Koreksi, Jakarta- Azril (bukan nama sebenarnya) dan kawan-kawannya sudah mempelajari isu demo buruh PT PAN Express International sehari sebelum aksi (2/12/20). Ini membuktikan mereka tak sekadar ikut-ikutan demo. Mereka sempat menghubungi Komite Aksi Buruh untuk berdiskusi mengenai tuntutan yang akan disampaikan dalam demo.
Azril dan kawan-kawan merupakan pelajar SMA dari beberapa sekolah di Bekasi dan Bogor, Jawa Barat. Mereka tergabung dalam gerakan Federasi Pelajar.
Komite Aksi Buruh antusias menerima pelajar yang mendukung perjuangan buruh. Azril dan kawan-kawannya hanya dipesan agar mengikuti prosedur demonstrasi damai.
“Jangan bawa hal yang aneh,” ucap Azril saat ditemui Koreksi pada Sabtu (07/12/24).
Esok harinya (3/12/20), ia ingat betul ketika akan berangkat ke tempat demo yakni kantor PT PAN Express International di Jalan Raya Bekasi KM27 setelah kumandang adzan dzuhur. Azril pergi bersama tujuh pelajar lainnya dengan memakai seragam sekolah.
Di tengah jalan, mereka berhadapan dengan polisi di sekitar daerah Kranji, Bekasi. Mereka memilih berlari ke dalam wilayah Harapan Indah guna menjauh dari polisi sambil berupaya menghubungi orang dari Komite Aksi Buruh. Mereka berhasil sampai ke tempat aksi sekitar pukul 15.00 WIB.
Menurut Azril, situasi demo di Jalan Raya Bekasi KM27 cukup kondusif. Peserta aksi hanya menggunakan satu jalan untuk menyampaikan orasi secara bergantian. Situasi itu justru berubah saat polisi menghampiri seorang pelajar. Setelah itu, polisi menarik pelajar tersebut dan seorang dari komite aksi. Polisi mengelilingi mereka berdua dan tidak lama langsung berupaya untuk menangkap.
“Pertama kali ditangkap ramai-ramai,” ucap dia.
Setelah itu mereka dibawa ke gedung perusahaan. Di tengah jalan menuju gedung perusahaan, Azril dipukul oleh salah satu anggota kepolisian dan terjatuh. Saat mencoba bangun, ia ditendangi oleh anggota kepolisian. Ia akhirnya memohon pada petugas agar tidak lagi dipukuli. Hingga ada seorang polisi yang menghentikan kekerasan tersebut kepada anak dengan seragam sekolah. Mereka kemudian dibawa ke Polres Metro Bekasi untuk proses lebih lanjut.
Di halaman Polres Bekasi, mereka dibariskan di halaman depan gedung. Mereka ditanyai asal usul dan dipilah berdasarkan mahasiswa dan pelajar. Mereka menjalani tes Covid karena terjadi saat pandemi dan selanjutnya menjalani tes narkotika.
Termasuk Azril. Dia pergi ke kamar mandi diikuti oleh dua petugas kepolisian dan diberikan botol untuk buang air kecil dengan pintu setengah terbuka. Ia ingat betul, saat itu tubuhnya masih merasa nyeri dan memar akibat pukulan dari anggota kepolisian.
Setelah proses ini, semua orang yang ditangkap dimasukkan ke ruang tahanan untuk proses investigasi. “Pas diinvestigasi, kita minta pendampingan hukum, beberapa kali aparat kepolisian bilang gak bisa,” ucapnya.
Kompak seluruh orang yang ditangkap menolak menandatangani berita acara penyelidikan tanpa pendampingan kuasa hukum.
Sampai giliran Azril dipanggil ke ruangan penyelidikan. Di saat yang bersamaan pengacara dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi sudah berdebat dengan penyidik kepolisian. Tidak lama, semua demonstran yang ditangkap polisi sudah bisa dilepas.
Ditangkap polisi saat demonstrasi bukanlah kesempatan perdana bagi Azril. Sebelumnya ia pernah ditangkap polisi saat melakukan aksi pada 2019.
“Kemungkinan tiga kali,” ucap dia pada Koreksi saat ditemui pada Desember lalu (07/12/24).
