RK, anggota DPRD Kota Depok periode 2024 – 2029 dari Fraksi PDI Perjuangan. Pada 22 September 2024, RK dilaporkan ke kepolisian atas perkara pencabulan anak. RK dilaporkan oleh ibu kandung korban yang merupakan timses RK semasa pencalegan. Ibu kandung korban melapor didampingi oleh kuasa hukum dari Badan Bantuan Hukum Advokasi Rakyat PDI Perjuangan Kota Depok.
Kasus ini menjadi rumit karena RK adalah anggota DPRD Depok. Di lokal Depok, RK memiliki jaringan dan kekuasaan untuk membendung masalah ini. Hal rumit lainnya adalah, gabungan tim kuasa hukum korban, di antaranya LBH Apik Jakarta dan Paralegal Depok, juga terdapat Badan Bantuan Hukum Advokasi Rakyat PDI Perjuangan. Sebuah badan partai berjenjang yang bertugas untuk melakukan pembelaan dan advokasi kepada rakyat. Kasus ini menjadi rumit, karena RK membuat framing seolah-olah perkara ini adalah perkara yang terjadi untuk melengserkannya dari jabatannya saat ini.
Anita, anak korban kekerasan
Anita, sebut saja begitu namanya. Remaja perempuan berusia 15 tahun, korban pencabulan dan persetubuhan yang dilakukan oleh RK. Anita kini tidak lagi bersekolah secara formal. Setelah sebelumnya mengundurkan diri dari sekolah awal, Anita juga harus berhenti di sekolah barunya. Pemberlakuan sistem penilaian berdasarkan kehadiran tidak bisa dipenuhi. Atas apa yang menimpanya, Anita putus sekolah. Anita saat ini masih berada di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Kasus Anita sendiri dilaporkan oleh ibu kandungnya yang didampingi kuasa hukum ke Polresta Depok pada 22 September 2024. Pada hari itu juga, Anita lanjut melakukan pemeriksaan visum et repertum dan visum psikiatrikum di RS Polri, Jakarta Timur. Kapolres Metro Depok, Kombes Arya Perdana, pada minggu yang sama dengan masuknya pelaporan ini, menjelaskan ke publik akan memanggil terlapor untuk diperiksa, paralel dengan pengumpulan bukti dari laporan
kasus. Namun tak sampai satu minggu kemudian, Kapolres dan jajaran diam, menutup mulut atas perkara ini.
Pada 25 September 2024, Anita kembali melakukan pemeriksaan, memenuhi panggilan penyidik untuk pemeriksaan. Anita menjalani pemeriksaan dari jam 10 pagi hingga jam 8 malam. Ibu kandung Anita juga diperiksa, pemeriksaan di waktu yang sama, di ruangan terpisah. Keduanya, masing-masing didampingi oleh personel anggota komunitas Paralegal Depok. Keduanya tidak bertegur sapa, saling membuang muka, dan memasang wajah masam jika berpapasan. Anita pergi meninggalkan Polres lebih dulu, ia meminta menginap di rumah pendamping, tidak ingin bersama ibu kandungnya. Ibu kandung Anita masih melakukan pemeriksaan hingga jam 10 malam.
Kamis (26 September 2024) petang, Anita masih di rumah pendamping, penyidik yang memegang perkara menjemput korban secara paksa. Kuasa hukum memprotes, namun tak dihiraukan. Anita tetap dibawa ke Polresta Depok. Tergopoh-gopoh kuasa hukum menyusul Anita yang dibawa penyidik ke Polresta Depok.
Di Polresta, dalam pemeriksaan Anita tidak dapat didampingi oleh kuasa hukum. Diinformasikan bahwa ibu kandung Anita telah membatalkan kuasa hukum, maka Anita tidak bisa didampingi kuasa hukum, terlebih sudah ada keluarga yang menemaninya, yakni ibu kandung dan kakak kandungnya yang kedua. Pemeriksaan berlangsung hingga tengah malam. Karena Anita tidak mau bersama ibunya, Anita dibawa pulang oleh kakak kandungnya, pulang ke rumah kontrakan kakaknya.
Selanjutnya pada 27 September 2024, Anita dijadwalkan untuk konseling dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) Depok. Pukul 09.00 WIB pagi, mobil penjemputan dari UPTD PPA Depok sudah menunggu tak jauh dari kediaman Anita. Namun, Anita menghilang tak ada kabar, tidak bisa dihubungi. Hingga siang hari Anita masih juga tak ada kabar. Paralegal Depok selaku pendamping merasa ada hal yang tidak wajar dari
menghilangnya Anita. Hal ini dituangkan mereka ke dalam pernyataan terbuka yang dipublish melalui akun instagram @paralegal_depok dengan link berikut: paralegal_depok | Depok, Jumat 27 September 2024. Diposting pada 13.58 WIB. | Instagram.
