Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Kelompok Tani Kampung Bayam Madani Jakarta Utara, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Trilogi, Popma Sepi, Sarekat Pemuda NTT, Treelogi Community dan Rasera Project yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR – MPR RI. Aksi tersebut merupakan respons atas penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan memberikan derita berkepanjangan bagi warga yang berada di lingkar industri ekstraktif.
Drama politik elektoral untuk mencari pemimpin oligarki yang baru telah ditutup dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Minggu, 20 Oktober 2024. Dalam sidang tersebut, pasangan Presiden dan Wakil Presiden pemenang pilpres 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah mengikrarkan sumpah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya demi kepentingan bangsa dan negara.
Jika melihat gelaran kampanye sepanjang 2023 lalu, keduanya mengusung janji akan melanjutkan program-program pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Hilirisasi menjadi salah satu kebijakan yang akan dilanjutkan. Berkaca pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangkap tangan 25 kasus politik uang yang dilakukan selama masa tenang. Beragam jenis barang yang diberikan partai politik/kandidat kepada pemilih, seperti sembako, deterjen, dan yang paling sering adalah uang.
Dengan begitu, ini menunjukkan bahwa proses elektoral Indonesia membutuhkan ongkos yang tinggi di tengah kerawanan politik uang. Survei Indikator Politik Indonesia mengenai perilaku pemilih pada Februari 2024 menegaskan kerawanan tersebut. Dalam laporan disebutkan ada 35,1 persen responden yang akan menerima dan memilih calon yang memberi uang atau hadiah dan 7,3 persen responden yang akan memilih calon yang memberikan uang atau hadiah lebih banyak.
Situasi ini menjadi celah bagi para pebisnis ekstraktif untuk menggelontorkan dana dalam jumlah besar kepada masing-masing kandidat dan melahirkan kontrak politik. Dari banyak temuan, salah satunya terpotret dalam pernyataan Panglima Tim Dozer, Rully Rozano, pendukung pasangan Andi Sudirman Sulaiman dan Fatmawati Rusdi dalam Pilkada Sulawesi Selatan yang menyatakan timnya akan all out membiayai pasangan tersebut. Ia bahkan menyebutkan anggaran sebesar Rp 50 miliar masih terbilang kecil. Rully merupakan salah satu orang kepercayaan Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. Ia tercatat sebagai manajer di Jhonlin Baratama.
Pilkada sebagai Ajang untuk Memilih Boneka
Berbagai kebijakan di era Jokowi yang memberi karpet merah kepada investasi ekstraktif berkedok transisi energi, menjadikan agenda hilirisasi Prabowo tak dapat dibendung. Terlebih, ada berbagai peraturan yang telah disiapkan untuk memberikan legitimasi kepada berbagai proyek hilirisasi tersebut untuk transisi energi. Agenda-agenda tersebut juga termaktub dalam berbagai cetak biru energi Indonesia, mulai dari rencana jangka panjang seperti RPJPN 2045, hingga Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2030.
Proyek-proyek seperti pembangunan pembangkit tenaga listrik dari panas bumi, air, surya, bayu, nuklir dan hidrogen kemudian diberikan legitimasi tambahan berupa Proyek Strategis Nasional (PSN) dan mendapatkan berbagai pembiayaan internasional seperti AZEC, JETP, dan Belt and Road Initiative. Dengan mengusung ‘keberlanjutan’, proyek istimewa’ tersebut akan dilanjutkan pembangunannya oleh Prabowo tanpa bisa dihentikan. Di sisi lain, proyek-proyek tersebut akan digarap dan dituai manfaatnya oleh para pebisnis ekstraktif yang berada di lingkaran Prabowo-Gibran saat ini, yang beberapa di antaranya berada di balik partai.