Azril ditangkap dalam aksi 2019, peringatan hari buruh tahun 2021, dan pemogokan buruh Bekasi pada tahun 2020. Tapi bagi Azril pengalaman berurusan dengan aparat pada 2020 merupakan yang paling mengagetkan dirinya.
Bagi Azril yang pernah mengikuti demonstrasi sebagai pelajar, memang pada awalnya hanya mengandalkan keresahan pribadi. Namun seiring berjalan waktu, motivasi untuk ikut aksi tumbuh beriring dengan pengetahuannya mengenai permasalahan sosial yang ia alami.


Suasana Polres Metro Jakarta Barat, orang tua menjemput anak-anak yang ditangkap oleh polisi pada Agustus lalu (23/08/24). Foto: Koreksi
Polisi Panggil Orang Tua Anak
Herman (bukan nama sebenarnya) tidak menyangka dirinya pulang lebih dulu dibanding anaknya. Biasanya anaknya sudah di rumah atau paling telat selepas magrib. Begitu sampai di rumah, istri Herman membuatkan segelas teh.
“Anak kamu, ayah, belum pulang. Tolong telpon dia,” ucap Herman kepada Koreksi pada Jumat (23/08/24) saat menunggu anaknya di pelataran Polres Metro Jakarta Barat.
Herman kemudian menghubungi anaknya, tapi tidak ada jawaban. Baru pukul delapan malam, ponsel berdering. Ternyata anaknya menelpon dan menyuruh orang tuanya agar membawakan kartu keluarga dan akta kelahiran asli ke Polres Jakarta Barat. Perwakilan sekolah juga harus hadir di kantor polisi tersebut.
“Ditelpon juga ngomongnya biasa saja. Suaranya kenceng. Kita kan kaget,” ucap dia.
Tidak lama, Herman langsung memacu sepeda motornya bersama dengan istrinya. Jalanan sepi malam itu sehingga tidak butuh waktu lama sampai kantor polisi. Walaupun ia sempat tersasar ke bangunan polres Jakarta Barat yang lama di daerah sekitar Slipi.
Malam itu polres Jakarta Barat (22/08/24) ramai. Banyak orang tua yang berkumpul di sana. Sama seperti Hari, mereka menunggu pelajar yang sebelumnya ditangkap polisi.
Mereka memenuhi pelataran pintu masuk Polres Jakarta Barat. Masing-masing telah menyiapkan surat-surat yang diminta polisi dan materai Rp10,000. Tiap beberapa menit petugas piket kepolisian datang dari dalam membawa beberapa lembar kertas kemudian memanggil nama anak dan orang tuanya. Orang-orang langsung mengerubungi petugas tersebut agar tidak melewatkan nama anaknya.
Menurut Herman, ada sekitar 10 anak dari sekolah anaknya yang juga ditangkap. Sehingga perwakilan dari sekolah juga sempat datang.
Berdasarkan ucapan petugas piket kepolisian malam itu, anak-anak ini dicegat di tengah jalan yang diduga mengarah ke DPR di daerah Slipi, Jakarta Barat. Anak-anak yang ditangkap harus menghubungi orang tua, diminta membuat surat pernyataan dengan materai.

Ilustrasi Polda Metro Jaya. Foto: Koreksi
Anak Memiliki Hak untuk Demo dan Polisi Melanggar Hak Anak
Pada (22/08/24) malam, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvanna Maria menghubungi petugas unit perempuan dan anak (PPA) Polda Metro Jaya. Ia membutuhkan informasi mengenai keadaan tujuh anak yang ditangkap polisi pada demonstrasi RUU Pilkada. Tapi ia kecewa karena belum ada data dari polisi, meskipun lembaganya juga memiliki data kasus ini.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Sylvanna kemudian sampai di gedung Direktorat Kriminal Umum (Ditreskrimum). Sementara Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menunggu di lobi Ditreskrimum karena belum diperbolehkan masuk ke ruangan polisi. Mereka berupaya mendampingi demonstran dewasa, dan anak yang ditempatkan di Subdit Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta).
Mengetahui Sylvanna merupakan perwakilan KPAI, TAUD juga ingin masuk bersama untuk pendampingan.
