Koreksi, Yogyakarta – Polisi terus melakukan kekerasan dalam mengawal aksi demonstrasi pada sepekan terakhir. Aspirasi mahasiswa bersama masyarakat sipil di sejumlah kota di Indonesia justru berhadapan dengan polisi bersenjata lengkap. Demonstran dipukul, ditendang, diseret, terkena peluru gas air mata hingga digelandang ke kantor polisi.
Aksi #JogjaMemanggil yang kembali dilakukan di sepanjang Jalan Malioboro Yogyakarta, Selasa (27/8/2024), mengecam keras tindakan represif aparat seperti yang terjadi di Kota Semarang, Makassar dan Jakarta tersebut.
“Pak Polisi, kami tidak butuh senjata. Kami butuh keadilan. Turunkan Jokowi!” pekik sang orator di atas mobil komando. Aksi di Yogyakarta ini berjalan damai. Meski demikian, tensi tuntutan demonstran yang semula #KawalPutusanMK, telah naik level menjadi #TurunkanJokowi dan #GanyangJokowi.
Ekspresi kemarahan demonstran tergambar dari berbagai tulisan poster yang begitu sarkas dan lugas. Mereka geram karena Pemerintahan Joko Widodo dinilai telah merusak konstitusi dan demokrasi di Indonesia. Nama “Mulyono” yang merupakan “nama sial” Jokowi semasa kecil menjadi ‘bulan-bulanan’ massa. Bahkan aksi tersebut menampilkan adegan teaterikal yakni prosesi seorang yang melakukan eksekusi mati terhadap pemimpin yang mengkhianati rakyat.
Terlihat dalam teaterikal tersebut, bahwa Jokowi dan Prabowo Subianto merupakan satu paket pemimpin yang tidak bisa diharapkan. “Adili! Adili! Adili!” teriak massa menggema.
Seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT), Dita, yang turut melakukan orasi dalam aksi tersebut mengatakan pemerintah Jokowi gagal hampir di semua hal. Dia menilai, rezim bebal yang tidak memiliki hati nurani maupun kepekaan sosial ini harus diadili oleh rakyat.
“Anaknya Jokowi naik pesawat jet pribadi yang sekali jalan menghabiskan miliaran rupiah. Mantunya Jokowi beli seporsi Rp 400 ribu. Dia tidak paham rakyat sengsara. Gaji PRT berapa,” katanya.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) hingga saat ini masih disandera tanpa kejelasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Padahal sudah berjalan 20 tahun.
“Berapa lama lagi PRT yang mati hanya untuk menunggu pengesahan RUU PPRT?” katanya. Selama ini, lanjut dia, pekerja rumah tangga di Indonesia tidak diakui sebagai pekerja. Akibatnya, jutaan PRT sengsara akibat ketidakadilan. Mereka menjadi korban kekerasan ekonomi, mental, fisik, seksual, dan tidak diakui sebagai pekerja. “Perempuan butuh perlindungan, tapi Jokowi tak peduli. Negara ini malah diperas habis-habisan oleh Jokowi dan kroni-kroninya,” tandas dia.
Salah satu orator dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Danil Yobi, menilai rezim Jokowi telah keterlaluan menjarah hak rakyat. Dia mempertanyakan, adakah program selama pemerintahan Jokowi berpihak kepada rakyat.
Hampir seluruh program Proyek Strategis Nasional (PSN) di mana pun, sebutnya, justru menjadi malapetaka bagi rakyat. Kasus penggusuran Wadas, Kendeng, Rempang dan lain-lain. Maka dari itu, ia mengajak para seniman untuk terlibat dalam Aksi Darurat Indonesia ini.
“Saya mengutip kata-kata WS Rendra; Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan? Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan?,” ujarnya.
Karut Marut Kebijakan BermasalahElanto Wijoyono dari Combine Resource Institution (CRI) mengatakan, praktik culas yang hendak merevisi RUU Pilkada ini menunjukkan bahwa tujuan utama rezim ini adalah melanggengkan kekuasaan dan politik dinasti.
“Dengan dibatalkannya pengesahan RUU Pilkada, apakah perjuangan rakyat untuk menegakkan konstitusi dan mengawal demokrasi berhasil? Belum,” katanya.
Dikatakannya, masih banyak karut marut kebijakan bermasalah. Setelah ini masih ada RUU Polri dan RUU TNI, bahkan ada upaya polisi ini akan diberikan perluasan kewenangan ‘superbody’ yang bisa mengendalikan semua penyidik di instansi lain. Sebelumnya, lanjut dia, rezim ini telah melakukan hal serupa dengan merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, mengesahkan UU Cipta Kerja dan UU Minerba, menyusup ke MK melalui Anwar Usman yang kemudian meloloskan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
“Bahkan memecah belah gerakan masyarakat sipil dengan memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan,” katanya.
Dikatakannya, rakyat tahu bahwa banyak kebijakan bermasalah yang lahir di rezim Jokowi. Bahkan, lanjut Elanto, fungsi anggota dewan sebagai wakil rakyat semakin melemah, kekuatan lembaga-lembaga independen diberangus, penegakan hukum mandul dan dimanfaatkan untuk menyandera lawan-lawan politik.
“Jokowi berusaha mengontrol semua kekuasaan dalam genggaman tangannya,” tegasnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Jokowi hampir pasti akan diduplikasi oleh Prabowo Subianto sebagai presiden penerusnya. “Berkali-kali, Prabowo menegaskan akan melanjutkan apa yang sudah dibangun oleh rezim Jokowi. Dengan begitu, karakteristik otoritarianisme yang populis juga akan dilanjutkan oleh Prabowo,” katanya.
Akar Masalah Sana Ulaili dari Solidaritas Perempuan Kinasih mengatakan akar masalah dalam 10 tahun terakhir bermuara pada bobroknya sistem pemilu dan partai politik Indonesia yang menghamba pada kapitalisme.
“Partai politik tidak bisa menjalankan amanat demokrasi karena mengedepankan kepentingan pribadi. DPR bukan rumah wakil rakyat, tetapi tempat tumbuh suburnya oligarki,” kata dia.
Menurutnya, selama sistem pemilu dan partai politik di Indonesia tidak diubah, maka selama itu pula rakyat Indonesia dipimpin oleh rezim tipu-tipu.
“Kami menuntut agar segera dilakukan perombakan UU Pilkada dan UU Partai Politik,” cetusnya.
Selain itu, semua elemen masyarakat harus melawan segala upaya perusakan atau pelemahan konstitusi. “Kami menyerukan kepada warga Yogyakarta untuk membangun oposisi rakyat,” tegasnya.