Koreksi.org, Surabaya – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memperpanjang waktu pengajuan hak kompensasi dan bantuan terhadap korban tindak pidana terorisme masa lalu, hingga Juni 2028 mendatang.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyosialisasikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 133 Tahun 2023 atas Uji Materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang disahkan 29 Agustus 2024, dalam diskusi di Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya, Jumat (1/11).
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias mengatakan, warga yang menjadi korban aksi terorisme pada kurun waktu 2002 atau saat terjadinya peristiwa bom Bali 1, hingga serangan bom di Mapolda Riau pada Mei 2018, dapat mengajukan permohonan hak kompensasi dan bantuan lainnya dari Negara atas dasar keputusan MK ini. Syarat utama untuk dapat mengajukan permohonan hak korban, harus mendapat penetapan sebagai korban dari BNPT.
“Perpanjangan ini menjadi kesempatan bagi para korban yang belum mendapatkan haknya bisa mengajukan kembali. Namun demikian, untuk mengajukan permohonan tersebut, perlu dilengkapi atau dilampiri surat keterangan bahwa yang bersangkutan adalah korban tindak pidana terorisme masa lalu,” kata Susilaningtias.

Mulai 25 November 2024 hingga Juni 2028, korban maupun keluarga korban dapat mengajukan permohonan hak kompensasi maupun bantuan lain yang diperlukan melalui LPSK. Identifikasi dan verifikasi apakah yang bersangkutan merupakan korban tindak pidana terorisme, BNPT juga menggandeng Densus 88 Antiteror, rumah sakit, hingga forensik.
Hingga kini, LPSK mencatat telah memberikan bantuan dan kompensasi kepada 785 orang korban tindak pidana terorisme, dari berbagai daerah di Indonesia. Total dana yang dikeluarkan sebesar Rp. 113 Miliar, diantaranya 572 orang korban dengan kompensasi lebih dari Rp. 98 Miliar, dan lebih dari Rp. 14 Miliar untuk 213 orang melalui mekanisme putusan pengadilan.
“Kalau untuk khusus tindak pidana terorisme masa lalu sudah kami berikan kompensasi sekitar 570-an orang, baik itu kompensasi maupun bantuan yang lainnya,” ujar Susilaningtias.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Kasubdit Pemulihan Korban Aksi Terorisme, Rahel, mengatakan ada banyak kendala yang selama ini dialami warga korban aksi terorisme untuk mendapatkan haknya, seperti minimnya pengetahuan mengenai proses pengajuan, hingga bukti rekam medis yang sudah tidak ada sebagai keterangan pernah menjalani perawatan akibat serangan terorisme.
Rahel menegaskan, selain dengan LPSK, BNPT telah bersinergi dengan berbagai pihak untuk menyosialisasikan putusan MK ini terkait perpanjangan pengajuan hak korban. Ia berharap, korban yang sebelumnya tidak mengetahui atau ragu terkait kebenaran informasi ini, dapat segera mengajukan sebelum tenggat waktu pengajuan habis.
“Ada 400-an lebih yang belum, karena data itu juga bisa berkembang, itu harus masih kami sisir lagi,” ucap Rahel.

LPSK menyebutkan, telah memberikan kompensasi kepada korban aksi terorisme dengan rincian Rp. 250 juta untuk korban meninggal dunia, korban luka berat Rp. 210 juta, korban luka sedang Rp. 115 juta, dan korban luka ringan Rp. 75 juta. Tidak hanya kompensasi, bantuan lain yaitu kesehatan, psikologis, dan psikososial juga diberikan LPSK kepada korban aksi terorisme.
Seperti yang diterima Kusuma Budi Sukmono, ayah dari Daniel Agung Putra Kusuma (15 tahun), korban meninggal dunia saat peristima bom di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), jalan Arjuno, Surabaya, 13 Mei 2018. Saat itu Budi menjadi juru parkir di gereja GPPS, yang saat itu sedang bersama anaknya.
“Alhamdulillah LPSK memenuhi hak kita, jadi kita dapat kompensasi. Waktu itu kita dapat kompensasi diserahkan sama bu Khofifah berupa uang Rp. 250 juta, Anak saya meninggal,” tutur Kusuma Budi.
Louis Andrew, anak dari Teddy Jamanto, korban luka saat serangan bom Teddy di Gereja Katolik Paroki Santa Maria Tak Bercela, Ngagel, Surabaya, juga mendapat bantuan dari LPSK. Namun, Teddy kemudian meninggal dunia pada Mei 2021, setelah sempat menjalani rawat jalan. Louis Andrew mengatakan, pasca menjadi korban serangan bom, ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga harus berhenti dari pekerjaannya dan tidak dapat bekerja sekitar satu tahun. Melalui putusan MK ini, ia masih berharap ada bantuan psikososial yang diberikan kepada ibunya, yang merasakan langsung dampak ekonomi pasca meninggalnya Teddy.

“Ini efeknya kan ekonomi, karena bapak waktu itu kan kerja, gara-gara sakit kemarin sempat satu tahun gak kerja, karena kepala itu masih ada pecahan kacanya. Kalau seandainya memungkinkan kita coba mengajukan bantuan psikososial,” ucapnya.
Traumatik dan kebingungan yang dialami korban bom gereja di Surabaya, menurut Fatkhul Khoir dari Kontras Surabaya, menjadi penyebab lebih dari separuh korban belum menerima kompensasi maupun bantuan dari LPSK.
“Mereka mengalami situasi dimana tidak tahu, sebenarnya lembaga yang punya kewenangan untuk mengeluarkan biaya kompensasi itu siapa. Memang di awal, korban banyak dilakukan pendataan oleh pemerintah baik itu kota maupun provinsi. Pendataan-pendataan itu membuat kebingungan di antara korban, bahkan sampai hari ini banyak yang masih ragu dengan adanya putusan ini,” sebut Khoir.