KOREKSI, Surabaya – Permukiman merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang sudah sejak lama digaungkan oleh negara dan pemerintah, sebagai hal yang mesti dipenuhi dalam hidup manusia selain makanan dan pakaian. Rumah menjadi tempat bagi setiap orang untuk berlindung dan berkembang, sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan dan cita-cita hidupnya.
Pada kenyataanya tidak semua orang mampu memiliki rumah sebagai tempat tinggal, bahkan menempati sebuah bangunan yang disebut rumah. Beberapa alasan masyarakat belum dapat memiliki rumah karena harga jual rumah dan tanah yang terus meningkat, sementara pendapatan masyarakat cenderung kecil atau kurang dapat memenuhi kebutuhan pengadaan hunian.
Ada banyak warga masyarakat yang hingga kini belum mampu memiliki rumah sendiri, serta tinggal di permukiman yang rawan terhadap penggusuran karena berada di lahan yang menjadi milik negara, privat, maupun dalam status sengketa. Di Surabaya, juga memiliki sejumlah kawasan yang wilayahnya berpotensi menimbulkan konflik permukiman, karena status tanah yang ditempati warga. Salah satunya di kampung Dupak Magersari, yang terletak di Kelurahan Jepara, Kecamatan Bubutan.
Terdapat 157 keluarga dari total 503 jiwa, menempati 81 petak bangunan yang berdiri di pinggir rel kereta api yang menghubungkan antara Stasiun Surabaya Pasar Turi dengan Stasiun Surabaya Kota dan kawasan pelabuhan Tanjung Perak. Jarak antara rumah warga dengan rel kereta api hanya berjarak sekitar 1,5 hingga 2 meter. Mereka harus terbiasa dengan waktu kereta api melintas, baik kereta api penumpang maupun kereta barang yang mengangkut peti kemas.
“Mungkin karena kita di sini sudah terbiasa dengan keadaan di sini, jadi warga hafal kapan kereta lewat, ciri kereta lewat itu ada bunyi cling-cling-cling, warga sampai hafal, misal ada kereta lewat, warga langsung saling mengingatkan agar menghindari rel,” papar Andra Diantoro, Ketua RT 01-RW 09 Dupak Magersari.
Dituturkan oleh Andra, warga sudah tinggal di Dupak Magersari yang dibelah oleh rel kereta api sejak 1960-an. Meski rumah tempat tinggal mereka rata-rata bangunan semi permanen, warga tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Salah satu yang menjadi potensi dan kebanggaan warga Dupak Magersari adalah keberadaan industri pembuatan dandang skala rumah tangga.
“Ada 8 rumah warga yang digunakan sebagai usaha pembuatan dandang, dan ini sudah berlangsung sekitar 50 tahun,” ujar Andra.
Industri rumah tangga pembuatan dandang menjadi andalan kampung Dupak Magersari, karena telah mampu menembus pasar nasional, yang dipasarkan melalui pengepul yang ada di Pasar Turi maupun Pusat Grosir Surabaya (PGS) yang ada di kawasan jalan Dupak. Andra mengatakan, potensi ekonomi yang dimiliki warga kampungnya diharapkan dapat dilihat pemerintah kota, agar lebih memperhatikan kebutuhan warga dalam hal permukiman. Andra menyebut, kampungnya sulit mendapatkan bantuan untuk mengembangkan kampung, seperti paving dan penerangan jalan umum (PJU) solar panel sulit terealisasi karena terkendala status tanah yang menjadi milik PT. Kereta Api Indonesia (KAI).
Andra juga menegaskan keinginan warga yang ingin hidup nyaman dan tidur dengan nyenyak, tanpa khawatir memikirkan adanya penggusuran. Warga kampungnya telah bekerja sama dengan Arsitek Komunitas (Arkom) melalui Koalisi Perumahan Gotong Royong di tingkat nasional, sebagai langkah antisipasi penggusuran yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Kampung Dupak Magersari menjadi salah satu kampung percontohan reforma agraria perkotaan.
“Bukan menuntut legalitas atau hak, tapi ingin kenyamanan bermukim. Kalau memang harus sewa tidak apa-apa, tapi dengan catatan kita ada kepastian bahwa kita akan aman tanpa adanya penggusuran,” lanjut Andra.
Ribuan Warga Masih Tinggal di Tanah Sengketa
Koordinator Arsitek Komunitas (Arkom) Jawa Timur, Puspitaningtyas Sulistyowati, mengatakan persoalan pemenuhan kebutuhan rumah atau permukiman merupakan kewajiban negara. Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Surabaya, tetapi terjadi hampir di semua wilayah Indonesia khususnya menimpa masyarakat berpenghasilan rendah.
Arkom mencatat ada sekitar 71 kampung atau setingkat RW yang ribuan warganya menempati tanah sengketa, termasuk di pinggir rel kereta api, pinggir sungai dan drainase, serta tanah privat. Pendampingan yang dilakukan Arkom sejauh ini mencoba mengajak warga berpikir lebih jauh tentang bagaimana memperbaiki kampung tempat mereka bermukim, sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan bersama.