“Mereka mau masuk bareng saya, saya bilang harus izin dengan polisi,” ucap dia kepada Koreksi melalui sambungan telepon pada Senin (23/12/2024) .
Polisi hanya mengizinkan Sylvanna untuk masuk ke dalam. Ia pun masuk melalui salah satu pintu yang membutuhkan kartu akses dan menemui tujuh anak yang diperiksa di tiga ruangan Renakta yang berbeda.
Sylvana menemui salah satu anak yang mengenakan jaket merah di unit 1 Renakta. Ia mulai memperkenalkan diri. Melihat Sylvanna, anak-anak tertunduk dan sesekali melirik ke arah petugas kepolisian. Sylvanna menilai mereka ketakutan.
Bagi Sylvanna suhu ruangan cukup rendah, sedangkan anak-anak menjalani pemeriksaan dengan pakaian kaos tipis dan bertelanjang kaki.
“Sudah pada makan belum? Belum bu,” ucap Sylvanna dengan suara yang ia sengaja agak besarkan. Tidak lama, nasi bungkus datang setelah Sylvanna bertanya. Polisi sempat menawarkan wedang Jahe untuk Sylvanna, ia menolaknya.
Kisaran pukul 11.00 WIB, Sylvanna bertanya kepada anak-anak terkait komunikasi dengan orang tua. Beberapa anak sudah menghubungi orang tua, tapi masih ada yang belum. Salah satu anak menangis dan terlihat takut.
“Bu saya mau cepat pulang, kasian mama saya pasti nyari-nyari, sudah malam,” ucap Sylvanna menirukan ucapan salah seorang anak. Sylvanna berjanji akan menyampaikannya ke petugas kepolisian.
Sylvanna juga bertanya pada anak-anak yang ditangkap mengenai alasan mereka mengikuti demonstrasi hari itu. Mereka bingung menjawab, ada yang diajak kakak kelas dan diajak lewat grup media sosial.
Sementara itu, begitu ditangkap mereka mengalami kekerasan dan satu anak merasa sakit di kaki karena terjerembap saat berupaya menghindari polisi. Dua orang yang ditanyai oleh Sylvanna mengaku kehabisan napas karena tercekik
Sylvanna kemudian bicara dengan salah satu kepala unit 1 Renakta dan bertanya kenapa mereka tidak mendapat pendampingan.
“Ini cuma diperiksa saja. Cuma mau tahu asal-usulnya siapa,” ucapnya. Komisioner KPAI itu hanya berpesan agar anak diberi kesempatan berkomunikasi dengan orang tua dan dipulangkan.
Sylvanna meninggalkan Polda Metro Jaya sekira pukul 1 dini hari (23/08/24). Ia sempat menghubungi kembali petugas unit PPA, tapi hasilnya masih sama. “Beliau rupanya tidak punya data juga, kok gak ada data progres apapun,” ujarnya.
Pada pagi hari, petugas PPA menghubungi Sylvana dan memberi tahu bahwa anak-anak masih belum pulang. “Loh tadi malam janjinya mereka segera pulang kalau pemeriksaan, informasi polisi sudah lengkap,” balas dia. Baru pada pukul 12 siang, dia telah mendapat informasi bahwa anak-anak sudah pulang.
Sylvanna Maria, Komisioner KPAI, menilai bahwa anak berhak mendapat perlindungan dalam penyampaian pendapat di muka umum. Namun penyampaian pendapat harus murni dari anak dan bukan hasil mobilisasi atau rekayasa.
“Demo RUU Pilkada itu demo damai. Sebenarnya anak berhak ada di sana, kalau mereka secara mandiri oleh kesadaran sendiri memutuskan untuk menyampaikan aspirasi,” ucapnya.
Walaupun begitu menurut pengamatannya, banyak anak cuma ikut-ikutan atau sekadar melihat. Namun tindakan polisi terhadap anak yang ditangkap merupakan pelanggaran terhadap pemenuhan hak anak.
“Hak anak untuk bebas dari kekerasan,” ucap dia. Selain itu, ketika diperiksa, Sylvana menilai anak tidak mendapat pendampingan dan penundaan akses komunikasi dengan orang tua.
Peliputan ini merupakan bagian dari program fellowship Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang didukung oleh INKLUSI dan IPPF.