Koreksi, YOGYAKARTA – Penjagaan demonstrasi di Indonesia sejauh ini masih berbingkai brutalitas aparat. Terutama Polri dan TNI yang masih saja mempertontonkan kultur kekerasan saat menjaga aksi unjuk rasa. Alih-alih mendapatkan rasa aman, aksi penyampaian aspirasi masyarakat sipil yang dilindungi oleh konstitusi ini justru dikepung brutalitas aparat. Demonstran ada yang ditendang, dipukul, terkena peluru gas air mata, ditahan hingga ditetapkan sebagai tersangka.
Mengutip Kompas.com, sebanyak 19 demonstran di Jakarta ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya Ade Ary Syam Indradi. Para demonstran yang ditangkap saat berunjuk rasa di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024) lalu, diduga juga mengalami berbagai tindakan kekerasan.
Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andrie Yunus yang merupakan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengecam keras dan mengutuk tindakan kekerasan brutal yang dilakukan oleh aparat.
“Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena kekerasan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan dalam penanganan aksi massa,” tegasnya, Rabu (28/8/2024).
Tak hanya itu, lanjut Andrie, tindakan brutalitas aparat kepolisian juga merupakan tindakan yang menginjak-nginjak kebebasan hak berkumpul, berpendapat dan bereksrepsi.
“Lebih jauh, Polri harus mereformasi total kebijakan penanganan aksi masa yang mengedepankan cara-cara humanis bagi setiap anggotanya,” tegasnya.
Terkait penetapan 19 orang tersangka yang disampaikan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Andrie menjelaskan bahwa pihaknya memberikan pendampingan hukum terhadap 31 orang. “Mereka memberikan kuasa ke Tim Advokasi Untuk Demokrasi,” ujar dia.
Dikatakannya, proses yang dilakukan oleh penyidik di Subdit Keamanan Negara (Kamneg) dan Subdit Harta Benda (Harda) adalah melakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara Klarifikasi/Interview/Wawancara yang proses tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Status para terperiksa pun tidak patut disebut sebagai saksi. Karena Saksi itu dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam KUHAP,” katanya.
Beberapa orang yang didampinginya, memang sempat mendapat informasi dari penyidik bahwa yang bersangkutan dinyatakan sebagai tersangka. “Pernyataan penyidik tersebut seharusnya disampaikan adanya surat penetapan tersangka. Kami berpandangan tindakan penyidik yang menyampaikan tersangka secara lisan adalah tindakan gegabah,” katanya.
Tim Advokasi untuk Demokrasi mendampingi hingga pada demonstran dilepaskan pada 23 Agustus 2024 malam. “Tidak ada satu pun orang yang kami dampingi menerima surat penetapan tersangka,” katanya.
Jurnalis Juga Jadi Korban KekerasanWakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, pihaknya mendokumentasikan masifnya berbagai bentuk tindak kekerasan, intimidasi dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada mahasiswa dan masyarakat sipil yang melakukan demonstrasi.
“Diduga juga ada upaya sweeping dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat sipil pascademonstrasi RUU Pilkada,” katanya melalui keterangan tertulis pada Rabu (28/8/2024).
Selain kepada peserta demonstrasi, lanjut Andi, KontraS juga mendokumentasikan beberapa dugaan tindak kekerasan serta intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada jurnalis baik media cetak, elektronik, maupun daring.
“Beberapa jurnalis juga dilaporkan terluka akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat,” katanya. Hal itu melanggar UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers yang secara eksplisit mengatur bahwa dalam melaksanakan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum.
“Tindak kekerasan kepada jurnalis juga merupakan bentuk serangan terhadap independensi media sebagai salah satu pilar demokrasi,” tegasnya.
Selain oleh kepolisian, juga ditemukan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI kepada peserta demonstrasi khususnya mahasiswa. Menurutnya, ini melenceng jauh dari tugas pokok TNI sebagaimana diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2004.
“Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI juga menunjukkan gejala intervensi militer dalam ruang sipil,” katanya.
Dia meminta, lembaga pengawas yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan pemantauan terhadap tindak kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat pada aksi 22 Agustus 2024.
“Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk menindak tegas dan memberikan sanksi etik serta pidana kepada anggotanya yang terbukti melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat sipil, mahasiswa dan jurnalis,” katanya.
Penghalangan Pendampingan HukumAndhika Firdaus, Kuasa Hukum Gerakan Rakyat Menguggat (Geram) dari LBH Semarang mengungkapkan, pihaknya dihalang-halangi saat hendak melakukan pendampingan hukum terhadap sejumlah demonstran yang ditangkap polisi pada aksi Senin, 26 Agustus 2024.
“Hingga pukul 03.00 WIB dinihari, kami tidak boleh melakukan pendampingan,” katanya.
Kemudian pada Selasa, 27 Agustus 2024, sebanyak 33 orang peserta aksi yakni 9 mahasiswa, 23 pelajar dan 1 warga sipil, yang ditahan oleh kepolisian dibebaskan. “Ini penangkapan yang sewenang-wenang oleh pihak kepolisian,” katanya.
Dia juga berharap kepada pihak sekolah untuk tidak memberi sanksi kepada pelajar yang ditangkap oleh polisi. Para pelajar ini justru memiliki kepekaan sosial dan politik yang tinggi atas situasi yang terjadi saat ini.
“Para pelajar ini turut merasakan bagaimana rakyat kecil, buruh dan petani tertindas akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat,” terangnya.
Profesionalitas AparatKepala Perwakilan Ombudsman RI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Budhi Masthuri, mengatakan aparat seharusnya mengedepankan cara-cara persuasif dan profesional.
“Tindakan represif jika pun harus terpaksa dilakukan, seharusnya menjadi pilihan paling akhir, manakala keselamatan aparat memang benar-benar sudah terancam,” katanya kepada Koreksi dihubungi via ponsel pada Rabu (28/8/2024).
Jadi, sekali lagi, lanjut Budhi, aparat seharusnya memastikan bahwa warga dapat menyampaikan aspirasi dan pendapatnya secara leluasa dan merdeka. “Hal itu sebagai penghormatan atas hak konstitusional mereka. Aparat justru harus memastikan keamanannya,” terangnya.
Aparat kepolisian dalam pengamanan aksi Peringatan Darurat “JogjaMemanggil” di Yogyakarta, beberapa waktu lalu, dilakukan tanpa senjata, tameng, pentungan, dan gas air mata.
“Saya rasa (sikap polisi) Yogyakarta ini bisa menjadi contoh baik. Aparat keamanan melebur dengan peserta aksi untuk saling mengamankan proses penyampaian pendapat di depan umum. Terbukti, tidak ada kekerasan,” katanya.
Menurutnya, perlu adanya komitmen bersama menjaga suasana kondusif dan komunikasi antar pemangku kewenangan di daerah serta elemen peserta aksi. “Ini salah satu kuncinya,” katanya.