Surabaya – Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mencabut pembekuan sementara terhadap tiga orang pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP, yaitu Presiden BEM, Wakil Presiden BEM, serta Menteri Politik dan Kajian Strategis. Pencabutan dilakukan setelah mendengar klarifikasi dari ketiga pengurus yang dibekukan, serta anggota BEM yang lain.
Kepada media, Dekan FISIP Unair, Prof Bagong Suyanto, mengatakan telah menyepakati adanya kebebasan berpendapat dan menyuarakan aspirasi mahasiswa dengan tetap mengedepankan kultur akademik.
“Bahwa concern kami adalah tidak ingin kita ini mengembangkan kultur yang terbiasa menggunakan diksi-diksi kasar di dalam kehidupan politik. Jadi sepakat untuk memilih menggunakan diksi yang sesuai dengan kultur akademik. Kami paham apa yang disuarakan oleh BEM FISIP, itu menjadi hak BEM FISIP untuk menyuarakan apa yang menjadi aspirasi mereka,” terang Bagong Suyanto, Senin (28/10).
Tuffahati Ullayyah Bachtiar, selaku Presiden BEM FISIP Universitas Airlangga, mengamini pernyataan Dekan FISIP, dan tetap akan bersuara kritis terhadap aspirasi rakyat dan berbagai persoalan bangsa saat ini. BEM FISIP sebelumnya telah memasang karangan bunga sarkas yang berisi keprihatinan atas dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029. Salah satu isinya yaitu; Selamat atas dilantiknya jenderal bengis pelanggar HAM dan profesor IPK 2,3 sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi.
“BEM FISIP akan tetap kritis kedepannya dengan tidak keluar dari koridor akademik, dan karangan bunga yang kemarin memang bentuk ekspresi dari teman-teman Kementerian Politik dan Kajian Strategis, dan itu memang dibawah BEM FISIP,” kata Tuffahati.
Meski sempat menimbulkan polemik, Tuffahati mengaku tidak akan terpengaruh dan memilih bungkam pasca pembekuan sementara aktivitasnya sebagai Presiden BEM. Bahkan, Tuffahati dan beberapa pengurus BEM sempat mendapat ancaman secara digital dari orang tidak dikenal, yang bertujuan membungkam atau mengintimidasi para mahasiswa yang mengekspresikan kritikannya.
“Narasi yang dibawakan itu kurang lebihnya sama semua, yaitu mengglorifikasi program-program Jokowi, kemudian mengancam, kemudian mendoakan yang tidak baiklah, beberapa teman juga mengalami hal yang sama,” ujar Tuffahati.
Pengajar Antropologi di FISIP Unair, Pinky Saptandari, mendorong pemikiran kritis tetap dibangun di lingkungan kampus, tanpa ada upaya membungkam. Seharusnya, mahasiswa diberi ruang yang luas untuk bersuara dengan bimbingan para dosen. Pembekuan sementara, menurut Pinky merupakan miskomunikasi antara Dekanat dengan BEM, yang tidak seharusnya terjadi.
“Semangat kampus ini didirikan dengan semangat egaliter, toleransi, demokrasi, seperti Pak Tandyo dulu. Jadi, ini hanya persoalan komunikasi dan bagaimana kita memberi ruang apresiasi pada anak-anak untuk tetap bisa menyuarakan suara kritis. Justru mereka harus dibimbing, jangan dibungkam,” kata Pinky.
Editor: Andre Yuris