“Mbak sayang sama putri kamu, Gadis,” tanya saya pada Bunda, ibunya Gadis.
“Ya saya sayang Gadis,” jawab Bunda pada saya.
Lalu saya tanya pada Gadis, “Gadis sayang mamah kamu?”
“Ya sayang mamah,” jawab Gadis kepada saya. Saya perlu melakukan dan menanyakan ini untuk menguatkan Bunda, ibu Gadis agar tetap berani dan semangat mendampingi Gadis putrinya yang menjadi pelapor, serta korban kekerasan seksual.
Sepotong percakapan ini ada pada saat saya mendampingi pemeriksaan dimulainya penyidikan atas laporan Gadis bersama ibunya pada Kamis (13/2/2025) pagi di Polres Jakarta Pusat. Gadis berasal dari keluarga miskin, ibunya hidup sendiri. Ayahnya meninggalkan Gadis saat berusia satu tahun dan ibunya karena miskin. Sekarang untuk bertahan hidup, Gadis berjualan makanan dan minuman ringan di rumah kontrakannya di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Gadis, berusia 6 tahun adalah korban kekerasan seksual oleh tetangganya sendiri, Bejat berusia 14 tahun. Hari ini (13/2) saya mendampingi Gadis dan ibunya untuk pemeriksaan lanjutan, penyidikan. Kasusnya sendiri sudah dilaporkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Jakarta Pusat hampir sembilan bulan lalu. Laporan Polisi kasus Gadis tertanggal 28 Mei 2024 di Polres Jakarta didampingi oleh advokat lain. Penanganan kasus tidak ada perkembangan, ibu Gadis menghubungi mas Jukimin, yang dahulu adalah penggerak kaum miskin kota Jakarta dan ikut mendirikan FAKTA pada tahun 2000. Mas Jukimin menghubungi kami dan meminta FAKTA membantu dan mendampingi Gadis serta ibunya untuk melanjutkan laporan di Polres Jakarta.
Gadis datang ke kantor FAKTA pada tanggal 10 Juni 2024 dan memberi Kuasa Hukum sebagai pendamping Gadis untuk melanjutkan pengaduan di Polres Jakarta Pusat yang terhenti pemeriksaannya. Pemeriksaan terhenti tanpa perkembangan, penyidik polisi terus membujuk ibu Gadis untuk mau berunding dengan keluarga pelaku dan mencabut laporannya Gadis. Penyidik terus menerus menekan halus dengan terus mengarahkan ibu Gadis dan memperpanjang pemeriksaan agar pelapor keletihan stres.
Polisi terus mencoba menjelaskan pada ibu Gadis bahwa laporan kasus kekerasan seksual pada anak seperti ini sulit, memakan waktu panjang, biaya dan melelahkan. Memang pada awal-awal laporan penanganan dibuat melelahkan dan pendamping hukumnya pun ikut dengan “irama” polisi agar ibu Gadis mau berdamai dengan orang tua pelaku. Melihat situasi tidak baik inilah yang membuat ibu Gadis dan mas Jukimin datang mengadu ke kami di kantor FAKTA.
Mengetahui bahwa ibu Gadis mencabut Kuasa Hukum dari pendamping sebelumnya dan memberi Kuasa Hukum kepada kami, tidak membuat orang tua pelaku menyerah. Orang tua pelaku terus membuat polisi meminta ibu Gadis berdamai dan mencabut laporannya. Tekanan itu tetap ada bertambah walau kami sudah menjadi pendamping hukum yang baru. Pengaruh lain dilakukan oleh orang tua pelaku melalui ketua RT dan ketua RW setempat untuk membujuk ibu Gadis untuk berdamai. Hari demi hari hingga delapan bulan Gadis dan ibunya terus bertahan bersama kami untuk terus menuntut agar hak hukum Gadis sebagai korban diberikan oleh Polisi. Memang pengalaman saya dalam mendampingi korban dalam kasus kekerasan seksual pada anak, polisi malas dan tidak berpihak pada korban karena tidak ada duitnya. Agar mendapatkan duit, polisi biasa memakai cara mengukur waktu dan menjadi pendamping pelaku dan menjadi pihak yang mempengaruhi korban serta keluarga menyerah, berdamai dengan pelaku dan mencabut laporannya.
Pendekatan halus tapi menekan juga menakutkan kepada korban oleh pelaku melalui polisi penyidik perkara terus terjadi berbulan-bulan. Diperlukan ketahanan mental fisik korban, orang tua korban, juga kami sebagai pendamping menghadapi proses yang berat dalam melaporkan kasus kekerasan seksual pada anak. Ada beberapa pengalaman saya gagal dalam mendampingi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Ada sejak awal korban dan keluarganya tidak mau melaporkan kasus dan pelakunya ke polisi. Korban dan keluarganya takut, tidak mengetahui caranya atau malu dan akhirnya menyerah, tidak melaporkan ke polisi. Ada juga korban dan keluarganya di tengah proses pelaporan dan pemeriksaan di polisi, akhirnya mencabut laporannya. Mereka mencabut laporannya karena terus menerus ditekan dan ditakut-takuti oleh polisi, akhirnya menyerah menerima tawaran polisi untuk mencabut laporannya.
