Koreksi, YOGYAKARTA – Sirene dan kentongan menggema di Jalan Gejayan Yogyakarta, Kamis (29/8/2024) sore. Ini menjadi tanda #PeringatanDarurat Indonesia belum selesai. Teriakan massa dari aliansi masyarakat sipil, mahasiswa, dosen, buruh, seniman, yang tergabung dalam Forum Cik Di Tiro, Aksi Sejagad, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menggeram.
Di jalanan Yogyakarta itu, wibawa Joko Widodo alias Jokowi sebagai Presiden RI sudah runtuh, rata dengan tanah. Teriakan #TurunkanJokowi #AdiliJokowi #GanyangJokowi, #GanyangMulyono, hingga kalimat-kalimat sarkas bernada makian memekik di sudut-sudut kota. Bahkan diteriakkan di muka polisi yang sedang berjaga.
“Jokowi tidak layak turun dengan cara terhormat!” ungkap Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM), Nugroho Prasetyo Aditama saat orasi.
Jika beberapa waktu yang lalu, Jokowi dinobatkan sebagai alumnus UGM paling memalukan, kali ini, BEM UGM mengeluarkan rapot merah bahwa Jokowi “Tidak Layak Turun dengan Cara Terhormat”.
“10 tahun menjabat, Jokowi telah gagal menjalankan amanat rakyat. Rezim ini malah justru menindas rakyat dan rakus kekuasaan,” katanya.
Dikatakannya, munculnya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang menyatukan partai-partai politik untuk kerakusan kekuasaan Jokowi dan Prabowo Subianto adalah praktik kartel politik yang menghancurkan demokrasi. “Para ketua partai telah bersekongkol. Wakil rakyat tidak ada lagi yang bisa dipercaya,” katanya.
Nugroho juga meminta peserta aksi mengheningkan cipta untuk demonstran pejuang keadilan yang menjadi korban kekerasan aparat kepolisian. “Teman-teman kita kepalanya bocor, kehilangan mata. Polisi telah digunakan oleh penguasa untuk membungkam suara mahasiswa,” katanya.
Kerjanya Polisi Apa?
Mariana Ulfa, salah satu dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, turut orasi dengan lantang. Ia mengaku harus cuti kerja untuk bisa ikut aksi #PeringatanDarurat ini.
“Salah satu cita-cita reformasi adalah menghapuskan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lantas apa yang terjadi hari ini? Tambah parah, rakus, tidak tahu malu dan tidak punya moral,” kata Ulfa.
Korupsi di era Jokowi merajalela dan dibiarkan. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilumpuhkan dan disalahgunakan sebagai alat kekuasaan. Para politikus tersandera hukum yang dikendalikan penguasa.
“Elite politik tak berkutik itu karena ulahnya sendiri. Akhirnya, Kolusi semakin menjadi-jadi. Semuanya menjilat bokong rezim,” ujar dia. Alih-alih memperbaiki demokrasi, Jokowi malah justru membangun politik dinasti untuk upaya memperpanjang kekuasaan.
“Rezim ini membuat rakyat bodoh. Kalau ada yang bilang ‘Indonesia baik-baik saja’, itu adalah buzzer cecunguk penguasa. Indonesia tidak sedang baik-baik saja! Kita dibuat lelah untuk berjuang,” katanya.
Ulfa juga menyinggung kinerja aparat kepolisian yang minus. Bagaimana tidak, polisi yang seharusnya menegakkan hukum malah justru melanggar hukum. Demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang dilindungi hukum malah digebuki.
“Selama ini ada istilah ‘No Viral No Justice’, berarti itu yang bekerja (menegakkan hukum dan keadilan) adalah rakyat. Jadi, kerjanya polisi apa? tangkap tuh bandar narkoba, tangkap bandar judi, apa kabar Sambo? Mahasiswa yang di sini tidak perlu dijaga pak. Mereka ini cinta Indonesia!” katanya.
Ada Satu Keluarga yang Menjadi Beban Satu Negara
Komika Yogyakarta, Dodok Putra Bangsa juga tak kalah menarik. Ia turut orasi dengan gaya humor satire yang menggelitik. Indonesia dianggap sebagai negara yang gemar menghambur-hamburkan uang di kala leher rakyat tercekik. “Pemilihan Presiden menghabiskan Rp 70 triliun. Jika untuk bayar SPP mahasiswa UIN, bisa untuk 500 tahun tuh. Itu pun masih bisa membangun kantor polisi mengepung kampus,” ungkapnya membikin demonstran terpingkal-pingkal.
Di media sosial, para buzzer penguasa sering mengalihkan isu Revisi UU Pilkada dan Kawal Putusan MK ini dengan mempertanyakan kenapa tidak mengangkat isu RUU Perampasan Aset.
“Lho, Jokowi selama 10 tahun menjabat itu ngapain aja? Dia justru mendorong legislatif untuk tidak mengesahkan RUU Perampasan Aset, sampai sekarang tidak disahkan. UU Pilkada ini 7 jam kelar, secepat Laundry Express. Naik kereta Jogja-Jakarta aja 8 jam lho,” ujarnya.
Kebijakan-kebijakan pemerintah Jokowi dinilai tidak ada yang mengakibatkan rakyat kecil bahagia. Harga bahan pokok mahal, Bahan Bakar Minyak (BBM) mahal, biaya pendidikan mahal, biaya kesehatan mahal.
“Semua itu berawal dari Solo, ada satu keluarga yang menjadi beban satu negara,” kata aktivis Warga Berdaya dan Jogja Ora Didol itu.
Membangun Oposisi Warga
Elanto Wijoyono dari Combine Resource Institution (CRI) mengatakan mengajak seluruh dosen dan guru besar di Yogyakarta untuk kritis dan berani bersuara. “Perlu menghubungkan antara kampung dengan entitas warga serta kampus dengan mahasiswa dan para akademisinya,” kata dia.
Dikatakannya, tak hanya isu UU Pilkada dan perkara dinasti keluarga penguasa, rakyat akan terus bersuara untuk mengawal konstitusi hari ini hingga era kepemimpinan berikutnya.
“Ketika elite politik sudah tidak ada yang bisa dipercaya, Yogyakarta harus membangun oposisi warga. Segala bentuk perusakan atau pelemahan konstitusi harus dilawan. Mari bersatu melawan rezim Jokowi untuk mencegah oligarki dan politik dinasti berkuasa,” tegasnya. (*)
Penulis : Abdul Mugis