU inisiatif DPR sejak kurang lebih 1 tahun lalu.
“Sudah diserahkan ke pemerintah. Pemerintah sendiri sudah selesai memberikan masukan. Surat Presiden (Surpres) juga sudah keluar dan diserahkan ke pimpinan DPR. Tapi hingga saat ini belum ada pembahasan,” terangnya.
Dia mengaku bersama jaringan masyarakat sipil tidak akan berhenti untuk mendesak DPR dan pemerintah mengesahkan RUU PPRT ini. Berbagai strategi terus dilakukan, baik melalui jalur lobi maupun aksi di lapangan.
“Tidak hanya JALA, aksi akan terus dilakukan bersama teman-teman koalisi jaringan masyarakat sipil untuk memberikan perlindungan terhadap PRT ini. Misalnya, aktivis dari Konde juga terus melakukan advokasi melalui Film “Mengejar Mbak Puan” dengan cara roadshow,” katanya.
Dikatakannya, koalisi jaringan masyarakat sipil terus menggelar diskusi-diskusi publik yang melibatkan mahasiswa, akademisi maupun politisi yang memiliki kepekaan terhadap isu-isu penindasan rakyat.
“Kami mencoba berbagai jalur, baik melalui kekuatan masyarakat sipil maupun kekuatan politik untuk memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit ini. Repot kalau periode Puan Maharani ini habis akan mulai dari nol lagi. Akan sulit masuk ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional),” terangnya.
200 Hari Aksi Mogok Makan
Ari juga menjelaskan, aksi Mogok makan terus dilakukan di berbagai kota. Mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Makassar, dan lain-lain. “Hingga sekarang hampir 200 hari,” katanya.
Memang, lanjut dia, aksi mogok makan ini tidak menargetkan berapa jumlah peserta. Terkadang hanya dua-tiga orang. “Kami saling bergantian untuk terus menyuarakan keadilan. Jika memungkinkan aksi di depan DPR, tapi kalau tidak memungkinan bisa dilakukan di luar maupun media sosial,” katanya.
Kasus PRT ini menurutnya seperti fenomena gunung es. Sebab, kasus yang muncul di permukaan terlihat hanya sedikit. Tetapi kasus yang tidak dilaporkan diperkirakan sangat banyak.
“PRT ini bekerja di ruang privat, tidak banyak orang yang tahu persis kondisinya setiap saat,” bebernya.
Kekerasan ekonomi, gaji tidak layak, gaji telat, gaji tidak dibayar, penyiksaan, kekerasan seksual, hingga eksploitasi ini sulit sekali dipantau. “Kasus baru diketahui bila dinilai parah. Misalnya korbannya bisa melarikan diri itu baru ketahuan,” katanya.
RUU PPRT manjadi salah satu upaya untuk mengeliminasi potensi terjadinya kasus-kasus seperti itu. “Ini akibat relasi kuasa yang tidak sehat, sehingga mengakibatkan ketidakadilan. Setidak-tidaknya nantinya harus ada lembaga penyelesaian perselisihan bila terjadi kasus kekerasan ekonomi.”Menurutnya, harus ada lembaga pemerintah di tingkat lokal untuk manangani penyelesaian perselisihan permasalahan tersebut.
“Selain itu juga ada laporan kondisi keberadaan PRT tersebut dipekerjakan. Tujuannya agar bisa dilakukan monitoring terhadap kondisi mereka. Selama ini tidak ada pihak yang mengetahui,” katanya.
Indonesia perlu belajar dari Filipina yang telah memiliki UU Perlindungan PRT. Sebagai aplikasi Konvensi International Labour Organizational (ILO) Nomor 189 tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
“Pengawasan di tingkat lokal ini memang terlihat hasilnya untuk meminimalisasi terjadinya kekerasan terhadap PRT di Filipina. Walau pun dalam hal penentuan upah masih terus melakukan negosiasi Amandemen terhadap UU PPRT Filipina ini,” terangnya.
Bila PRT di negera sendiri telah dilindungi, lanjut dia, maka negara tersebut bisa melakukan negosiasi dengan negara tujuan PRT. “Nah, di Indonesia susah, PRT di negara sendiri tidak dilindungi kok minta negara lain untuk melindungi. Ini yang mengakibatkan pemerintah Indonesia tidak memiliki kekuatan perlindungan buruh migran di luar negeri,” katanya.
Jadi, PRT migran memang telah memiliki UU tersendiri, tetapi ini saling terkait. Keberadaan RUU PPRT ini juga akan mendukung perlindungan buruh PRT migran. “Sehingga kesejahteraan tenaga kerja bisa diharapkan lebih baik,” imbuhnya.
Ekspoitasi Bermula dari Agen PenyalurAri menilai bahwa terjadinya eksploitasi berawal dari semrawutnya tata kelola agen penyalur PRT. Perusahaan-perusahaan penyalur ini merekrut langsung dengan melibatkan kaki tangan atau calo di daerah-daerah sumber PRT.