Bersama Gadis dan ibunya ini kami terus bertahan mengawal kelanjutan laporan Gadis walau polisi terus mempengaruhi agar dicabut laporannya. Mas Jukimin dan keluarga juga jadi faktor penting sebagai pendukung gadis dan ibunya agar tetap bertahan melawan pelaku yang tinggal satu kampungnya di Kemayoran. Keberadaan tetangga atau tokoh publik lokal seperti mas Jukimin penting untuk mendampingi korban dan keluarga agar tetap bertahan. Hingga akhirnya pihak Polres Jakarta Pusat baru pada tanggal 24 Januari 2025 menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Terlapor sendiri sampai SPDP ini diterbitkan tidak juga ditahan oleh pihak kepolisian Polres Jakarta Pusat. Sekarang ini terlapor atau pelaku sudah pindah dan tidak lagi tinggal di Kemayoran.
Beginilah sikap dan cara polisi dalam menangani perkara kasus kekerasan seksual pada anak. Kasusnya dianggap tidak ada nilai uangnya atau tidak ada nilai ekonomisnya, sehingga tidak menjadi prioritas untuk ditangani apalagi diselesaikan secara cepat untuk melindungi hak hukum korban. Situasi tidak berfungsi dan tidak bekerjanya petugas polisi secara profesional banyak saya hadapi, terutama pada kasus-kasus yang tidak ada nilai ekonomisnya seperti kasus kekerasan seksual pada anak, kasus kekerasan yang dialami dan dilaporkan oleh rakyat miskin.
Saya juga ada mendampingi satu kasus kekerasan yang korban dua orang perempuan yang dilaporkan ke Polres Jakarta Timur sejak Oktober 2023. Hingga hari ini kasusnya masih saja pada tidak selesai penyelidikannya. Korban dan saksi terus saja diperiksa tanpa jelas kapan selesainya dan kasus naik ke tingkat Penyidikan. Jika saya telepon polisi penyidiknya hanya menjawab dalam proses. Polisi membiarkan pelaku atau terlapor terus berkeliaran dan berpotensi melakukan tindak pidana dan kekerasan seksual pada korban lainnya. Sudah setahun lebih kasus kekerasan pada perempuan dilakukan oleh dua orang pria tidak diselesaikan dan tidak ditangani secara tuntas. Petugas polisi menggantung proses pemeriksaan agar korban bosan, lelah dan takut. Akibatnya membuatkan korban menyerah, kasus gantung tanpa penyelesaian sesuai skenario petugas polisi.
Kami FAKTA juga ada mendampingi seorang anak, Melati yang jadi korban kekerasan seksual. Kasus korban bernama Melati ini sudah kami laporkan sekitar empat bulan lalu ke Unit PPA Polres Jakarta. Sampai sekarang pun perkembangan penanganan kasus di kepolisian berjalan lambat. Kelihatan sekali korban dibuat lelah, tahun dan stres dengan pelaporan yang dilakukannya sendiri. Sama saja, pihak polisi pemeriksa laporan juga terus menerus mendorong agar ada mediasi dan perdamaian serta korban mencabut laporannya. Penanganan dibuat lamban, tidak jelas dan berbelit-belit agar korban dan Irang tuanya menyerah hingga akan mau mencabut laporannya dari polisi. Beruntung sampai hari ini Melati, korban dan orang tuanya masih bertahan dan terus berjuang agar kasus diselesaikan pemeriksaan dan hak hukum Melati diberikan secara adil. Ya begitulah, polisi malas menangani pelaporan kasus kekerasan seksual pada anak karena tidak ada nilai ekonomisnya dan biasanya korban adalah anak dari keluarga miskin.
Pengalaman membuktikan selama saya bekerja sebagai advokat atau pembela bagi korban dan rakyat miskin sulit kasus bisa tuntas, profesional dan lanjut hingga persidangan dan ada putusan yang adil. Hak Hukum dan Keadilan bukan milik korban apalagi korban yang lemah seperti perempuan, anak-anak dan rakyat miskin.
Korban yang lemah dan miskin ini akan dimanipulasi oleh petugas polisi atau aparat hukum lainnya agar bernilai ekonomis, jadi ada duitnya. Munculnya pendapat bahwa jika rakyat miskin dan korban lemah melaporkan kemalangannya atau kerugiannya ke polisi maka bersiaplah akan mengalami kemalangan kedua kalinya. Jika korban lemah atau miskin kehilangan kambing jika melaporkan kasus kehilangannya ke polisi maka bersiaplah kehilangan sapi. Begitulah kejahatan selanjutnya yang akan diterima dan ditanggung korban yang lemah atau miskin ketika memperjuangkan hak hukumnya dan keadilan. Sudah jatuh ditimpa tangganya pula.