Bersama akademisi, Arkom mengajak warga melakukan pemetaan kampung sesuai dengan konteks masing-masing kampung. Memahami permasalahan menjadi langkah awal yang harus dimiliki oleh warga, agar dapat menentukan langkah yang tepat dalam mencari solusi penyelesaian masalah yang dihadapi terutama terkait sengketa lahan.
“Intinya warga ini kan ber-KTP Surabaya, jadi mereka berhak mendapatkan fasilitas sebagai sesama warga kota. Mereka juga bayar pajak, PBB, artinya mereka berkontribusi bagi kota, tapi akses bantuan untuk mereka sangat terbatas,” ujar Puspitaningtyas, atau akrab disapa Tyas.
Melalui Koalisi Perumahan Gotong Royong, Arkom bersama sejumlah elemen dan warga, berupaya memperjuangkan hak bermukim warga yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), bahkan warga yang tidak termasuk dalam skema semacam itu. Perumahan Gotong Royong menjadi tawaran solusi yang diajukan koalisi, sekaligus wujud penguatan kolektivitas warga.
Menurut Tyas, terdapat tiga hal yang menjadi pemikiran koalisi terkait Perumahan Gotong Royong, yakni tanah, keuangan kolektif, dan penataan, sebagai prasyarat penanganan permukiman gotong royong.
“Jadi, mereka harus punya koperasi, itu penting karena koperasi itu jadi badan legal yang bisa dipercaya oleh pemerintah. Tapi, kalau sekarang kan badan legalnya ya bank, tapi mereka tidak bisa, karena tidak bankable. Kalau koperasi bisa, karena sifatnya lebih ke kolektivitas,” jabar Tyas.
Perumahan yang layak, lanjut Tyas, sebenarnya telah memiliki standar minimum seperti yang dicanangkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang nantinya akan menjadi acuan perumahan gotong royong. Koalisi Perumahan Gotong Royong, tengah merumuskan skema pembiayaan bersama Dirjen Pembiayaan Infrastruktur, Kementerian PUPR. Skema ini nantinya diprioritaskan bagi warga yang bekerja di sektor informal yang menempati lahan sengketa di banyak tempat di seluruh Indonesia. Arkom bersama koalisi juga mendorong kepemilikan tanah secara kolektif agar tanah yang ditempati tidak terjual atau dijual secara ilegal.
“Ketika bicara ruang hidup, tidak hanya fisik tetapi juga non-fisik. Semoga usulan skema yang nanti bisa diteruskan menjadi contoh, karena sampai sekarang belum ada yang dibawah MBR, dengan solusi yang sifatnya kolektif,” ujar Tyas.
Puspitaningtyas juga menolak upaya pemindahan warga dari tempat tinggalnya, saat terjadi konflik tanah. Sebab yang telah terjadi selama ini, pengusiran dan pemindahan warga ke tempat yang baru tidak memperhatikan keberlanjutan kehidupan warga, seperti ketersediaan fasilitas penunjang, kedekatan dengan fasilitas umum, serta cara warga untuk bertahan di tempat yang baru.
Rumah susun (Rusun) menjadi alternatif pilihan tempat tinggal warga yang tergusur dari tempat tinggalnya selama ini. Alasannya, tidak ada lagi lahan untuk dibangun permukiman horizontal seperti permukiman yang sebelumnya ditinggali warga. Selain itu, hampir tidak pernah ada diskusi, atau pembicaraan secara humanis yang dilakukan terhadap warga yang akan dipindah, yang harusnya dilakukan untuk memastikan warga menerima dengan sepenuh hati dan nantinya merasa nyaman tinggal di tempat yang baru.
“Kita mendorong mereka mendapat hunian yang layak sesuai standar, seminimal mungkin berpindah dari tempat hunian mereka. Tidak semua orang merasa nyaman bila harus dipindah dan menempati rusun, karena akan berbeda pola kehidupan mereka,” kata Tyas.
Bersama 8 kampung lainnya di Surabaya, Arkom bersama koalisi dan warga Dupak Magersari menyerukan kepada pemerintah untuk menjalankan program reforma agraria perkotaan, sebagai bagian dari program reforma agraria yang telah berjalan selama ini yang menyasar desa dan wilayah pedalaman. Tujuannya tidak lain adalah untuk mendapatkan legalitas tanah bagi warga yang telah puluhan tahun tinggal menetap di lahan yang disengketakan.
“Perpres yang baru itu menyebutkan, asalkan di situ ada tanah negara, tanah pemerintah, BUMN, atau privat pun itu bisa diproses legalitasnya, disesuaikan dengan peraturan yang ada,” imbuhnya.
Tyas menegaskan, sudah saatnya negara dan pemerintah memperhatikan hak warga untuk mendapatkan permukiman yang layak, dimana pemerintah berpihak kepada rakyat dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberikan jaminan legalitas lahan permukiman warga, terutama yang menempati tanah-tanah milik negara dan lembaga negara lainnya.
“Kami telah daftarkan kampung-kampung yang diharapkan dapat ditetapkan menjadi lokasi reforma agraria perkotaan. Demi kenyamanan warga, pemerintah harus berani dan memprioritaskan kepentingan rakyat kecil,” tandas Tyas.
Penulis: Petrus Rizki (Andre Yuris)