“Ada operasional dalam proses itu. Perusahaan penyalur ini mencari profit. Semua beban ini ditimpakan ke PRT. Bahkan 2-3 bulan pertama, PRT itu bisa tidak menerima uang karena gajinya dipotong habis-habisan,” ungkap Ari.
Penampungan tidak layak, penganiayaan, kekerasan seksual, dikeluarkan dari pekerjaan oleh agen, dokumen ditahan dan seterusnya. “Berbagai eksploitasi seperti itu tidak tertangani dengan baik, karena belum diatur,” katanya.
Lebih lanjut, RUU PPRT salah satunya untuk mengatur tata kelola penyaluran tenaga kerja PRT ini. Harus ada seleksi dan pengawasan secara ketat terhadap agen penyalur tersebut. “Misalnya lembaga tersebut harus berbadan hukum, memiliki pendanaan berapa, kemampuan untuk melakukan pelatihan, dan lain sebagainya. Pemerintah tidak boleh lepas tangan,” ujarnya.
Yang sering disalahpahami bahkan oleh kalangan DPR sendiri, adalah UU PPRT ini hanya menguntungkan PRT. Padahal tidak, UU ini mengatur hak dan kewajiban baik PRT maupun pemberi kerja. “Jadi, menguntungkan semua pihak. Selama ini yang timpang itu disetarakan. Misalnya, hak libur, istirahat, kebebasan berorganisasi, kebebasan beribadah, jaminan sosial dan kesehatan, peningkatan kapasitas keterampilan dan pendidikan dan seterusnya. Hal-hal mendasar itu saja sejauh ini masih banyak halangan,” katanya.
DPR Tutup Pintu
Ditanya apakah RUU PPRT ini nantinya juga mengatur standarisasi gaji PRT?
“Jadi begini, Draf RUU ini sudah berulang kali berubah. Kalau kita ngomongin gaji, DPR langsung tutup pintu. Sehingga komprominya sesuai kesepakatan. Tapi harus memuat asas manusiawi dan keadilan. Makanya di situ memuat pentingnya kontrak kerja secara tertulis. Hak dan kewajiban kedua belah pihak harus berimbang dan adil,” kata Ari.
Dikatakannya, ada dua hal yang tidak bisa dimasukkan ke dalam draf tersebut. Pertama; soal upah minimum, kedua; soal jam kerja. “Untuk jam kerja ini kami menyiasatinya dengan pengaturan hak istirahat dan hak libur,” terangnya.
Dijelaskan, draf awal RUU PPRT dari badan legislasi ini ada perbedaan dengan masukan dari pemerintah. “Bahkan masukan-masukan dari pemerintah ini sebenarnya lebih progresif dari DPR. Nah, untuk sinkronisasi antara DPR dan masukan pemerintah ini saya belum tahu nanti seperti apa,” katanya.
Pembiaran Praktik PercaloanSekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Juwarih mengatakan permasalahan PRT dari dahulu hingga sekarang ini masih sama.
“Belum ada perubahan secara signifikan,” katanya.
Berdasarkan data catatan SBMI, pengaduan di sektor PRT Migran pada rentang tahun 2010-2023 menjadi pengaduan tertinggi yang diterima oleh SBMI yaitu sebesar 46 persen.”Kasus PRT ini masih mendominasi paling tinggi, disusul sektor Anak Buah Kapal (ABK),” katanya.
Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) per periode Januari-Desember 2023, penempatan baru Pekerja Migran Indonesia sebanyak 274.964 jiwa, Pekerja Migran Indonesia berdasarkan data Kementerian Luar Negeri ada 4 juta orang. Sedangkan berdasarkan data akumulatif yang dikeluarkan oleh Bank Dunia kurang lebih 9 juta orang Pekerja Migran Indonesia.Sebanyak 70 persen dari data tersebut adalah Perempuan Pekerja Migran yang bekerja di Sektor PRT.
“Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang menempatkan Pekerja Migran di sektor Pekerja Rumah tangga terbesar di Kawasan Asia Tenggara,” katanya. Menurutnya, secara regulasi memang ada perbaikan, tapi secara implementasi masih belum ada perubahan.
“Artinya, belum sampai pada tahap perlindungan. Bahkan sampai saat ini masih ada perekrutan langsung melalui Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI), agen, calo, sponsor, ke desa-desa,” katanya.
Adapun saat ini ada Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (LTSA PPPMI) di beberapa titik, namun baru sebatas layanan pengurusan dokumen.
“Belum sampai ke tahap perlindungan. Bahkan praktik percaloan pun di LTSA itu masih tetap terjadi. Indikatornya, orang yang mengurus dari loket ke loket adalah petugas calo atau sponsor,” katanya.
Penyaluran PRT untuk buruh migran masih seperti itu. Kondisi tersebut terjadi pembiaran selama berpuluh-puluh tahun di Indonesia. “Ya karena memang ada pihak yang memperoleh keuntungan dan menghendaki eksploitasi dari pekerja migran,” katanya.