Belakangan diketahui, berdasarkan pengembangan pemeriksaan, penyidik membuat laporan model A, pengenaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kepada ibu kandung Anita. Laporan Polisi Model A adalah laporan yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui, atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi. Informasi inipun baru didapatkan oleh kuasa hukum ketika berkoordinasi dengan Mabes Polri pada 23 Oktober 2024. Oleh petugas piket di SPKT, kuasa hukum diperlihatkan dua laporan, tanggal 22 September 2024 perkara pencabulan, dan laporan tanggal 25 September 2024 perkara perdagangan orang. Dari dua laporan ini, pelapor
turut menjadi terlapor.
Untuk hal ini, laporan yang dibuat penyidik unit PPA Polresta Depok berdasarkan pengembangan pemeriksaan tanggal 25 September 2024 sangat layak diapresiasi. Namun, belakangan juga akhirnya diketahui, bahwa pada Kamis 26 September 2024 malam, ibu korban selaku pelapor difasilitasi penyidik bertemu dengan RK selaku terlapor, membuat kesepakatan damai. Pada hari Anita dijemput paksa, sama dengan hari ibu kandung korban membatalkan kuasa hukum, Pada hari Anita diperiksa tanpa dizinkan adanya pendampingan oleh kuasa hukum!
Kesepakatan damai dilakukan, mengabaikan ketimpangan relasi kuasa, secara sosial, ekonomi, jabatan, antara anak dan orang dewasa. Kesepakatan damai dilakukan tanpa memikirkan korban, bagaimana ia atas apa yang dialaminya, bagaimana ia menghadapi masa depannya.
2 Oktober 2024, Anita baru memberi kabar, meskipun masih merahasiakan dimana keberadaan dirinya. Ia hanya memberi tahu tidak di Depok. Jauh dari Depok.
Sementara itu, Kapolresta Depok beserta jajaran penyidik masih saja bungkam.
Kuasa hukum, bersama korban, ayah kandung korban dan kakak kandung korban yang pertama, hendak membuat laporan baru ke Mabes Polri, Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun laporan baru tidak bisa dibuat, nebis idem. Pelaku perkara melibatkan orang yang sama dalam laporan yang telah dibuat, tempat kejadian perkara sama dengan tempat kejadian perkara yang telah dibuat. Situasi menjadi stagnan, di tingkatan Polresta penyidik bungkam, di tingkatan Mabes Polri, kasus ini tidak bisa dilaporkan ulang.

Aksi di depan Polres Metro Depok. Foto: Paralegal Depok.
Pelibatan Dukungan Publik. No Viral No Justice
Sebuah petisi dilayangkan melalui platform change.org. Petisi berjudul “Menuntut Profesionalitas Polresta Depok Dalam Penegakan Hukum Kasus Kekerasan Seksual Anak”. Sebelum petisi dipublikasikan, ada dua aksi demonstrasi dari dua kelompok pemuda di Depok, menuntut tranparansi perkembangan kasus ini. Petisi dilayangkan bersamaan dengan upaya konsultasi ke Mabes Polri. Petisi yang secara langsung mengungkapkan kekecewaan terhadap Aparat Penegak Hukum atas proses hukum yang sedang berlangsung. Proses hukum yang tiba-tiba mengalami kemandekan. Petisi https://chng.it/zRDwDvWbBK dipublish sebagai respons kebuntuan yang dialami oleh kuasa hukum korban.
Petisi membuahkan hasil, meski tidak sampai 1000 orang yang menandatanganinya. Namun setidaknya, petisi ini menjadi pembahasan di banyak orang, di Jaringan Masyarakat Sipil, khususnya para pegiat isu perempuan. Petisi ini menjadi satu kontradiksi nyata dari semangat dibentuknya Direktorat Tindak Pidana Pelayanan Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) Bareskrim Polri pada 20 September 2024 oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Polri berencana membentuk unit Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) dan Pidana Perdagangan Orang (PPO) hingga ke tingkat kepolisian sektor (Polsek), dengan tujuan melindungi perempuan dan anak dari pelaku kejahatan hingga ke cakupan wilayah terkecil. Tapi di Polresta Depok, anak yang menjadi korban kejahatan justru tidak mendapatkan pembelaan!
Petisi membuahkan hasil yang baik berkat dukungan publik. Pada 23 Oktober 2024 petisi dilayangkan, tidak lama kemudian dilangsungkan pertemuan gelar perkara antara kuasa hukum korban dan jajaran penyidik pada 28 Oktober 2024. Pada hari itu juga pemeriksaan kembali dilanjutkan. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan olah TKP.

Pertemuan gelar perkara antara kuasa hukum korban dan jajaran penyidik pada 28 Oktober 2024. Foto: Paralegal Depok
2 Januari 2025, RK ditetapkan sebagai tersangka pencabulan dan persetubuhan anak. Memakan waktu empat bulan dalam proses pemeriksaan di kepolisian. Empat bulan yang penuh drama. Empat bulan yang diwarnai dengan adegan penggantian pejabat Kanit PPA Polresta Depok, kemudian penggantian pejabat Kasatreskrim Polresta Depok, terakhir disusul mutasi pejabat Kapolresta Depok. Tiga pejabat kepolisian yang signifikan dalam kasus ini.
Penulis: Maria Sahida