Koreksi, Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri. Kendati demikian, mengutip emedia.dpr.go.id, Ketua Baleg DPR RI Wihadi pada Senin (26/8/2024), tidak menjelaskan alasan penundaan pembahasan RUU Polri tersebut. Selain itu, ia belum mengetahui RUU Polri ini akan dibahas pada periode sebelumnya atau tidak. Hal tersebut akan bergantung dengan urgensi revisi UU Polri.
Meski ditunda masyarakat sipil masih curiga karena DPR tidak mengeluarkan surat resmi terkait keputusan ini. Tim Advokasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian Aulia Rizal menegaskan bahwa DPR belum mengeluarkan pernyataan tegas soal ini sehingga masih ada kemungkinan terjadi perubahan UU Polri.
Rizal menyebut pihaknya akan mengupayakan permintaan informasi ke Baleg DPR melalui mekanisme informasi publik. Langkah tersebut harus beriringan dengan konsolidasi jaringan masyarakat sipil lainnya, salah satunya bersama massa aksi demonstrasi ‘keadaan darurat’.
Rizal menilai bahwa perjuangan massa aksi berkaitan erat dengan upaya mencapai reformasi kepolisian. Sejak semingu lalu, polisi diduga telah melakukan kekerasan dan kekuatan berlebihan terhadap massa aksi selama demonstrasi.
Masyarakat sipil terus berupaya kritik produk legislasi ini sejak pertama kali munculnya draf RUU pada 28 Mei lalu. Masyarakat sipil cuma punya waktu tiga bulan sejak Mei 2024 untuk melakukan upaya advokasi efektif.
Rizal menyebut bahwa koalisi telah banyak melakukan upaya advokasi dengan berjejaring ke banyak pihak.
“Kita komunikasikan RUU Polri ke teman-teman NGO, jaringan buruh, terus jaringan akademisi, mahasiswa dan terus menyampaikan di media sosial,” tuturnya kepada Koreksi pada Selasa (27/08/24).
Upaya gerilya, sebut Rizal, untuk mendiskusikan pandangan kritis dalam berbagai forum. Sedangkan upaya audiensi pernah dilakukan melalui pertemuan dengan Komnas HAM.
Segudang Pekerjaan Rumah untuk RUU Polri dan RUU TNI
Peneliti Kontras Hans Yoshua menyoroti sejumlah pekerjaan rumah dalam produk legislasi tersebut.
“Oke, tidak apa-apa, tapi pemerintah harus memastikan bahwa pasal-pasal yang mendapat catatan diperbaiki,” ucapnya saat diwawancarai Koreksi melalui telepon (26/08/24).
RUU Polri memberikan berbagai kewenangan tambahan kepada institusi kepolisian. Kewenangan tersebut dikhawatirkan akan berpotensi tumpang tindih dengan lembaga negara lainnya. Menurut Hans, RUU ini seharusnya lebih fokus pada pengaturan kelembagaan Polri daripada penegakan hukum pidana yang spesifik.
Pasal 14 RUU Polri memberikan kewenangan penyadapan, meskipun belum ada landasan undang-undangnya. Pasal 16A dan 16B mengatur kewenangan Polri terhadap instrumen intelijen. Selain itu, Pasal 14 dan 16 juga mengatur kewenangan Polri dalam pengawasan dan pembinaan ruang siber. Hans khawatir kewenangan ini akan berujung pada pembatasan ruang siber dan, pada akhirnya, pembatasan hak-hak warga.
Menurut Hans, prioritas seharusnya diberikan pada pembahasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang belum pernah direvisi sejak 1981. Perhatian lebih juga harus diberikan pada akuntabilitas lembaga ini terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya, terutama terkait kekerasan. RUU Polri sebenarnya mengatur mengenai pemberian sanksi, mekanisme pengawasan, dan komisi kode etik. Namun, pengaturan tersebut masih belum memadai.
Penulis: Abdul Mughis