Moh. Ma’sum Yusron, selaku Sekjend Front Perjuangan Pemuda Indonesia menyatakan, Pemerintahan daerah yang selama ini dianggap paling dekat dengan rakyat di tiap-tiap daerah, celakanya justru lebih dekat dengan para penguasa di Pemerintahan Pusat maupun Penguasa Ekonomi. Para pemimpin-pemimpin di daerah, pada akhirnya menjadi kepanjangan tangan rezim oligarki di regional maupun di tingkat nasional. Daripada melindungi dan mementingkan kepentingan rakyat di daerahnya, Pemerintahan di tingkat daerah justru lebih memilih melindungi, mendukung dan mementingkan kepentingan modal. Sebab mereka menduduki jabatan daerah, bukan untuk mengabdi apalagi memperjuangkan kepentingan rakyat. Melainkan sekedar untuk memperkaya diri dan kelompoknya, dengan kekuasaan yang didudukinya. Untuk itu, kami mengajak seluruh rakyat, untuk menggalang gelombang rakyat golongan putih (Gerak Golput).”
Dalam konteks Pilkada 2024, pencarian kepala daerah sesungguhnya adalah mencari pelayan kepentingan pemerintahan Prabowo untuk mengamankan daerah-daerah yang menjadi objek ekstraktivisme. Pemerintahan di era Jokowi menunjukkan tutup mata atas segala kerusakan lingkungan, sosial, dan ruang produksi komunitas masyarakat, yang mengancam keselamatan rakyat. Kerusakan itu akan terus dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru dan tidak dapat dihentikan oleh siapapun kepala daerah yang akan terpilih. Karena itu, kami menyerukan untuk tidak mempercayai seluruh proses elektoral dan kandidat yang tengah berkontestasi di dalam Pilkada 2024.
Adrian Maulana Perwakilan dari BEM Universitas Trilogi menyatakan “BEM Trilogi ikut terlibat dalam aksi Pilkada Membawa Petaka ini, dikarenakan kami melihat betapa kacaunya negara hari ini. Kami juga menyerukan boikot terhadap pilkada serentak 2024, dikarenakan, presiden Prabowo Subianto mensupport salah satu kandidat pasangan calon kepala daerah di Jawa Tengah. Kedua, ketika akhirnya kita berdomisili di Jakarta, kita diperhadapkan pada pasangan calon dengan gagasan yang sangat utopis. Misalnya, soal kemacetan, dari ke 3 pasangan calon yang ada, mereka sama sekali tidak memiliki solusi konkret atas persoalan yang dihadapi serta, dari ke 3 paslon ini sama sekali tidak membicarakan persoalan lingkungan yang dihadapi.”

Foto: Koalisi
Apapun hasilnya, siapapun pemenangnya. Rakyat jadi korbannya
Melihat rona ekstraktif dalam pemerintahan dan susunan kabinet, kebijakan-kebijakan ekstraktif yang diwariskan, dan politik energi hari ini, gelaran pilkada tak lebih hanya ajang bancakan para taipan yang berkongsi dengan pengurus publik untuk melancarkan kepentingan, bagi-bagi kue, serta melanjutkan ekspansi bisnis kotornya masing-masing. Alih-alih membenahi dan menyelesaikan persoalan ekstraktif di berbagai wilayah Indonesia, justru utang kerusakan sosial-ekologis yang diwariskan akan semakin terakumulasi dan menjadi sumber petaka bagi warga. Berbagai jenis komoditas tambang seperti nikel, batubara, panas bumi, hingga perkebunan sawit, hingga penggusuran oleh negara dan lingkarannya untuk dibagi-bagikan kepada sektor privat, tanpa memikirkan daya rusak yang ditanggung sendiri oleh komunitas warga.
