Koreksi, Jakarta- Massa aksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang No. 34 tahun 2004 mengalami tindak represif dari aparat. Aktivis pro-demokrasi dan pembela HAM menyerukan penghentian kekerasan serta penyiksaan terhadap massa aksi.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin mengecam tindakan kekerasan terhadap massa aksi di pelbagai daerah. Dari pantauan Zainal per Rabu (25/3), terdapat 51 titik aksi di seluruh Indonesia yang 10 diantaranya terjadi kekerasan oleh aparat, termasuk Jakarta, Bandung, Karawang, Bekasi, Surabaya, Malang, Semarang, Kupang, Medan, dan Manado.
“Kalau dulu kekerasan dilakukan oleh aparat kepolisian hari ini juga melibatkan militer, bahkan kemudian massa aksi dianiaya dengan totalitas sedemikian rupa di beberapa wilayah.”
“Bahkan polanya sekarang berubah, massa aksi dihajar habis-habisan lalu dibawa ke rumah sakit habis itu ditinggalkan begitu saja,” katanya pada Konferensi Pers Koalisi Kebebasan Berekspresi, Rabu (26/3).
Zainal melihat hal ini sebagai bentuk arogansi aparat sejak UU TNI disahkan. Hal ini juga ia lihat dari keterlibatan TNI dalam pengamanan aksi, serta pasukan elit yang sempat mengamankan Hotel Fairmont saat Rapat Tertutup RUU TNI (15 Maret 2025).
“Mereka mencoba memberikan sinyal militer telah kembali, sipil jangan main-main,” ungkapnya.
Serangan terhadap aktivis penolak RUU TNI juga dilakukan secara psikologis, Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum mencatat selama periode pembahasan dan pengesahan terdapat 25 insiden serangan digital. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai dari doxxing, pengancaman, hingga peretasan.
Selain itu, terdapat pola operasi informasi di instagram oleh TNI untuk memberikan stigma “antek asing” bagi para aktivis yang menolak RUU tersebut. “Akun-akun dari tingkat Koramil hingga Mabes terlibat aktif dalam operasi ini, setidaknya lebih dari 59 ribu orang terpapar informasi ini sepanjang 18 – 25 Maret 2025,” ungkapnya pada Rabu (26/3).
Serangan psikologis juga dialami Tempo, beberapa hari lalu, kiriman berupa kepala babi dan paket berisi tikus yang telah terpenggal. Menurut Nenden, hal ini merupakan ancaman untuk kebebasan pers.
Sementara Farid Nur Syamsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyoroti pengabaian prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas yang dilakukan DPR RI dalam penyusunan RUU TNI. Hal ini terlihat dari proses pembahasan yang sangat tertutup dari publik.
“Dari awal drafnya tidak ada untuk publik, ditambah proses pembahasan yang tertutup dan dijaga oleh tentara, hal ini menebalkan temuan kami pada 2024 bahwa keterlibatan aparat di ranah sipil membuat ruang kebebasan sipil menyempit,” katanya pada Rabu (26/3).