Furqon, seorang petani dari Kampung Bayam, Jakarta Utara yang tanahnya dijarah untuk pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) mengatakan, bahwa pilkada ini hanya akan menjadi wadah bagi paslon untuk membual. “bahwasanya aksi boikot pilkada ini dilakukan, dikarenakan kami tidak meyakini bahwa pagelaran pilkada akan berdampak positif petani dan rakyat miskin kota. Pagelaran pilkada ini hanya menjadi ajang membual bagi para masing-masing pasangan calon. Sementara yang kita inginkan adalah, keadilan bagi rakyat khususnya pada kaum tani miskin kota. Untuk itu, kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa pagelaran pilkada 2024 ini, hanya akan menjadi petaka bagi rakyat Indonesia.”
Hal serupa juga dirasakan dan disampaikan oleh Vero Perempuan asal Maluku yang sedang berkuliah di Jakarta “Kami beranggapan bahwa pesta elektoral yang dilangsungkan hari ini hanya akan menguntungkan segelintir orang saja. Bukan untuk masyarakat kecil tetapi hanya untuk oknum-oknum yang memiliki kepentingan politik ataupun bisnis. Saya berdiri disini, mewakili masyarakat terpencil khususnya di Maluku yang ruang hidupnya telah dirusak oleh industri ekstraktif. Selain itu, Pilkada ini telah menciptakan konflik horizontal pada level warga, khususnya di Maluku, untuk saya lebih memilih untuk golput daripada ikut andil pada pilkada ini.”
Beberapa sektor ekstraktif tersebut diberi label Objek Vital Nasional melalui Proyek Strategis Nasional yang merangsek masuk tanpa permisi dengan berbekal kebijakan ekstraktif. Maka kerusakan sosial-ekologis pun tak terelakkan, mulai dari perampasan ruang hidup, hutan yang tergusur, sumber mata air yang hilang, termasuk kesehatan warga yang dikorbankan akibat dampak tersebut.–Satu hal yang tak boleh dilupakan, bayang-bayang kriminalisasi dan kekerasan kerap hadir dan menikam warga yang menolak dan melawan ketidakadilan karena ruang hidupnya terancam.
Periode 2014-2024 atau selama satu dekade era Presiden Joko Widodo berkuasa, ekspansi industri ekstraktif di berbagai wilayah Indonesia semakin meluas. Begitu pula dengan konflik agraria serta perampasan ruang hidup yang turut hadir menyelinap di setiap proses masuknya perusahaan ke wilayah-wilayah pemukiman warga. Ketika baron tambang menjarah sumber daya alam (SDA) Indonesia secara besar-besaran yang berujung pada kerusakan multidimensi untuk kehidupan warga di sekitar lingkar tambang, maka tumbuhlah perlawanan warga, namun ironisnya upaya tersebut justru kerap dihadapkan dengan ancaman kriminalisasi dan kekerasan.
Juru Kampanye JATAM, Alfarhat Kasman menyatakan “Ada begitu banyak catatan penting terkait politik elektoral yang dilangsungkan. Beberapa diantaranya adalah terkait dengan ijon politik, yang mana para taipan-taipan ikut terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kontestasi politik, baik sebagai pasangan calon ataupun menjadi penyandang dana. Kedua, kontestasi elektoral ini hanya akan melahirkan operator-operator program strategis yang akan dijalankan oleh rezim Prabowo-Gibran termasuk soal swasembada pangan dan energi, serta untuk mengamankan kelangsungan bisnis para elite penguasa dan pengusaha termasuk Prabowo-Gibran. Ketiga, Siapapun yang memenangkan kontestasi ini, warga tetaplah menjadi subjek yang dicurangi dan terpinggirkan. Dikarenakan, kandidat yang lahir tidak berasal dari pilihan rakyat, melainkan pilihan partai politik yang sebelumnya melalui berbagai macam kompromi yang tujuannya untuk mengamankan kepentingan-kepentingan partai yang mendukungnya. Kondisi inilah yang menjadi landasan JATAM menyerukan untuk memboikot pilkada. Boikot pilkada bukan sebuah kerugian saat warga diperhadapkan untuk memilih setan diantara setan yang lain.”